Kali ini saya ingin bercerita tentang Ayah saya. Beliau adalah Habib (baca: guru) pertama saya. Karenanya, saya cenderung membiarkan orang salah paham menyebut atau menulis nama saya sebagai “Habib Ja’far”, meskipun “Ja’far” adalah nama Ayah saya, sedangkan nama saya itu “Husein”.
Sebab, paling tidak itu semacam balas jasa secuil atas jasa beliau, plus semacam gelar bagi saya seperti gelar M.Ag yang baru saya dapat karena saya belajar tafsir Al-Quran, maka Ja’far adalah gelar bagi saya karena sudah belajar pada beliau.
Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan setiap selesai salat maghrib dan menunggu salat isya’, selain mengaji ke beliau, saya juga diajak mengkaji berbagai hal.
Kadang beliau menyampaikan pemikiran-pemikiran keislaman dan kadang pula meminta saya bertanya tentang hal-hal yang menjadi pertanyaan rumit, aneh, hingga tersesat dalam benak saya seputar keislaman yang tak mugnkin saya tanyakan di sekolah atau masjid.
Dari sana kayaknya bakat saya jadi pengasuh Pemuda Tersesat muncul. Saya bertanya dan berdiskusi tentang banyak hal dalam Islam, sehingga bagi saya, beliau bukan mewariskan Islam secara dogma, melainkan membiarkan saya memilih Islam secara berdaulat dan sadar.
Di antara beberapa hal tentang keislaman yang begitu kental yang diajarkan beliau adalah pertama, rasional.
Beliau menyampaikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan keislaman saya secara rasional, selain dalil tentunya. Sehingga saya terpuaskan sebagai muslim. Dan karena itu pula beliau membolehkan, bahkan mendukung saya belajar filsafat saat kuliah strata satu di tengah banyak orang yang dilarang belajar filsafat oleh orang tuanya karena kuatir terlalu mendayagunakan akal dan kebablasan.
Kata beliau, seorang yang berakal takkan pernah tersesat kecuali ke jalan yang benar, selama tulus bersetia pada akalnya, bukan ngakali yang berbasis nafsu.
Seorang yang menggunakan akalnya akan berjumpa kebenaran, seorang yang ngakali akan mendapat pembenaran. Bagi beliau, akal itu penting, meski bukan utama. Yang utama itu hati, dan akal pengantar ke serambi hati.
Kedua, beliau membangun keberislaman saya yang berdaulat. Beliau menyadarkan, bukan memerintah.
Ketika mulai mengajarkan saya tentang ibadah, dari sejak kecil, dalilnya satu: “tak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.”
Katanya, kita semua ini diciptakan untuk beribadah, bukan yang lain. Maka visi-misi hidup kita sepenuhnya hanya untuk ibadah. Kalau ada yang bukan ibadah, maka diniatkan ibadah agar bernilai ibadah atau ditinggalkan kalau memang tak bisa diniatkan ibadah.
Beliau bilang, jangan mau jadi hamba siapapun (termasuk diri saya sendiri) dan apapun (harta, tahta, dan lain sebagainya).
Ketiga, beliau mendidik saya untuk tak hanya saleh ritual, tapi juga saleh sosial.
Selama lebih tiga puluh tahun Beliau mengabdi tanpa digaji sepeser pun di sebuah yayasan pendidikan, dakwah, dan sosial. Lalu dari mana kami sekeluarga makan?
Dari sarang burung walet yang entah dari mana hinggap di rumah warisan kakek kami dan sepanjang puluhan tahun itu memberi makan kami.
Bayangkan! Binatang yang menjadi perantara Allah untuk memberi makan kami. Karenanya, sungguh kami tak berani membinatang-binatankan orang buruk, karena di hati kami, binatang itu mulia.
Keempat, beliau menancapkan iman yang teguh pada kami bahwa bersama Allah, semua baik-baik saja: tak perlu takut atau sedih. Karena itu, titipkan hidup kita pada Allah karena Dia yang mutlak tahu mana yang terbaik untuk kita, sedangkan kita bisanya hanya mengira-ngira mana yang terbaik untuk kita, seperti pesan Surat Al-Baqarah ayat 216.
Kata beliau, mengutip ayat Al-Quran, fokuslah “bantu” Allah, maka Allah akan bantu hidup kita. Kita ini terlalu kerdil untuk menjamin hidup kita akan baik-baik saja. Kita telah merencanakan sesuatu dengan matang, eh bisa buyar karena sesuatu yang sederhana yang tak kita kira-kira.
Berapa banyak orang pacaran LDR bertahun-tahun tapi nikah dengan tetangganya di kampung yang baru menjalin hubungan beberapa saat dengan dia? Berapa banyak orang yang bekerja serius dalam satu bidang, tapi eh suksesnya di bidang lain? Maka, resep hidup sukses menurut beliau adalah wakafkan umur untuk “bantu” Allah agar Allah urus hidup kita.
Bagaimana konsep “bantu” Allah itu? Yakni dengan mengkampanyekan dan mempertontonkan nilai-nilai luhur yang Allah telah tetapkan dalam Islam.
Karena itu, di rapot SD saya, beliau yang menuliskan cita-cita saya, yakni menjadi pendakwah. Apakah itu artinya beliau memaksa saya menjadi pendakwah? Tentu tidak! Beliau sangat demokratis, meski demokrasinya agak terpimpin. Hehe.
Bagi saya, hal semacam itu jadi doa dan harapan Beliau pada saya maupun anak-anaknya. Dan syukurlah doa dan harapan itu lumayan bisa saya penuhi. Bagi beliau, syahid utamanya adalah cara hidup. Bagaimana kita hidup, begitu kita mati. Kalau hidup diisi dengan wakaf umur untuk Allah, maka akan mati dalam keadaan syahid insyaAllah.
Saya sebenarnya masih ingin menulis banyak cerita tentang ayah saya, sebagai bentuk syukur saya atas nikmat karunia seorang ayah seperti beliau, sekaligus siapa tahu bisa jadi referensi bagi kalian yang suatu hari insyaAllah takkan jomblo lagi dan akan punya anak. Tapi, lain kali saja.
Yang jelas, satu permohonan saya untuk kalian yang membaca dan mendapat manfaat dari tulisan ini: tolong, doakan beliau berkah umur.
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap hari.