MOJOK.CO – Jihad itu tafsirnya berjuang dengan sungguh-sungguh. Dan spektrum berjuang dengan sungguh-sungguh itu luas banget. Jomblo aja bisa termasuk.
“Kadang masih suka heran, sama ekstremis-ekstremis itu, Gus. Mereka kok jihad sampai bikin aksi teror segala. Sampai coba nusuk pejabat negara pula. Bikin situasi kayak lagi perang aja. Serem amat ya cara berpikir mereka itu?” kata Fanshuri sambil menjalankan kudanya masuk ke daerah pertahanan Gus Mut.
Seperti biasa, sore itu keduanya main catur bareng. Gus Mut awalnya tak begitu memerhatikan apa yang dikatakan Fanshuri, maklum situasi raja Gus Mut sedang ditekan.
“Gus?”
“Hah?” tanya Gus Mut kayak orang linglung.
“Ealah, tadi saya ngomong nggak didengerin ternyata,” kata Fanshuri senewen.
“Eh, eh, kamu tadi ngomong apa sih, Fan? Maaf, maaf, konsen di papan catur aku,” kata Gus Mut tertawa.
“Itu lho soal jihadnya yang suka tebar teror itu lho,” kata Fanshuri.
“Oh iya, iya. Ya itu kan karena jihad dipahami sebagai perang aja, Fan. Padahal jihad itu kan nggak soal perang aja sebenarnya,” kata Gus Mut.
“Lah? Saya pikir jihad itu malah situasinya harus perang. Makanya itu banyak yang kepingin bikin situasi kayak perang, biar jihadnya jadi gampang. Kayak misalnya belain Palestina sampai berangkat ke sana untuk ikut perang karena menganggap itu jihad yang paling nyata,” kata Fanshuri.
Gus Mut terkekeh sedikit mendengarnya.
“Salah ya, Gus?” tanya Fanshuri lagi.
“Nggak, nggak salah. Cuma sempit,” kata Gus Mut.
“Sempit? Apanya yang sempit?” tanya Fanshuri lagi.
“Maknanya,” kata Gus Mut.
“Makna jihadnya?” tanya Fanshuri lagi.
Gus Mut cuma mengangguk sambil menjalankan pionnya.
“Memang bukan untuk perang ya, hal-hal yang terkait jihad itu?” tanya Fanshuri lagi.
“Nggak selalu, Fan. Jihad itu kan artinya berjuang dengan sungguh-sungguh. Dan spektrum berjuang dengan sungguh-sungguh itu luas banget. Baru karena ada ekstremis-ektremis itu aja sih, makna jihad jadi menyempit ke persoalan perang secara nyata aja. Padahal kan perang-perang kecil itu juga ada di kehidupan sehari-hari kita,” kata Gus Mut.
“Sebentar, sebentar, Gus. Tapi kan dulu Nabi Muhammad juga perang, Gus. Artinya makna jihad juga bisa ke perang juga to?” tanya Fanshuri lagi.
“Gini lho, Fan. Kalau dulu, waktu zaman Nabi mah enak. Kita perang bela Nabi itu sudah pasti benarnya. Pihak yang dilawan juga sudah pasti salahnya. Lha sekarang? Sama-sama belum tentu benar atau tidaknya kalau mau perang terbuka betulan. Iya kalau sama-sama benar, bisa sama-sama masuk surga. Lha kalau sama-sama salah? Udah perang, matinya cepet. Dikira mati syahid, ternyata sama-sama nerakanya. Ya kan repot,” kata Gus Mut.
Fanshuri tertawa mendengarnya.
“Jangan lupa, Fan,” kata Gus Mut lagi, “Jihad itu berjuang dari kesulitan, tapi tetap teguh menjaga iman Islam. Sebenarnya kita juga udah belajar konsep jihad setiap satu tahun sekali secara bareng-bareng.”
Fanshuri berpikir. “Apa, Gus? 17 Agustus? Memperingati perjuangan kemerdekaan para pahlawan zaman dulu?”
“Bukan, bukan itu,” kata Gus Mut.
“Lha terus?”
“Puasa. Puasa Ramadan. Itu juga termasuk cara kita jihad. Jihad paling sulit malah, karena lawannya adalah hawa nafsu. Jauh lebih tangguh ketimbang pasukan musuh, karena serangannya 24 jam sehari tanpa putus sampai seumur hidup,” kata Gus Mut.
Fanshuri cuma mengangguk-angguk.
“Tapi nggak usah jauh-jauh lah. Kamu miskin, lahir dari keluarga miskin, secara garis keturunan kelas sosialmu ada di bawah, tapi kamu tetap menjaga imanmu. Tetap salat, tetap puasa, nggak menggerutu sama Allah. Kamu terima dengan kondisimu dengan ikhlas, lalu kamu mati karena kemiskinanmu itu. Misalnya sakit keras lalu nggak diterima dirawat Rumah Sakit karena miskin itu, ya itu juga jihad. Matinya juga syahid itu,” kata Gus Mut.
“Hah? Beneran, Gus?” tanya Fanshuri.
Gus Mut mengangguk.
“Lah kok enak banget?” tanya Fanshuri.
Gus Mut terkejut mendengar celetukan Fanshuri.
“Enak dari mana? Memangnya kamu pernah merasakan enaknya jadi orang miskin dan tetap bisa saleh? Nggak punya apa-apa, tapi tetap bersyukur. Itu berat lho, Fan. Sama kiai atau ulama, perjuangannya jauh lebih berat orang-orang kayak gitu. Mau kamu jadi miskin? Yakin kamu bisa kuat tetap saleh kalau jadi orang miskin?” kata Gus Mut.
“Ya nggak tahu sih, Gus. Lha ada iming-iming mati syahid,” kata Fanshuri sambil cengengesan.
“Nggak harus miskin, Fan. Bahkan kalau kamu jomblo. Suka dengan perempuan. Tapi perempuan itu nggak kesampaian untuk diperistri. Atau kamu sudah yakin bakal ditolak kalau melamar. Lalu di saat yang sama kamu nggak berani zina. Kamu tahan hawa nafsumu itu. Segala cara sudah dilakukan. Ya itu sudah jihad. Kalau sampai mati karena kamu melakukan itu, syahid itu. Syahid cinta namanya itu,” kata Gus Mut sambil sedikit terkekeh.
Fanshuri terkejut.
“Ah, yang bener, Gus?” tanya Fanshuri nggak percaya.
“Lho dibilangin nggak percaya,” kata Gus Mut.
“Berarti dulu waktu saya muda juga jihad dong, Gus, waktu nggak berani melamar perempuan karena yakin ditolak, tapi juga nggak berani zina?” tanya Fanshuri cengengesan.
“Iya. Jihad itu,” kata Gus Mut.
“Wah, mati syahid dong saya?” kata Fanshuri.
“Ya nggak dong,” jawab Gus Mut cepat.
“Lah kok nggak? Kan katanya jihad itu mati syahid,” protes Fanshuri.
“Lah kan kalau mati. Lha ini nyatanya kamu masih hidup.”
Kali ini gantian Gus Mut yang tertawa kencang sekali. Fanshuri tersenyum kecut.
*) Diolah dari pengajian Gus Baha’.
BACA JUGA Seorang Bajingan pun Berhak Mencintai Allah atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.