“Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan memberi balasan,” demikian Tuhan berfirman. Ini adalah ibadah khusus sehingga Tuhan membuat satu surga untuk orang-orang yang berpuasa dengan benar. Karena ini ibadah yang dinisbahkan kepada Tuhan, maka setan dilarang ikut campur—mereka dibelenggu dengan rantai neraka.
Tetapi mengapa masih ada orang berpuasa yang berbuat jahat atau maksiat? Contoh paling jelas: berpuasa tapi tetap menyebar ujaran kebencian, dusta, dan fitnah melalui media sosial. Apakah itu karena hasil didikan setan atau bagaimana?
Seorang kawan menulis agak pedas, “Puasa adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa manusia sudah bisa berbuat jahat tanpa harus digoda setan.” Boleh jadi ia benar, sebab Tuhan juga mengatakan bahwa manusia diilhami fujuraha wa taqwaha. Dalam diri ada potensi berbuat fujur, yakni perbuatan fasik, buruk, dan tak berperikemanusiaan.
Kita berpuasa atau tidak, nggak ada yang tahu kecuali diri kita dan Tuhan. Puasa adalah ibadah yang bertujuan, salah satunya, untuk memurnikan perbuatan agar tak menyimpang dari tata aturan ilahiah dan perikemanusiaan. Karena itu, ujian dalam puasa justru lebih banyak datang dari tempat yang paling dekat—diri kita sendiri.
Orang-orang, apa pun agamanya, secara intuitif tahu bahwa semakin mulia seseorang, semakin dekat sumber ujiannya. Para penulis cerita mengemukakan hal ini dalam kisah-kisah fiksi mereka yang mengagumkan. Mahabarata, misalnya. Arjuna bahkan nyaris putus asa ketika harus bertempur dengan orang-orang yang dia hormati, termasuk sesepuh mereka, Bisma Dewabrata, petapa yang arif dan bijaksana.
Dalam kisah Naruto: Shippuden, dunia ninja mengalami perang dunia Shinobi ke-4, yang mana tokoh-tokoh baik harus melawan pasukan orang mati yang dibangkitkan melalui ilmu yang diharamkan, Edo Tensei. Mereka adalah orang-orang dekat dari masa lalu yang dibangkitkan oleh Kabuto. Tiap tokoh berhadapan dengan masalah hatinya sendiri yang selama ini coba ditekan atau dilupakan sehingga membuat tokoh-tokoh dalam pasukan koalisi ninja menyimpan luka di hati mereka. Dalam peperangan itu, luka dihadirkan kembali secara jelas dalam pertemuan mereka dengan sosok orang-orang yang mereka hormati dan cintai yang harus mereka lawan.
Pada akhirnya, melalui pertempuran yang menyedihkan, mereka bisa mengobati luka hati dan memperoleh kedamaian dalam diri mereka. Karena mereka telah bisa berdamai dengan diri mereka sendiri, perlahan pasukan koalisi mampu memenangkan pertempuran, dan kehidupan yang damai hadir kembali di dunia ninja.
Pertempuran-pertempuran itu melambangkan pertempuran dalam batin manusia yang tak usai-usai. Semakin dekat seseorang dengan Tuhannya, semakin dekat pula sumber “musuhnya”. Jika lawan-lawan dari luar telah dibuat tak berdaya dan tak bisa lagi memengaruhi kita, yang dilambangkan dengan setan yang dibelenggu, tiba gilirannya kita berhadapan dengan lawan yang paling tangguh: hawa nafsu kita sendiri.
Pertempuran batin adalah cara untuk memurnikan perbuatan agar semata-mata demi al-Haqq, Kebenaran, yang adalah Tuhan itu sendiri. Karena itu, sekali lagi, puasa ialah untuk Tuhan, untuk menguji seberapa tegak tauhid dalam diri manusia agar ia pantas disebut hamba dan, pada gilirannya, layak menerima anugerah sebagai manusia khalifatu fil ardhi. Dalam pertempuran ini, segala anugerah yang datang dari Tuhan harus kita tempatkan dalam wadahnya yang tepat untuk menyucikan jiwa: niat, semangat, keinginan, rasa dan perasaan, bahkan sifat yang negatif, termasuk amarah, harus diberdayakan menurut kehendak-Nya, bukan kehendak hawa nafsu kita sendiri.
Salah satu contoh manusia, selain Kanjeng Nabi, yang telah mampu mengubah potensi negatif menjadi selaras dengan kehendak-Nya, adalah Sayidina Imam Ali karamallahu wajhah.
Dalam sebuah peperangan, Sayidina Ali berhasil mendesak seorang musuh dan siap untuk menghunjamkan pedangnya. Lawan itu meludahi muka Sayidina Ali. Seketika itu juga Sayidina Ali menurunkan pedangnya, tak jadi membunuhnya. Sang musuh heran dan bertanya, “Mengapa engkau tak membunuhku?”
Sayidina Ali menjawab, “Sebelum engkau ludahi, aku berperang karena Allah, tetapi setelah engkau meludahiku, aku tersinggung dan marah karena merasa dihina. Marahku adalah karena hawa nafsuku, maka aku tak mau menurutinya.” Ini seolah-olah Sayidina Ali mengatakan, “Jika aku menuruti kemarahan nafsuku, aku mengkhianati amanah Tuhan karena aku marah lantaran keinginan nafsuku sendiri.”
Kini bolehlah kita bertanya-tanya, seberapa kuatkah kita melawan ujian paling besar ini? Sebab, jika kita kalah dalam ujian berat ini, boleh jadi kita mengikuti jalan yang menakutkan, jalan yang juga menyebabkan Sayidina Ali terbunuh: jalan Ibnu Muljam. Kita tahu dia seorang qari, hafal Al-Quran, ahli agama, ahli ibadah, ahli puasa, bahkan konon selalu salat tahajud. Namun, ia gagal melawan musuh yang paling dekat dengan dirinya sendiri, sehingga sampai pada titik ia merasa telah berbakti kepada Tuhannya dengan membunuh salah satu sahabat yang telah dijamin masuk surga.
Dan sekarang, kita banyak mendengar gaung seruan Ibnu Muljam di dunia modern. Yang terkini, jalan Ibnu Muljam tampak pada diri orang yang berteriak “This is for Allah” sambil menikam orang di Jembatan London.