Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Keutamaan Foto Bareng Bule di Tempat Piknik

Muhammad Zaid Sudi oleh Muhammad Zaid Sudi
23 April 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kenapa sih orang Indonesia demen banget foto sama bule yang notabene bukan seleb di tempat wisata? Apa motifnya?

Seorang kawan mengirim kabar tentang keberadaannya. Ia sedang piknik di Jogja, katanya. Sebagai bukti, ia lalu memamerkan foto dirinya dengan latar Candi Prambanan yang megah. Ia tampak semringah dalam foto itu, berdiri di tengah, di antara empat orang bule yang wajahnya juga tampak bahagia. Saya membalasnya dengan tiga jempol.

Apa yang menarik dari foto kawan saya itu adalah kehadiran para bule dalam frame itu, meski tidak terlalu aneh juga. Berfoto dengan bule di tempat wisata sudah menjadi semacam ritual bagi wisatawan lokal. Rasanya tidak afdal bila ketemu bule dan tidak mengajaknya berfoto. Toh para bule itu seperti sudah mafhum dengan kebiasaan ini. Mereka biasanya nurut ketika ada yang memintanya berfoto bersama. (Saking mafhumnya, permintaan dengan bahasa pantomim juga mereka langsung mengerti).

Ada seorang bule traveler menyebut kebiasaan tersebut sebagai salah satu karakter orang Indonesia. Ia menyebut beberapa karakter lain, seperti suka memberi jawaban yang tidak lugas. Jawaban insyaallah, misalnya, sering berarti ‘tidak’. Begitu juga istilah OTW, biasanya berarti ia baru siap-siap hendak berangkat. Atau bila ada yang bertanya tentang rute dan mendapat jawaban, “Lurus saja, masih agak jauh,” maka itu sesungguhnya berarti ia tidak yakin dengan tujuan yang dimaksud.

Soal karakter yang disebut belakangan itu mungkin bisa dipahami dari gambaran yang pernah dibuat oleh Mochtar Lubis tentang enam ciri manusia Indonesia. Tapi, bagaimana dengan karakter yang suka foto bareng bule? Mengapa harus bule? Apa yang membuat kita terdorong untuk berfoto dengan mereka?

Pasti banyak jawaban. Ada yang menghubungkan karakter tersebut dengan sejarah kolonialisme di Indonesia. Terbiasa dijajah dalam waktu lama membuat orang-orang Indonesia meyakini bahwa orang luar selalu lebih baik, lebih luhur, lebih pinter, lebih beradab, lebih kaya dari mereka. Mental inlander gitu lah. Namun, jawaban ini dianggap kurang relevan jika dikaitkan dengan generasi kelahiran tahun 2000-an yang notabene jauh dari peristiwa penjajahan, tapi juga getol dengan kebiasaan tersebut.

Kebiasaan itu mungkin lebih mudah dikaitkan dengan gaya-gaya norak kita yang sewaktu SMP yang begitu percaya diri menyandar, bersedekap atau memegang handle pintu mobil seolah bersiap membuka dan masuk ke dalamnya. Padahal itu mobil orang yang sedang diparkir. Gaya itu sudah membuat kita merasa perlente. Begitu juga dengan foto dengan bule, bisa jadi itu merupakan cara untuk menunjukkan bahwa kita telah menjadi bagian dari pergaulan dunia yang luas.

Pertanyaan lain yang menggoda saya mengenai kebiasaan tersebut adalah apakah yang dipikirkan para bule dengan perilaku kita: bahagia, heran, geli, atau justru merasa kasihan?

Saya mencoba menelusur ke beberapa blog para pelancong. Pasti masih banyak penerus Ibnu Batutah yang rajin merekam perjalanan mereka, menulis kesan-kesan yang mereka dapatkan dari perjumpaan dengan penduduk lokal di Indonesia. Saya menemukan beberapa jawaban.

Dalam satu tulisan, ada turis yang bercerita tentang kesannya selama berkunjung ke Indonesia. Awalnya ia sempat merasa heran dan canggung ketika ada orang yang meminta foto bareng dengan dirinya. Permintaan itu dirasa benar-benar janggal. Ia bukan figur terkenal yang nama dan wajahnya hilir mudik di televisi, apalagi di saluran Indonesia. Ia juga menyadari dirinya tidak ganteng-ganteng amat. Di tempat asalnya tidak pernah ada ajakan berfoto seperti ini dari teman atau kerabatnya, bahkan oleh istri anaknya. Jadi, permintaan itu membuatnya merasa jadi selebritas yang digoreng dadakan. Tentu saja ia merasa tersanjung bukan kepalang.

Di ruang komentar, beberapa bule memberikan informasi tambahan. Ada yang merasa geli, terutama dengan gaya-gaya sok akrab yang ditemuinya. Misalnya tentang tingkah para remaja tanggung yang suka berpose merangkul ketika difoto, seolah mereka adalah teman lama yang baru berjumpa.

Namun, terlepas dari keluguan-keluguannya, kebiasaan meminta foto dengan bule itu juga menjadi sarana diplomasi serta promosi yang ampuh. Berkat kebiasaan itu tidak sedikit para bule yang merasa aman dan nyaman. Mereka merasa diterima, dicintai, dihormati dan diperlakukan dengan baik. Kebiasaan berfoto terbukti telah memberi sumbangan penting bagi perkembangan pariwisata kita di Indonesia.

Kamu juga pernah kan foto sama bule? :p

Terakhir diperbarui pada 23 April 2018 oleh

Tags: Bulefoto bareng buleInlandermentalposkolonialtempat wisata
Muhammad Zaid Sudi

Muhammad Zaid Sudi

Kadang penulis, kadang penerjemah, kadang guru ngaji. Tinggal di Jogja.

Artikel Terkait

4 Alasan Warga Lokal Malas Berwisata ke Gunung Tidar Magelang
Pojokan

4 Alasan Warga Lokal Malas Berwisata ke Gunung Tidar Magelang

8 Oktober 2025
Menentukan Waktu yang Tepat untuk Menikah | Semenjana Eps. 4
Video

Menentukan Waktu yang Tepat untuk Menikah | Semenjana Eps. 4

24 Februari 2025
Lulusan UII Bertahan Kerja Karena Gaji Besar di Jogja, Meski Kesehatan Mental Hancur-hancuran MOJOK.CO
Ragam

Lulusan UII Bertahan Kerja Karena Gaji Besar di Jogja, Meski Kesehatan Mental Hancur-hancuran

4 April 2024
Seajrah Jalan Kaliurang MOJOK
Kilas

Sejarah Jalan Kaliurang, Jalan Terpadat di Jogja yang Semakin Menyebalkan

23 September 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.