MOJOK.CO – Andai segala dosa orang Pasar Beringharjo Jogja itu masih ada di masa kini, pasti cocok jika diberi judul: “Pasar Undercover”
Kadang saya geli. Khususnya ketika melihat bagaimana manusia sekarang merasa harus memberikan “pakaian baru” untuk pasar tradisional. Semacam rebranding. Baik itu dengan mengupayakan modernitas lewat digitalisasi maupun lewat romantisasi pasar dengan segala tawaran rekreasionalnya.
Saya sendiri tumbuh dan besar di pasar era tahun 90-an. Dulu, ibu saya berjualan di Pasar Beringharjo Jogja.
Menjadi anak pedagang membuat saya memiliki hubungan yang cukup romantis dengan pasar. Bagi orang tua saya, pasar ibarat samudera dengan banyak ikan di dalamnya yang siap dijala. Pedagang pasar kebanyakan juga berpikiran seperti itu. Tapi bagi saya, pasar adalah rumah kedua dengan taman bermain yang sangat luas.
Di masa kecil, saya biasa bermain di antara kios-kios kosong Pasar Beringharjo Jogja setiap pulang sekolah. Saya kadang tidur siang di atas langit-langit kios ibu saya yang terbuat dari seng dengan alas kardus. Memori ini sama sekali tidak menyedihkan. Saya senang bisa memandang dunia orang dewasa dari atas kios hampir setiap hari.
Sungguh, saat itu menyenangkan. Rasanya sangat seru bisa pasaran dengan kedua adik saya dari atas kios sepulang sekolah. Meski, sesekali saya melihat beberapa kejadian tak menyenangkan dari atas kios. Saya pernah menyaksikan aksi rombongan copet di dalam pasar.
Kisah kelam Pasar Beringharjo Jogja masa lampau
Siang itu Pasar Beringharjo Jogja sangat ramai. Biasanya, saat pasar ramai, ibu saya menjadi lebih waspada. Maklumlah, ada rombongan copet yang selalu beraksi saat pasar sedang ramai.
Mereka tak hanya mengincar dompet pengunjung pasar. Rombongan copet ini juga mengincar barang dagangan di luar kios. Entah bagaimana, mereka selalu tahu barang yang nilainya tinggi. Meski sudah waspada, siang itu satu kardus kerupuk ibu saya hilang. Ibu berteriak.
Ternyata rombongan itu belum terlalu jauh. Maklumlah satu kardus kerupuk yang mereka incar itu beratnya 20 kilogram. Tak mudah memindahkannya dengan cepat.
Rombongan itu tertangkap berkat kesigapan para kuli pasar dan pedagang di Pasar Beringharjo Jogja. Saya melihat para kuli dan pedagang mendorong-dorong, menggiring para copet menuju kantor pasar. Sungguh menegangkan buat saya.
Kisah duniawi Pasar Beringharjo Jogja yang belum saya pahami
Di lain hari, saya sangat sering menyaksikan sudut gelap di area kios yang jarang buka di Pasar Beringharjo Jogja menjadi tempat para kuli melakukan seks kilat. Iya. Saya masih kecil saat itu.
Terkadang, saya bisa melihat dengan jelas seseorang membuka ikat pinggang atau celana pasangannya di sana. Terkadang mereka saling dorong, saling tindih, selayaknya musang birahi.
Saya saat itu tak paham. Apakah mereka pasangan legal? Mungkin PSK dengan klien? Atau, yang saya lihat itu sebenarnya adalah tindak kekerasan seksual? Saya tidak paham bahkan hingga hari ini saat saya berani menceritakannya. Yang jelas, area itu saya hindari saat bermain kejar-kejaran bersama dengan adik-adik dan teman sebaya dari kios lain
Di area yang sama, masih di Pasar Beringharjo Jogja, saya juga pernah menyaksikan seorang perempuan ditampar dan dipukuli. Saya hanya bisa diam tak bergerak saat itu. Saya tak berani berteriak maupun mengadu pada ibu saya. Era itu belum ada CCTV seperti sekarang, kejahatan dan hal-hal buruk tersimpan rapat bersama kios-kios pasar yang suram dalam sudut temaram.
