MOJOK.CO – Menghadapi kabar kematian bertubi-tubi tak pernah mudah. Menyalahkan pihak lain dengan teori konspirasi pun jadi pelarian yang menyenangkan.
“Lama-lama nggak kuat saya, Gus. Menghadapi kematian seperti ini terus-terusan,” kata Fanshuri usai mencari ambulans untuk tetangga desa yang meninggal karena wabah pandemi.
Fanshuri begitu lelah, karena kasus orang-orang yang terpapar semakin banyak, dia kini harus stand by sampai dini hari untuk bisa membantu segala hal yang bisa dibantu. Malam itu, ada proses pemakaman di daerahnya. Fanshuri sibuk luar biasa belakangan ini.
Gara-gara itu, pikirannya jadi gampang stres sekarang, untung kali ini Gus Mut ikut membantunya.
“Jangan begitu, Fan. Kita harus kuat. Setiap keluarga pasti tidak siap menghadapi kematian kerabatnya. Makanya, orang-orang kayak kita, tetangga-tetangga atau orang-orang di sekitar jenazah lah yang dibebankan tanggung jawab proses penguburan. Bahkan menjadi kewajiban bagi kita, fardhu, fardhu kifayah,” kata Gus Mut.
Fanshuri cuma menerawang, diam sejenak, mengingat kembali bahwa ada banyak orang-orang di sekitarnya yang mulai tumbang satu demi satu.
Gus Mut tahu, situasi belakangan ini terasa berat. Jangankan Fanshuri, Gus Mut pun sudah hampir mau pasrah melihat situasi di daerahnya. Semakin banyak orang yang terinfeksi, dan kabar kematian datang bertubi-tubi di pesan WhatsApp-nya.
Apalagi dengan banyaknya angka kematian, proses memakamkan jenazah pun jadi serba-sulit karena antrean ambulans jenazah mengular di banyak rumah sakit. Berjam-jam Fanshuri dan Gus Mut harus rela menunggu sampai pada waktu yang tak jelas untuk bisa mengebumikan tetangga mereka.
“Lama-lama saya kok yakin ini ada teori konspirasi kok, Gus. Kok bisa ada wabah semengerikan ini,” kata Fanshuri, sambil duduk sejenak sambil terus memantau ambulans lewat grup WhatsApp.
Gus Mut cuma tersenyum kecil, tak banyak kekuatan untuk mau beradu argumen dengan Fanshuri. Tenaganya sudah hampir habis untuk menyelesaikan proses koordinasi untuk pemakaman kali ini. Koordinasinya dengan penggali kubur dan pihak rumah sakit benar-benar menguras tenaga.
“Kamu itu lho, Fan. Di saat begini kok bisa-bisanya ngomongin teori konspirasi,” kata Gus Mut.
Fanshuri balik membalas senyum Gus Mut.
“Buat hiburan aja, Gus. Kadang terasa sedikit longgar kalau menyadari bahwa ini semua di-create sama seseorang,” kata Fanshuri.
“Maksudnya?” Gus Mut bingung.
“Ya itu artinya masih ada kendali manusia di hal seperti ini. Dengan mikir kalau pandemi ini adalah bagian dari konspirasi, jadi kayak merasa masih bisa ngelawan. Kalau menyerahkan ini sebagai bagian dari ‘serangan’ alam, rasanya kayak kita ini sudah nggak berdaya gitu,” kata Fanshuri.
Gus Mut tertawa.
“Gus Mut ini kok malah ketawa sih, saya ini serius lho,” kata Fanshuri.
Gus Mut kali ini tersenyum.
“Bagus juga sentimenmu sama teori konspirasi. Membawanya ke efek yang positif, nggak kepikiran aja aku,” kata Gus Mut.
“Ta, tapi kalau Gus Mut gimana?” tanya Fanshuri sambil memasukkan tangannya ke saku jaket. Udara sudah semakin dingin. Kabut mulai turun.
“Gimana apanya?”
“Ya teori konspirasi soal pandemi ini, yang katanya di-create seseorang,” kata Fanshuri.
Sambil duduk di pos ronda depan gerbang kampung.
“Aku sih nggak percaya,” kata Gus Mut singkat.
“Wah, berat banget pasti kalau nggak kepikiran teori konspirasi. Ngerasa melawan alam jatuhnya, melawan sesuatu yang nggak mungkin dilawan,” kata Fanshuri.
Gus Mut terkekeh saat ini.
“Fan, Fan, kamu itu percaya teori konspirasi justru menunjukkan bahwa kamu yakin manusia itu bisa melakukan apapun,” kata Gus Mut.
“Lah kan emang faktanya begitu, manusia zaman sekarang emang bisa melakukan apapun. Dengan pengetahuannya, dengan teknologinya,” kata Fanshuri.
Gus Mut lantas berdiri.
“Begini deh, kamu pernah merencanakan sesuatu nggak dalam hidupmu?” tanya Gus Mut.
“Ma, maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri balik.
