MOJOK.CO – Fanshruri berdebat lagi dengan Mas Is soal halal-haram ucapan selamat hari natal. Perdebatan tahunan yang membosankan.
Begitu keluar dari masjid usai salat jamaah salat asar, di teras pintu masjid terdengar perdebatan hebat antara Fanshuri dan Mas Is. Hari sudah sore, Gus Mut yang tadinya sudah mau buru-buru pulang jadi tertahan karena dua tetangga Gus Mut ini menutupi jalan keluar.
“Nggak bisa begitu, Fan. Toleransi nggak boleh keblabasan begitu,” kata Mas Is ngotot.
“Loh itu bukan keblabasan, wong cuma ucapan selamat natal biasa kok masalah amat,” kata Fanshuri nggak kalah ngotot.
Gus Mut yang tadinya buru-buru jadi berhenti sejenak menunggu dua orang ini berdebat.
“Coba tanya Gus Mut,” kata Fanshuri ketika tahu gurunya datang di belakangnya.
“Ada apa ini?” tanya Gus Mut bingung.
“Ini lho, Gus. Mas Is tahu-tahu bilang ke saya. ‘Fan, postinganmu soal selamat hari natal itu dihapus aja,’ gitu katanya. Katanya saya bisa jadi kafir cuma gara-gara itu,” kata Fanshuri.
“Heh, apa kamu bilang?” kata Mas Is sebelum Gus Mut sempat menjawab, “Saya nggak bilang kamu jadi kafir ya, Fan. Saya cuma bilang, postingan kayak gitu itu haram, karena kamu bisa dikategorikan menyerupai orang kafir.”
Gus Mut cuma geleng-geleng saja.
“Kalian ini, tiap tahun kok perdebatannya itu-itu aja sih? Nggak ada yang lain apa?” tanya Gus Mut.
“Loh, tapi ini penting, Gus. Kalau orang-orang kayak Fanshuri begini dibiarin, ini namanya pendangkalan akidah. Toleransi keblabasan namanya. Nggak baik kalau dibiarkan,” kata Mas Is.
Gus Mut cuma tersenyum.
“Jadi gini, Gus. Ucapan selamat hari natal itu memang seperti ucapan biasa, tapi kan itu tanda kita mengimani keyakinan atau iman dari agama lain. Dan itu kan bahaya. Bagaimanapun lakum dinukum waliyadin,” kata Mas Is.
“Bahaya gimana sih, Mas Is, ini?” Fanshuri memotong sebelum Gus Mut sempat bicara, “Itu kan sebatas ucapan di bibir aja. Memangnya Mas Is tahu? Isi hati seseorang ketika ngucapin selamat natal? Memangnya Mas Is ini malaikat atau gimana? Itu kan ucapan yang nggak lebih kayak ucapan selamat jalan, semoga sampai tujuan gitu. Ngapain dimasalahin sih?” Fanshuri tidak terima.
“Ya nggak gitu, Fan. Sebuah kalimat itu nggak sesederhana itu. Ada makna tersembunyi di dalamnya lho. Lah ini kalau kamu ngucapin selamat hari natal, itu artinya kamu mengimani keyakinan mereka namanya. Wong ngucapin kalimat sederhana syahadat aja seseorang bisa jadi Islam kok, iya kan?” tanya Mas Is ke Fanshuri.
Fanshuri terdiam sejenak, lalu mengangguk berat. Mau tidak setuju tapi Fanshuri bingung membalasnya kalau soal ini.
“Betul kan, Gus?” gantian Mas Is bertanya ke Gus Mut.
Gus Mut lagi-lagi cuma tersenyum.
“Ya belum tentu, Mas,” kata Gus Mut tiba-tiba.
Fanshuri agak kaget mendengarnya, apalagi Mas Is.
“Loh kok belum tentu? Kan syarat orang masuk Islam itu mengimani Gusti Allah dan Kanjeng Rasul, Gus? Gus Mut ini gimana sih?” tanya Mas Is.
“Nah, kalau yang barusan itu baru betul,” kata Gus Mut lagi.
Mas Is bingung, lalu menengok ke Fanshuri.
“Memang bedanya apa, Gus?” kali ini Fanshuri yang malah bertanya.
“Ya beda, mengucapkan kalimat syahadat, dengan mengimani syahadat, itu dua hal yang berbeda. Yang satu berhenti di bibir, yang satu di hati,” kata Gus Mut.
Kali ini Mas Is dan Fanshuri jadi sama-sama bingung.
“Kok aneh begitu, saya malah baru dengar, Gus. Kan syahadat ini wajib hukumnya diucapkan agar semua orang tahu kalau dia Islam. Wah, Gus Mut jangan nambah-nambahi fatwa sesat dong,” kata Mas Is.