Cerita lain seperti soal judi dan mabuk-mabukan juga menjadi hal yang sangat jamak di Pasar Beringharjo Jogja era dulu. Jadi tidak heran apabila orang-orang di pasar mendapatkan stigma warga kelas dua yang tak seterhormat PNS. Pacaran antara anak bakul pasar dengan anak PNS adalah tantangan yang lebih berat dari pacaran beda agama saat itu.
Segelap itulah kehidupan pasar
Andai segala dosa orang Pasar Beringharjo Jogja itu masih ada di masa kini, pasti cocok jika diberi judul: “Pasar Undercover”. Tapi, sekali lagi, kisah yang saya alami bersama pasar bukanlah kisah menyedihkan. Saya dan banyak anak pedagang lain, bukanlah anak yang terpaksa tumbuh di lingkungan yang suram.
Saya bahkan merasa gembira saat bisa bermain dan bertualang menjelajah Pasar Beringharjo Jogja bersama adik-adik dan anak-anak pedagang lain. Petualangan itu bagaikan kisah-kisah seru dalam buku Lima Sekawan karya Enid Blyton.
Tapi hubungan saya dengan pasar tak selalu manis. Saya pun pernah memandang pasar sebagai tempat yang tak cukup bergengsi seperti kebanyakan orang. Pasar pernah menjadi pilihan kedua.
Waktu itu rasanya lebih menyenangkan saat belanja ke supermarket modern yang lebih bersih, tidak bau, dan nyaman. Banyak masyarakat metropolitan mungkin merasakan kesan serupa. Khususnya yang memang punya gaji yang cukup untuk melupakan pasar tradisional.
Namun, in this economy, simbiosis mutualisme yang diusahakan demi terciptanya saling hidup menghidupi antara supplier dengan pasarnya kembali hidup. Romantis walau mengkis-mengkis.
Dialog hangat yang menyedihkan sering terjadi di pasar mana saja. Sambatan telat bayar sekolah anak, listrik yang terancam dicabut, bank plecit yang matane mecicil, harga yang semakin melangit, dan pemerintah yang dlogok adalah tema sehari-hari di pasar saat ini.
Pasar masih menjadi ruang srawung paling hidup
Kini, banyak kios di pasar tradisional yang pada akhirnya berganti tuan. Entah karena pemiliknya meninggal atau karena memutuskan menjual kiosnya.
Sekali lagi, ini bukan sebuah kisah menyedihkan. Pasar menjadi pilihan karena punya trafik yang jauh lebih bagus daripada marketplace. Mungkin alasan ini pula yang membuat para Gen Z berani membuka usaha baru di pasar-pasar tradisional.
Perubahan besar yang terjadi membuat ramalan Jayabaya “Pasar ilang kumandange”, terasa melempem. Pasar sedang berganti rupa. Ia bertransformasi dan ini adalah sebuah kabar baik. Pedagang-pedagang muda terlihat di pasar-pasar tradisional.
Kedatangan orang-orang baru ke Pasar Beringharjo Jogja merupakan gejala awal bangkitnya perekonomian sektor bawah. Jiwa kanak-kanak saya, rasanya gembira melihat tanda-tanda hidupnya kembali pasar saat ini.
Semoga hal ini tak hanya menjadi tren sesaat. Mungkin lima tahun lagi, anak muda akan membanjiri pasar tradisional. Mereka sadar betul bahwa pasar tradisional dapat menjadi ruang bertemu, taman bermain, bahkan rumah kedua bagi setiap manusia.
Penulis: Butet RSM
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Menelisik Sejarah Pasar Beringharjo yang Sudah Jadi Tempat Transaksi Sejak Masih Berupa Hutan Belantara dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.















