BACA JUGA – Kim Jong-un menangis meminta maaf lantaran belum mampu mengeluarkan negaranya dari krisis sepanjang pandemi ini. Hm. Halo, halo, Pak Jokowi? Halo?
Ada hal melankolis selain hujan pertama di Jogja yang meninggalkan sumuk berkepanjangan. Pun ada yang lebih sentimentil ketimbang para demonstran yang dituding sebagai dalang kerusuhan.
Semua itu terangkum sempurna para acara peringatan ke-75 tahun Partai Buruh Korea. Pelakunya adalah Kim Jong-un, kepala negara paling suweeek sepanjang masa.
Kali ini Kim Jong-un tidak sedang umuk dalam prestasinya membangun Korea Utara. Blio juga tidak sedang ngeker dari jarak jauh, pakai topi safari, dan tersenyum manis uwuwuw. Hari itu bukan Kim Jong-un yang tampak bukan Kim biasanya.
Sebuah derai air mata keluar dari sudut mata Kim Jong-un di tengah-tengah orasi. Pidatonya yang biasanya bergelora penuh dengan kebahagiaan, kini nampak berduram durja karena menyatakan permohonan maaf kepada rakyatnya.
Rakyat Korea Utara selalu mendukungnya, namun Kim Jong-un menangis meminta maaf lantaran belum mampu mengeluarkan negaranya dari krisis berkepanjangan.
“Saya malu karena tidak pernah bisa membayar kepercayaan kalian yang sangat besar ini dengan layak. Upaya dan pengabdian saya tidak cukup untuk membawa kalian keluar dari sulitnya mencari mata pencaharian,” begitu kata Kim Jong-un sambil menangis.
Ada tiga hal pokok yang jadi titik tekan Kim Jong-un di balik kacamatanya yang sembab.
Yakni sanksi internasional, pandemi corona, dan bencana alam yang menyerang Korea Utara, seperti bencana Topan Masyak. Sesekali blio ambil napas, membuka kacamata, dan tepuk tangan membuncah.
Seorang yang dikenal tangan besi dan bengis bisa menitikkan air mata di hadapan tentara dan masyarakatnya itu memang luar bisa. Sebagai seorang tirani kelas wahid yang masih bertahan sampai sekarang di dunia, Kim Jong-un sadar bahwa semua rakyat mengharapkan dirinya.
Apalagi di Korea Utara, blio ini udah setara dewa, bahkan sampai dianggap bisa membaca isi pikiran tiap individu rakyatnya. Sudah sebegitu berkuasa pun, Kim Jong-un tetap punya perasaan tidak berdaya menghadapi pandemi sampai akhirnya menangis. Drama korea pun jadi agak ke utara sekarang, menjauh dari Indonesia.
Nah, sebagai pengamat derai air mata yang berkecipung di dunia ini sudah cukup lama, saya nggumun dengan tangis Kim Jong-un. Ya gimana ya, ini Kim Jong-un, lho! Kim Jong-un! Bukan Oppan Gangnam Style, bukan Kim Soo Hyun!
Siapa yang nyangka kalau supreme leader yang selalu menampilkan sisi menyenangkan, mbois, powerfull, serem tapi ramah senyum, dan lain sebagainya ini jebul bisa menampilkan sisi sentimentilnya di hadapan kamera. Tinggal dipirang dikit rambutnya, udah jadi Uya Kuya ente, Kim! Dramaaa.
Lantas, apa kabar Pakde Jokowi? Sosok yang dikenal murah senyum, bersahaja, pandai memikat hati dengan keramahannya. Apakah blio juga merasa bersedih manakala masyarakat banyak yang turun ke jalan, menyatakan persetan dengan pandemi corona, hanya demi suaranya lebih bisa didengar?
Sebagai pakar tangisan saya menilai bahwa bisa saja gambaran Kim Jong-un menangis ini memiliki makna lain. Tangis adalah pemupus rasa bersalah dan medan magnet paling luar biasa untuk melahirkan simpati. Nggak ada salahnya Jokowi menempuh jalan terjal seperti apa yang ditempuh oleh Kim Jong-un. Setidaknya sebagai penetralisir ketegangan dulu.
