MOJOK.CO – Pada masanya, para tukang begal sering muncul mencegat para jamaah haji yang sedang dalam perjalanan ke Mekkah. Motifnya pun tak melulu urusan perut.
Pada masa kekuasaan Turki Utsmani dan pemerintahan Hasyimiah kerap kali terjadi perampokan atas jemaah haji, baik dalam perjalanan antara Jeddah dan Mekkah, maupun antara Mekkah dan Madinah. Tampaknya motif penggarongan itu tidak semata-mata karena faktor ekonomi, tetapi juga karena faktor politik.
Menurut Badri Yatim dalam Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci Hijaz (Mekkah dan Madinah) 1800-1925 (1999), bahwa sejak akhir abad 19 telah terjadi persaingan antara suku Dewiziyah, asli Badui dan termasuk pendukung Gerakan Wahabi, dengan suku Abaddillah yang berasal dari Mesir dan anti-Wahabi.
Kedua suku itu saling bergantian menguasai Mekkah pada masa Turki Utsmani sebagai Groot Syarif. Suku pendatang dari Mesir sejak 1853 menduduki jabatan bergengsi itu dan beberapa dinas penting lainnya dari pemerintahan Turki di Hijaz. Kedua kekuatan itu mempunyai pengikut di kalangan suku-suku Badui yang dapat disulut untuk membuat keonaran dan perampokan ketika penguasa bukan dari kalangan mereka.
Titimangsa 1904, terjadi suatu pembegalan terhadap jemaah haji asal Barabai, Sukabumi, Gresik, Menes, Serang, Pandeglang, Cilacap, dan Indragiri dengan jumlah kerugian berupa uang tunai sebesar f20.059,64 (gulden Belanda) dan barang dengan nilai f5.596,12.
Menurut konsul Belanda di Jeddah, pada 8 September 1908, terjadi perampasan terhadap 70 orang jamaah haji Indonesia dalam perjalanan menuju Mekkah. Kala itu, Jeddah dalam keadaan tak aman. Sebab, jumlah tentara hanya lima puluh personel, terlebih lagi mereka tidak bertindak tegas dan keras terhadap orang-orang Badui, perusuh, dan bromocorah itu.
Shaleh Putuhena dalam karyanya, Historiografi Haji Indonesia (2007) meneroka bahwa rangkaian perampokan terbesar terjadi tahun 1909. Suatu rombongan jamaah haji dijarah pada malam 24 Sya’ban 1327, ketika dalam perjalanan menuju Mekkah dari Jeddah.
Dari 45 orang korban, dijabal sekitar f20.000, berupa uang tunai, sedangkan bila dijumlah dengan barang, kerugian seluruhnya mencapai sekitar f30.000 sampai f40.000. Peristiwa perampokan ini diikuti pula dengan penggarongan suatu kafilah jamaah haji oleh lanun Badui pada 12 September 1909, sehingga seratus unta hilang, dan disusul dengan suatu peristiwa perampokan yang berjadi di Bahrah.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, memang tidak lagi terdengar berita tentang perampokan terhadap jemaah haji. Akan tetapi, pada 1920 dilaporkan telah terjadi perampokan oleh orang-orang Badui terhadap jemaah haji yang melintasi daerah kekuasaan mereka.
Tahun berikutnya (1921), terjadi lagi perampasan uang milik jemaah haji. Jemaah haji yang dalam perjalanan pulang dari ziarah di Madinah pad Sya’ban 1339, dipaksa untuk menyerahkan uangnya senilai f10, f20, atau f30 kepada pencoleng-pencoleng Badui.
Aksi bajingan-bajingan terjadi kembali pada 1922 terhadap suatu karavan (kafilah) dengan sekitar 2000 jamaah haji Indonesia, India, Persia, dan Suriah. Masih pada tahun yang sama, pemerintah Hasyimiah mengumumkan bahwa suatu karavan haji telah dipalak uang oleh sekelompok penyamun Badui tatkala mereka tiba di Biir Watt.