“Ya rencana. Besok mau ngapain, jadwal besok mau ke mana saja, mau ketemu siapa-siapa?” tanya Gus Mut.
“Ya ada dong,” kata Fanshuri.
“Pernah nggak rencana yang kamu rancang sehari sebelumnya berjalan 100 persen sesuai dengan harapanmu? Ini 100 persen lho,” tanya Gus Mut.
“Ya nggak sih,” kata Fanshuri,
“Nah, itulah yang aku maksud kamu terlalu yakin manusia bisa melakukan apapun. Karena bahkan dalam rencana yang kita rancang untuk diri kita sendiri, kita tak pernah benar-benar 100 persen sesuai rencana. Apalagi rencana dari teori konspirasi yang ceritanya diciptakan banyak orang,” kata Gus Mut.
“Mungkin seperti malam ini ya Gus? Yang rencananya saya mau bobok manis biar nanti bisa nonton bola, sekarang malah terjebak di sini ngurusi koordinasi jenazah yang mau dimakamkan,” kata Fanshuri.
“Nah itu contoh paling dekat yang sedang kita alami. Aku juga punya rencana lain untuk malam ini mau ngapain, bukan malah terjebak sama kamu di pos ronda ini,” kata Gus Mut sambil terkekeh.
Fanshuri ikut terkekeh.
“Lah emang, dengan kamu pikir dengan keberadaan teori konspirasi itu, kamu jadi merasa siap begitu menghadapi segala kemungkinan? Termasuk menghadapi kematian-kematian orang di sekitar kita, atau menghadapi kematian kita sendiri? Kan nggak,” tanya Gus Mut.
Fanshuri cuma menggeleng.
“Ya nggak sih, siapa juga orang yang siap menghadapi kematian,” kata Fanshuri, “tapi melihat semua kejadian di dunia cuma berasal dari kebetulan-kebetulan random kan naif juga, Gus.”
Gus Mut terdiam sejenak.
“Ya memang bener sih. Semua yang terjadi ini nggak semua-muanya serba-kebetulan. Tapi kan tenaga kita ini terbatas, waktu kita terbatas, pengetahuan kita terbatas. Kalau kita alihkan keterbatasan itu untuk memikirkan apa yang di luar kemampuan kita, dan menghabiskan sisa hidup untuk memikirkan itu, terus jadi meninggalkan hal-hal penting di sekitar kita, ya itu malah bikin hal paling buruk makin banyak terjadi,” kata Gus Mut.
Fanshuri terdiam, menerawang.
“Makanya itu, ada kalanya kita itu juga disuruh untuk tawakal, Fan. Melepaskan kendali kita terhadap dunia. Kendali seolah-olah kita tahu segalanya. Agar kita sadar, bahwa segala macam kendali penuh manusia terhadap dunia itu sebenarnya ilusi aja semuanya. Termasuk ilusi bisa mengontrol memanjangkan usia seseorang, atau memendekkan usia seseorang,” kata Gus Mut.
“Ilusi? Ma, maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya ilusi kita sebagai manusia. Seolah kita yang pegang kunci kehidupan. ‘Pandemi seharusnya tak begini’, ‘harusnya tetanggaku ini masih hidup nggak meninggal seperti ini’, dan pengandaian-pengandaian lainnya, yang membuat kita malah makin tenggelam pada keterpurukan dan keputusasaan,” kata Gus Mut.
Fanshuri menerawang. Masih tenggelam pada kelelahan dan kegeraman terhadap situasi ini. Gus Mut tersenyum melihat Fanshuri yang seperti putus asa menghadapi kematian beberapa tetangganya karena pandemi ini.
“Cara terbaik menghadapi hal semacam ini, menghadapi kematian seperti ini, bukanlah dengan menyalahkan orang lain, Fan. Menyalahkan orang pakai teori konspirasi lah, menyalahkan pihak lain lain karena nggak becus lah. Bukan, bukan seperti itu…” kata Gus Mut, “menyalahkan orang atau pihak lain memang terasa lebih menyenangkan… tapi itu tidak pernah melegakan.”
Fanshuri masih terdiam, dering pesan masuk menyala di hape Gus Mut.
Gus Mut cek hapenya, WhatsApp dari pihak rumah sakit sudah diterimanya. Jenazah sudah dalam perjalanan menuju makam kampung. Waktu menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Gerimis mulai turun.
Gus Mut menunjukkan WhatsApp rumah sakit itu ke Fanshuri. Fanshuri tersenyum menyaksikannya. Masa tunggu mereka di malam yang gelap itu terasa ringan sekarang karena ada kepastian mereka menunggu sampai kapan.
“Bahkan di situasi terburuk, kalau kita melepaskan segala macam kendali, hal melegakan itu ternyata ada ya, Fan?” kata Gus Mut yang bersyukur bisa memastikan tetangganya dimakamkan malam itu juga.
Fanshuri tersenyum. Getir memang, tapi lega.
*) Diolah dari kisah nyata.
BACA JUGA Salah Sangka soal Isbal, Celana Cingkrang, dan Ironi Kesombongan atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.