Apalagi sebagai kepala negara yang bersahaja, Jokowi sudah mengecewakan banyak pihak. Walau bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai pejabat negara. Ya kan ketika udah jadi seorang presiden itu, Jokowi sudah bukan lagi person, blio sudah jadi institusi. Ini belum ditambah blio dikelilingi orang-orang yang demen banget memunculkan banyak persoalan baru.
Mulai dari Lord Luhut yang bisa cosplay jadi apa saja, dan ujung-ujungnya yang salah ya Jokowi juga. Ada juga Terawan yang kebanyakan kasih punchline tanpa set up, meski Terawan sendiri sudah jadi punchline belakangan ini.
Belum dengan masalah “anak-anak TK” yang melabeli dirinya wakil rakyat paling terhormat seantero jagat. Yang berkat mereka, ribuan orang turun ke jalan, saling sikut dengan balungnya sendiri.
Melihat itu semua, dan turunnya kepercayaan publik, tangis mungkin bisa jadi jalan ninja paling baik untuk Jokowi belakangan ini. Tinggal tampil ke hadapan publik, rembug bersama, lantas mewek.
Apalagi terbukti kemarin Jokowi marah-marah hasilnya zonk, Jokowi blusukin hasilnya masih zonk, bahkan Jokowi minggat ke Kalimantan ketika didemo mahasiswa pun hasilnya zonk. Cuma nangis yang belum terbukti zonk.
Melihat itu, masyarakat yang udah kadung menganggap pemerintah gagal dalam membendung pandemi dan kesejahteraan dalam cakupan yang luas, sepertinya perlu dihibur.
Jika kemarin dihibur via adrenalin dengan marah-marah dengan kelakuan wakil rakyat, sekarang bisa lah dihibur dikit dengan tangisanmu itu, Pakde. Sedikit aja tapi, jangan banyak-banyak.
Oke, saya tahu, mungkin Kim Jong-un bukanlah contoh yang baik. Apalagi derai air mata yang jatuh ke pelupuk matanya itu lebih banyak air mata buayanya ketimbang air mata penyesalannya.
Namun, hadirnya blio di muka publik, menyampaikan kesulitan yang dia alami, dan uluk salam kepada masyarakat Korea Utara, itu bisa dijadikan dorongan evaluasi diri lebih kuat. Atau paling tidak, ada citra kelihatan mau evaluasi diri. Soal evaluasi beneran atau nggak, ya itu urusan masing-masing.
Jadi Pakde, menangislah. Walau tendensinya bukan merasa gagal (btw, tidak ada tradisi merasa gagal dari pejabat Indonesia ya! Camkan itu, Kisanak!).
Menangislah karena kelakuanmu, atau kelakuan bawahanmu itu. Menangislah karena banyak rakyat Indonesia yang sudah kelewat berharap sama sampean tapi ternyata sampean belakangan mirip-mirip aja sama yang dulu-dulu.
Menangislah, karena apapun kesalahannya, air mata lah solusinya. Tunjukan air matamu, agar kelihatan ke arah mana keberpihakanmu sebenarnya, Pakde.
Kalau tak bisa, mungkin Pakde Jokowi perlu lakukan studi banding ke Korea Utara. Tentu jangan lupa ajak Pak Terawan juga.
Ya biar bisa minta diajarin sama Kim Jong-un cara menangis sekalian. Tapi ingat, diajarin nangisnya doang lho ya, bukan diajarin yang lain. Bukan minta diajarin tata cara nurunin kekuasaan ke anak sendiri misalnya.
Soalnya kalauitu sih, nggak perlu sampai Korea Utara juga, di Indonesia banyak sudah gurunya. Iya kan Bu Mega?
BACA JUGA Ternyata Kita Semua Sayang Kim Jong-un dan tulisan Gusti Aditya lainnya.