Walaupun muqawwim (kepala karavan) itu melarang, tetapi karena kafilah itu akan dibantai apabila jemaah haji tak memenuhi tuntutan mereka, yaitu membayar £5 (pound sterling Inggris) untuk mereka yang hendak terus ke Madinah atau £3 bagi mereka yang mau kembali ke Mekkah. Tahun 1924 dilaporkan sejumlah jemaah haji Indonesia dirampok dengan kerugian sekitar f550.
Pada masa pemerintahan Raja Ibnu Saud, keadaan perjalanan lebih aman, terutama dari perampokan, penjarahan, dan paksaan terhadap jemaah haji. Hal ihwal ini barangkali disebabkan oleh sebagian besar cecunguk suku Badui itu adalah pengikut atau simpatisan setia dari Ibnu Saud yang berideologi Wahabi itu.
Sesuai dengan kesepakatan, pemerintah Turki Utsmani akan memberikan ganti rugi kepada jemaah haji yang dirampok apabila ada nota dari Ministerie van Buitenlansche Zaken (MBZ).
Karena pengurusan administrasi nan silang selimpat, ditambah lagi dengan kesibukan lain pada musim haji, maka pembayaran ganti rugi baru dilaksanakan setelah beberapa tahun peristiwa kriminalitas itu terjadi, dan tidak seluruh kerugian dibayar oleh pemerintah.
Menurut Eric Tagliacozzo dalam karyanya, The Longest Journey: Southeast Asians and the Pilgrimage to Mecca (2013), kerugian yang dialami jemaah haji pada peristiwa perampokan sejumlah f25.625,81 hanya dikompensasi dengan £825 (kira-kira f10.350).
Uang itu diterima dan dikirim oleh konsul Belanda di Arab Saudi kepada Directeur van Onderwys, Eeredienst en Nyverheid di Batavia, sedangkan restitusi sejumlah f33.380 yang ditimbulkan oleh rangkaian perampokan dalam tahun 1909, nampak hanya akan dibayar oleh Groot Syarif separuhnya saja.
Pada masa pemerintahan Hasyimiah, pemerintah menaruh perhatian terhadap pergantian pampasan jemaah haji yang dirampok. Raja menetapkan penggantian kerugian sebesar £1 untuk setiap £4 yang hilang. Pembayaran dilakukan di balai pemerintah.
Tahun 1922, sejumlah 408 jemaah haji mendapat ganti rugi setelah mendapatkan keterangan dari pemerintah Mekkah. Namun, wakil konsul di Mekkah menyampaikan bahwa di rumah kepala syaikh pernah diadakan rapat para syaikh untuk menerima perintah tentang larangan permintaan ganti rugi perampokan kepada pemerintah.
Dan, dalam pemberitaan surat kabar Qiblat diinformasikan bahwa pemerintah Arab akan segera membayarkan kerugian bagi jemaah yang dirampok dalam perjalanan ke Madinah. Rupanya berita di surat kabar itu tidak dilaksanakan, karena Menteri Luar Negeri Arabia menyatakan bahwa sebagian ganti rugi itu dianggap sebagai sumbangan jemaah untuk perbaikan jalan ke Madinah.
Meskipun jarang terjadi, masih terdapat beberapa masalah lainnya yang dialami oleh jemaah haji Indonesia, seperti hukuman dan penipuan. Seorang jemaah haji Indonesia dijatuhi hukuman potong tangan karena mencuri. Akan tetapi, dia diampuni oleh Raja Husein dan akhirnya dibebaskan.
Konsul mengomentari peristiwa itu dengan menyatakan, bahwa kenyataannya pemerintah Hasyimiah tetap melaksanakan hukum Islam yang keras itu terhadap warga Hindia Belanda. Seorang jemaah haji lainnya diwartakan telah dibebaskan atas perintah Raja Ibnu Saud. Dia harus dikembalikan ke Indonesia bersama jemaah haji yang miskin pada kesempatan pertama.
Peristiwa penipuan dilaporkan oleh 50 orang jemaah haji dari Majalaya dan Garut kepada Raja Husein. Ketika masih di Batavia, uang mereka yang berjumlah f13.313 diambil oleh seorang jemaah haji yang juga berasal dari Garut dengan janji akan dikembalikan pasca tiba di Jeddah.
Namun, setibanya di Jeddah, orang itu tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Mereka mengharapkan bantuan raja untuk mendapatkan uang mereka yang maherat itu.
Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.