Kali ini Gus Mut terkekeh.
“Bukan sesat dong. Kalau menurut Mas Is, syaratnya jadi Islam harus mengucapkan syahadat, lah kalau kebetulan ada orang bisu mau mualaf, ya kan mau sampai mati juga dia nggak bisa masuk-masuk Islam dong,” kata Gus Mut.
Mas Is kali ini terdiam.
“Mengucapkan kalimat syahadat secara verbal itu kan hanya syarat sosial aja. Biar orang-orang di sekitarnya tahu kalau dia masuk Islam. Nggak lebih. Sebelum orang itu mengucapkan kalimat syahadat ya dia sudah Islam, karena hatinya sudah lebih dulu meyakini keberadaan Gusti Allah dan Rasul.”
“Imannya seseorang itu kan ada di kesunyian masing-masing. Sebaliknya, orang kalau mau mengimani agama lain, tanpa harus mengucapkan hari natal pun bisa. Kan—sekali lagi—keimanan itu ada di ruang hamba-Nya masing-masing, bukan sebatas di bibir aja,” kata Gus Mut.
“Berarti kalau ngucapin selamat natal, tanpa mengimani itu bisa aja dilakukan ya, Gus? Apa yang muncul dari mulut itu belum tentu mewakili isi hati. Itu kata kuncinya. Nah, begitu Mas Is kurang lebih. Dengerin tuh!” kata Fanshuri menimpali Mas Is karena merasa di atas angin.
Mas Is terdiam sejenak.
“Berarti Gus Mut mendukung ucapan selamat hari natal dong?” tanya Mas Is menodong.
“Heh? Siapa yang bilang begitu?” tanya Gus Mut.
“Lah itu tadi kesimpulan Gus Mut soal ucapan syahadat aja begitu,” kata Mas Is.
“Iya, Gus? Gus Mut itu sebenarnya termasuk golongan yang nggak apa-apa kan ngucapin selamat natal?” tanya Fanshuri.
“Sekali lagi aku bilang, urusan keyakinan itu kan jadi urusan masing-masing. Termasuk juga soal keyakinan mana yang halal dan haram soal ucapan selamat hari natal. Kenapa kalian nggak bisa bertoleransi soal begini? Malah mancing keributan saja. Yang satu ribut haram ngucapin selamat hari natal, yang satu ribut koar-koar selamat hari natal. Yang satu koar-koar toleransi, tapi malah maksa saudaranya untuk ikut ngucapin. Hadeh, salah kaprah semua,” kata Gus Mut tetap memaksa berjalan keluar masjid.
“Salah kaprah gimana, Gus?” tanya Fanshuri sedikit nggak terima.
Gus Mut berbalik sejenak.
“Ya salah kaprah. Toleransi itu kan batasannya soal pemaksaan atau tidak. Kalau memang kamu tahu ada saudara seiman yang mengharamkan ucapan selamat hari natal, ya sudah dihargai saja. Nggak usah dinyinyirin,” kata Gus Mut.
“Nah, kan, Fan. Apa saya bilang,” kata Mas Is kali ini gantian merasa di atas angin.
“Begitu juga dengan kamu, Mas Is. Kalau yakin ucapan selamat hari natal itu haram. Ya sudah, yakini saja, nggak perlu maksa-maksa orang buat nurut sama tafsir yang kamu yakini.”
“Lah kok gitu, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya soalnya, kamu mau disodorin fatwa ulama dan dalil yang mendukung diperbolehkannya ucapan selamat natal, sudah pasti hatimu bakal menolak keras. Sama kayak Fanshuri juga, mau disodorin fatwa ulama dan dalil yang mengharamkan, dia juga pasti menolak. Artinya, penjelasan berbusa-busa nggak akan menyelesaikan masalah soalnya ini perkara keyakinan,” kata Gus Mut.
Fanshuri dan Mas Is langsung kicep mendengarnya.
“Lagipula…” kata Gus Mut sambil berjalan menuruni tangga teras masjid untuk mengambil terompahnya, “kalian ini ngapain meributkan keyakinan agama orang lain? Lah wong yang orang Nasrani aja nggak pernah ada perdebatan kayak gini, kok kalian malah ribut sendiri. Dasar aneh. Sukanya kok ngurusin dapur orang lain, tapi dapur sendiri jarang diisi.”
“Sudah ya, aku pamit dulu,” kata Gus Mut meninggalkan Fanshuri dan Mas Is yang melongo bingung di teras masjid.
BACA JUGA Kok Berhubungan Seks dalam Pernikahan Sah Itu Dihitung Ibadah Sih? dan kisah-kisah Gus Mut lainnya.