MOJOK.CO – Hasil riset para peneliti di Kementan soal kalung anti-corona sebenarnya masih sangat jauh dari tahap untuk dipublikasikan. Buru-buru itu emang rentan sih.
Kalung yang diklaim sebagai obat antivirus corona yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Balitbang Kementan) membuat heboh. Pembuatnya pada awalnya mengklaim kalung itu punya khasiat menangkal virus corona.
Tentu saja itu klaim konyol. Bahkan orang awam pun sulit menerima klaim itu. Setelah mendapat cemoohan kiri-kanan, kini tingkat klaimnya diturunkan, menjadi sekadar aksesori kesehatan saja.
Apa sih yang diteliti oleh para peneliti Kementan itu? Menurut keterangan pers dari penelitinya, yang dilakukan adalah penelitian in vitro.
Apa itu? Ini adalah penelitian yang dilakukan terhadap bagian dari benda hidup, biasanya berupa jaringan atau sel. Bagian dari benda hidup ini dilepaskan dari tubuh induknya. Dalam bahasa ilmiahnya, di luar konteks biologis normal. Intinya, bahan yang dipakai diambil sarinya, kemudian diujikan pada sel, lalu dilihat efeknya.
Apa hasil yang diharapkan dari penelitian in vitro?
Ini adalah cara untuk melakukan kajian awal, penyederhanaan terhadap sistem biologi yang kompleks. Tujuannya adalah untuk melakukan pengujian awal, sebelum dilanjutkan ke tahap yang lebih serius, rumit, dan tentu saja memakan biaya. Para peneliti biologi tentunya paham bahwa hasil penelitian ini tidak dijamin akurat untuk menggambarkan efek sesuatu terhadap sistem biologis.
Dalam konteks penelitian untuk pengembangan obat, penelitian in vitro adalah langkah awal, tujuan utamanya untuk memilih kandidat bahan kimia (calon obat) yang akan dipakai. Dari situ ada proses yang sangat panjang sampai bahan tersebut siap duji secara klinis. Uji klinis ini artinya diuji ke tubuh manusia hidup, untuk dikaji khasiatnya. Uji klinis ini pun sangat panjang.
Artinya, hasil riset para peneliti di Kementan tadi masih sangat dan sangat jauh dari tahap yang membuat mereka bisa mengklaim khasiatnya.
Saya kira mereka, para peneliti yang bergelar doktor itu, sudah paham betul soal itu. Anehnya, mereka langsung meloncat ke tahap paling ujung, yaitu membuat produk dan siap memasarkannya.
Apa yang sedang terjadi? Dalam hal ini saya hanya bisa menduga. Ini adalah tekanan dari ambisi politik dari pejabat di atas, yang ingin menunjukkan sesuatu kepada atasan maupun khalayak.
Terlepas dari soal spekulasi tekanan politik itu, saya melihat para peneliti kita memang gatal publikasi. Gatal yang tidak pada tempatnya. Peneliti memang harus mempublikasikan hasil risetnya. Tapi bukan dengan cara konferensi pers atau bikin press release. Mereka harus mempublikasikannya di jurnal ilmiah.
Di jurnal ilmiah itu ada para ahli yang akan menilai apakah hasil yang diperoleh itu sahih atau tidak, lalu menetapkan apakah hasil itu layak diumumkan kepada khalayak atau tidak. Dalam hal ini khalayaknya adalah khalayak terbatas, yaitu kalangan peneliti di bidang tersebut. Para pembaca ini pun akan menilai kesahihan hasil penelitian tersebut.
Kalau ada dari hasil riset itu yang layak diketahui orang awam, biasanya pihak pengelola jurnal ilmiah mempublikasikannya secara populer melalui media sains populer. Para editor di media itu mengemasnya dalam bahasa awam yang mudah dipahami dan menarik perhatian orang awam. Tapi substansi informasinya sahih.
Masalah pada kasus kalung Kementan ini, para penelitinya langsung mengumumkan ke media umum. Para pekerja di media umum sekarang adalah para tukang sambar. Apapun yang bisa bikin heboh akan mereka publikasikan.
Gatal publikasi ini tidak hanya diderita oleh peneliti Kementan tadi. Banyak peneliti lain yang membuat klaim-klaim heboh di media massa, baik media cetak, elektronik, maupun media daring. Ada yang mengaku menemukan teknologi 4G, memecahkan persamaan yang ratusan tahun tidak terpecahkan, menyembuhkan kanker, dicalonkan sebagai penerima Hadiah Nobel, dan sebagainya.
Media kita diisi oleh para wartawan yang kurang peduli. Mereka enggan menilai dulu apakah suatu klaim itu sahih atau tidak. Mereka juga tidak peduli apakah informasi yang disampaikan itu benar atau tidak. Yang penting ada sumbernya. Titik.
Hal yang terjadi kemudian penyebaran informasi tak akurat terjadi. Bersumber dari orang pintar yang gatal ingin populer, disebarkan oleh awak media yang tak paham, disambut dengan bergairah oleh orang-orang yang tak paham pula.
Saya tidak ingin melulu menyalahkan para peneliti. Apalagi peneliti yang bekerja di kementerian. Bagi orang pemerintah, tulisan di jurnal ilmiah itu sering kali dianggap sampah belaka, tidak ada maknanya.
Kita sering mendengar cemoohan terhadap hasil riset, yang katanya hanya menghasilkan tumpukan kertas. Orang-orang di atas sana ingin penelitian itu menghasilkan produk, yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Atau setidaknya bisa dipamerkan oleh menterinya.
Pada awal masa pemerintahan Jokowi saya sempat berkomunikasi dengan Menristek. Ucapan dia mencerminkan mentalitas tadi.
“Kita harus dorong hilirisasi hasil-hasil riset. Hanya riset-riset yang akan menghasilkan produk nyata yang akan kita biayai,” katanya bersemangat. Lima tahun bekerja, entah apa yang sudah dibawa oleh menteri itu ke hilir.
Fenomena ini terus berulang. Ini menyedihkan. Ini menggambarkan keadaan yang sebenarnya memalukan.
Apa yang tergambar di sini?
Pertama, para peneliti kita minim prestasi, sehingga bila ada hal kecil saja yang mereka hasilkan, mereka gatal untuk mempublikasikannya. Kedua, media yang diisi oleh orang-orang yang tak peduli dalam memilah informasi yang sahih dan tak sahih, khususnya terkait sains.
Ketiga, pejabat negara yang minim prestasi sehingga gatal untuk membuat klaim. Keempat, pejabat negara yang tak paham seluk beluk riset, termasuk pejabat yang mengelola kebijakan riset. Kelima, rakyat seperti kita yang rendah literasi sehingga gampang percaya dengan informasi tak akurat.
BACA JUGA 3 Fitur Tersembunyi Kalung Anti-Corona yang Terlalu Diremehkan Banyak Orang atau tulisan Kang Hasanudin Abdurakhman lainnya.