Nabi Musa sedang melewati bukit dan melihat seseorang yang berdoa di sebuah goa di sisi bukit. Terdorong oleh rasa ingin tahu Nabi Musa mendekat dan menyapanya.
“Siapa kamu?” balas lelaki penghuni goa.
“Aku Musa,” jawab Nabi Musa.
Setelah memastikan bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Musa sang nabi, lelaki itu memohon sesuatu yang kemudian disanggupi oleh Nabi Musa.
“Sudah seratus tahun saya beribadah di sini. Tolong tanyakan kepada Allah, pahala apa yang akan Dia berikan saya?”
Musa naik ke atas bukit dan menyampaikan hajat lelaki tersebut. “Musa! Katakan kepadanya, pahala atas perbuatannya akan diberitahukan besok,” Nabi Musa mendengar jawaban. Nabi Musa lalu mengabarkan pesan yang ia terima.
Keduanya berpisah dengan janji bertemu lagi esok hari. Lelaki itu melanjutkan aktivitasnya. Ia biasa pergi pagi-pagi sekali ke telaga terdekat untuk mandi dan mengambil air untuk keperluannya. Pagi itu lelaki itu pun berangkat, tapi entah bagaimana ia tidak menemukan telaga yang rutin ia kunjungi.
Matahari makin terik dan lelaki itu makin gelisah. Ia haus dan tenaganya habis. Akhirnya lelaki itu duduk di atas batu besar dan merasa ajalnya sudah dekat. Tak berselang lama ia melihat ada orang berjalan dari arah lain. Ia menghentikannya untuk minta sedikit air.
“Air sangat sulit di sini. Saya punya hanya cukup untuk saya sendiri,” kata orang yang diminta airnya.
Lelaki saleh itu pun mulai menangis. Air matanya mencairkan hati orang yang ditemuinya.
“Baiklah! Tapi apa yang akan kamu berikan padaku jika aku memberimu segelas air?”
“Saya tidak punya apa-apa untuk diberikan kepadamu. Selama seratus tahun ini saya hanya beribadah di dalam goa,” lelaki saleh itu menjelaskan.
“Tidak masalah. Jika Anda setuju memberikan pahala ibadah Anda selama seratus tahun kepada saya, maka dengan senang hati saya akan memberikan segelas air kepada Anda.”
Lelaki saleh itu berpikir, jika ia mendapatkan air dan nyawanya tertolong maka ia masih punya kesempatan yang lebih lama lagi untuk mengumpulkan pahala dari Allah.
“Baiklah, pahala-pahala ibadah saya untuk Anda,” ia menyepakati syarat yang diminta. Ia lalu bergegas pulang ke goanya.
“Wahai Nabi Musa! Saya telah menyerahkan pahala seratus tahun ibadah saya kepada orang lain,” katanya ketika bertemu Nabi Musa keesokan harinya.
“Iya! Aku tahu. Tetapi Tuhan berkata bahwa jika nilai ibadah seratus tahunmu adalah segelas air, maka kamu harus menghitung nilai dari semua air yang telah kamu minum selama seratus tahun terakhir,” kata Nabi Musa.
Perkataan Musa ini menyentak kesadaran si lelaki saleh. Tak pernah terpikir olehnya nikmat yang telah ia terima, selama seratus tahun ia hanya berpikir tentang pahala dari ibadahnya. Ia merasa malu lalu tersungkur.
“Wahai Nabi Musa! Mohonkan kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosa saya,” katanya sambil terisak.
Nabi Musa lalu mendapat wahyu untuk memberitahu orang saleh ini, “Penyesalanmu saat ini lebih disukai Allah ketimbang ibadahmu selama seratus tahun; jadi Allah memberimu pahala untuk seribu tahun ibadah!”
Ibadah tanpa kerendahan hati kadang membutakan. Nabi Musa juga mengajarkan doa yang indah, yang mengilhami para sufi. “Ya Allah Engkau memerintahkan agar aku bersyukur atas rahmat-Mu, dan syukurku sendiri adalah rahmat dari-Mu.”
Karena itu kita mendapati Ali, menantu Nabi Muhammad. berkata, “Dosa yang membuatmu menyesal dan bertobat, lebih disukai oleh Allah daripada perbuatan baik yang membuatmu sombong.”
Hati yang terbakar penyesalan dari para pendosa kadang menjadi kunci pembuka rahmat Allah bagi manusia ketimbang keangkuhan orang yang rajin beribadah.
Nabi Muhammad pernah bercerita tentang Nabi Musa dan kaumnya yang bermunajat agar diturunkan hujan. Tapi kemudian sesuatu terjadi, awan yang semula terkumpul di langit mendadak buyar, panas makin terik.
Wahyu lalu turun menjelaskan musabab peristiwa tersebut. Ada pendosa yang telah membangkang Allah selama lebih dari empat puluh tahun ikut dalam perkumpulan. “Biarkan dia memisahkan diri,” firman Allah. “Hanya dengan begitu Aku akan menurunkan hujan kepada kalian.”
Dengan berat hati Nabi Musa mengabarkan warta tersebut kepada kaumnya dan meminta orang yang pelaku meninggalkan tempat. “Hanya dengan begitu kita akan diselamatkan dari kekeringan,” Nabi Musa menegaskan.
Tak seorang pun beranjak. Namun di antara mereka seorang pria yang diamuk cemas. Ia menoleh ke kiri dan kanan, berharap ada orang lain yang melangkah maju. Harapannya sia-sia.
Keringat makin deras mengucur dari keningnya. Pria itu sadar bahwa dialah orangnya. Tapi pria ini mengalami dilema; jika ia tetap tinggal di sana semua akan mati kehausan, tapi jika ia berdiri dan melangkah maka selamanya ia akan diperolok.
Maka dia mulai mengiba dengan ketulusan dan kerendahan hati yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. “Ya Allah, kasihanilah aku! Ya Allah, sembunyikan dosa-dosaku! Ya Allah, Maafkan aku!” batinnya merintih. Air matanya mengalir.
Ketika Nabi Musa dan kaumnya masih menunggu langkah sang pendosa, awan tiba-tiba menutupi langit dan hujan turun dengan lebat. Nabi Musa pun berseru, “Ya Allah, Engkau memberkati kami dengan hujan meskipun orang berdosa tidak menampakkan diri.”
“Wahai Musa, orang itu sudah mengungkapkan penyesalannya. Dan untuk penyesalan orang itulah Aku memberkati seluruh Bani Israel dengan air,” jawab Allah.
“Siapakah orang itu, ya Allah?” Nabi Musa penasaran.
“Aku menyembunyikan dosa-dosanya selama empat puluh tahun, apakah patut setelah dia bertobat Aku akan mengumbarnya?”
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap waktu sahur.