MOJOK.CO – Ketika dekade pertama kekuasaan Orde baru, bagi para laki-laki memelihara rambut gondrong satu tingkat lebih sulit ketimbang memelihara tuyul. Percayalah.
Di pinggir jalan kota-kota besar, tentara mengadakan razia dengan senjata gunting cukur. Alih-alih terlihat berwibawa dan kharismatik, mereka lebih tampak seperti abang-abang Barbershop dengan kostum loreng. Di Sumatera lain cerita, entah pikiran unik macam apa yang melintas pada gubernur Marah Halim sampai ia membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorpragon). Televisi tak mau kalah, lewat tayangan yang tendensius ia seolah memberikan citra “gondrong” pada setiap pemeran copet, begal, penyamun, preman dan penjahat sejenis. Padahal hati tak bisa dibohongi, segondrong apa pun laki-laki tak akan kalah jahat dengan mereka yang datang, unyel-unyel rambut lalu pergi tanpa kepastian, My lov~
Saya membayangkan hal semacam itu sebagai fragmen sejarah yang sangat lucu. Maksud saya, bagaimana bisa negara ikut campur dalam persoalan sedemikian sepele sampai luput pada keinginan warganya untuk gaya-gayaan semata? Secemas apa pun Anda, Pak Harto, terhadap budaya hippies di Eropa, menyeragamkan kepala seseorang bukanlah perbuatan terpuji.
Jika, misalnya sekelompok orang ditelanjangi dan bulu yang tumbuh pada kepalanya dibabat habis oleh aparat hanya karena ia dinilai memberontak—seperti yang terjadi pada kelompok Anarko di Bandung kemarin, ya itu cuma memperparah keadaan. Pertama, mereka memberontak sebab memiliki pandangan terhadap nilai ideal pada tatanan masyarakat, dan ia tumbuh di kepala, bukan rambut. Seberapa sulit membedakan kepala dan rambut, Pak? Kedua, bagaimana nasib para gondrongers apolitis yang memilih buat gaya-gayaan doang? Serius, saya sering mendengar, “Halah, Elu rambut doang gondrong tapi ogah melawan sistem” sebagai cemooh. Dan itu sungguh menyedihkan.
Ya mau bagaimana? Melawan sistem kan tak mesti harus memanjangkan rambut, Bos. Mendorong pintu minimarket padahal tulisannya “tarik” juga sudah melawan sistem!11!!!
Masyarakat pun akhirnya terbelah menjadi dua: yang rambut pendek menganggap yang gondrong sebagai pemberontak. Sementara yang gondrong terjebak pada stigma dan selalu ingin tampil gagah-gagahan lalu gampang memaki kawan gondrongnya yang dianggap kurang ter-ideologis.
Kelompok pertama tadi memiliki sejuta jurus makian, mulai dari perkara remeh-temeh sampai yang paling pekok mencoba membenturkannya dengan agama. “Loh nanti kalian kalau salat bagaimana? Keningnya ketutup rambut, dong!” Orang yang berkomentar dengan nada begini, barangkali selama hidup di dunia tidak mengetahui teknologi bernama “jepit rambut”.
Padahal, gondrong dalam Islam memiliki hukum yang longgar. Ia akan menjadi haram jika misalnya, ujung rambut yang sudah menjuntai digunakan mencolok mata teman yang sedang asyik main PUBG. Bisa menjadi sunah jika diniatkan meniru Rasulullah, sebab pada beberapa riwayat Beliau digambarkan sering tidak mencukur rambutnya hingga sebatas pundak. Akan tetapi, saya pribadi menganggap berambut panjang di luar perkara ibadah, maka ia menjadi boleh-boleh saja dengan syarat tidak bertentangan dengan adat tertentu.
Dan sejauh ingatan saya, di Indonesia tidak ada satu pun konsensi adat yang mengurusi persoalan rambut. Jadi ya selow saja, lah~
Kelompok kedua lain lagi, ia seolah terjebak pada eksklusifitas dan merangkak pada cara berpikir keliru. Bagi mereka rumusnya begini: gondrong itu dilarang oleh sekelompok orang. Jika kamu memilih gondrong—entah dengan alasan apa pun—mari kita bergandengan tangan dan melawan. Kalau enggan, ya siaplah kami semprot! 1!1!1
Saya curiga, jangan-jangan alasan Ki Joko Bodo mencukur rambut itu bukan karena ingin hijrah. Akan tetapi, karena beliau capek dengan cocot Kalian. Pasti beliau di tongkrongan sering dicemooh dengan, “Apaan? Gondrong tapi percaya mistik. Pake logika dong. Xixixi” atau “Manjangin rambut kok jadi dukun? Nggak baca MADILOG yha~” Sabar ya, Ki. Padahal kalau mau hijrah kan nggak harus cukur, Ki. Ehm, tapi, ya sudah kalau tekad Aki memang bulat.
Ya Allah, betapa sulit hidup damai di negara yang sensitif terhadap simbol. Mau menjadi lelaki berambut panjang saja, kok ribet.
Padahal, alasan setiap orang tentu tidak bisa diseragamkan. Saya misalnya, semenjak lulus SMA dan masuk kuliah tak pernah sekali pun rela untuk sekedar mampir—apalagi menjadi konsumen—di kios tukang cukur Asgar. Bukan karena merasa perlu melawan sistem, terlihat sebagai pemberontak, atau hal-hal sejenis. Tukang cukur bagi saya adalah penyihir ulung dan tidak ada orang yang merasa gembira ketika ditipu dengan trik murahan, kan?
Bagaimana bisa, saat bercermin di kios yang disediakan, kita akan begitu mudah memuji hasil kerja abang-abang cukur dan merasa tampan. Akan tetapi, setelah tiba di rumah ternyata hasil kerja beliau cukup menunjang bentuk wajah kita menjadi serupa ujung karambol. Alias ambyaaar, Mylov~
Sulit untuk tidak menuduh mereka sebagai penyihir. Bahkan—pada titik tertentu—kadang saya berpikir, barangkali semua tukang cukur adalah alumni Hogwarts angkatan Ronald Weasley, Hermione Granger, dan Harry Potter. Hmmm, patut dicurigai.
Lain lagi dengan kawan saya, Asbak—sebut saja begitu. Dia membiarkan rambutnya tumbuh dengan alasan meniru Habibana Bahar Smith. Demi janggut Roy kiyoshi, dia begitu idealis sekali. Setiap kali berjumpa dengannya, saya selalu diberi kuliah tentang konsep khilafah selama 3 SKS secara cuma-cuma. Namun, coba lihat bagaimana alasannya menjadi gondrong? Seram kan? Wqwq~
Asbak memang menakutkan. Kecuali saat ia dengan gagah dan percaya diri menyampaikan bahwa ia memilih produk sampo hijab dengan alasan ingin auto masuk surga. Supaya bisa sesuai syariat katanya. Hahaha. Mamam.