MOJOK.CO – Sebagai bangsa yang besar, sudah tentu Metaverse Indonesia akan punya nilai lebih. Dari UU ITE, polisi siber, sampai buzzeRp.
Indonesia sebentar lagi memasuki masyarakat 6.0.
Yup, Anda tidak salah baca. Setidaknya itu yang tergambar dalam keterangan pers Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate.
Beliau memberikan pernyataan yang membuat harapan seluruh bangsa Indonesia untuk menjadi pemenang di tingkat dunia, setelah sering menjadi pupuk bawang di sepakbola, industri roket, indeks korupsi, dan banyak bidang lain pokoknya.
Tidak tanggung-tanggung, Indonesia berpeluang berjaya di salah satu bidang teknologi kiwari: Metaverse. Pak menteri yang dulu pernah berniat memblokir Netflix dengan alasan sebaiknya layanan streaming AS itu jangan dulu di Indonesia dan menggunakan hasil kreativitas anak negeri saja (kurang mulia apa cobak), sudah memberikan clue-nya.
Sebuah temuan maha-dahsyat yang lupa terpikirkan oleh kita semua: yakni Indonesia dengan keunggulan nilai-nilai luhur bangsa serta kearifan lokal-nya bakal menjadi peluang besar bagi pengembangan Metaverse.
“Metaverse Indonesia telah mulai terbentuk dari sektor yang ekosistem user-nya paling adaptif untuk mengadopsi inovasi digital,” kata Johnny, seperti dikutip banyak media dari keterangan persnya, Sabtu (15/1/2022). Menurut Menkominfo, hal ini akan terus berevolusi dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Jika teman-teman semua tidak begitu memahami apa maksudnya (termasuk saya sih)… itu sebenarnya bukan karena kekeliruan Pak Menteri, tapi lebih karena kita semua tidak bisa menangkap nilai filosofis tersembunyi di balik pernyataan Pak Johnny G. Plate.
Metaverse sendiri adalah sebuah kombinasi dari sejumlah elemen teknologi, seperti virtual reality, augmented reality, dan video di mana para pengguna bisa live di dalam jagat digital. Banyak netizen yang bisa berada di dalam ruang digital bersama, melakukan interaksi, dan sebagainya.
Prototype-nya sebenarnya sudah dinikmati oleh para gamers terlebih dahulu. Pemain Fortnite, Roblox, dan Minecraft sudah mencicipinya. Oya, Justin Bieber juga sudah melakukan konser di Metaverse juga sih.
Namun, game-game tersebut masih berada pada pinggiran teknologinya. Mark Zuckerberg, bos Facebook, sampai mengubah payung perusahaannya dengan nama Meta.
Zuckerberg melihat masa depan perusahaan digital ada pada Metaverse. Seperti teknologi blockchain yang tidak hanya melahirkan tren trading mata uang digital saja, tetapi juga NFT yang kini lagi ngetrend gara-gara Ghazali.
Tapi, sekali lagi, Metaverse masih belum sampai pada pengembangan maksimalnya. Mark Zuckerberg sendiri yang fokus pada Metaverse menyebut bahwa butuh waktu lima hingga sepuluh tahun sebelum fitur-fitur kunci Metaverse menjadi mainstream. Bahkan sekalipun aspek-aspek utama dari Metaverse sudah ada.
Nah, dalam tahap yang masih embrio itu, Pak Johnny Plate melalui Menkominfo juga sudah punya visi yang menggembirakan seluruh rakyat Indonesia. Yakni, nilai-nilai luhur bangsa dan kearifan lokal Indonesia akan menjadi kunci keunggulan Indonesia di bidang metaverse kelak.
Menkominfo Sebut Indonesia Berpeluang Kembangkan Metaverse Dunia karena Punya Kearifan Lokal https://t.co/Gf3kq113VV pic.twitter.com/BaS8fr21zD
— KOMPAS TV (@KompasTV) January 14, 2022
Sebentar, sebentar, kearifan lokal dan nilai-nilai luhur bangsa mana yang dimaksud? Memang apa sih yang dimaksud dengan nilai-nilai luhur bangsa? Memang adakah yang dinamakan nilai-nilai luhur bangsa dan kearifan lokal itu?
Apakah kearifan lokal yang dimaksud, kearifan lokal Maluku? Papua? Jawa? Surabaya? Tomohon? Pacitan?
Haishhh, pertanyaan yang sangat crigis itu ea.
Jelas, ini pertanyaan yang tidak mengarah ke kemajuan, dan bisa jadi ini diajukan oleh orang-orang yang tidak ingin melihat Indonesia maju sebagai negara terdepan dalam Metaverse. Pertanyaan kontra-revolusioner.
Coba googling saja dengan kata kunci nilai luhur bangsa. Kan sudah ada. Seperti ini coba contohnya hasil googling dari situs Kemendikbud:
“Nilai luhur pada dasarnya adalah nilai-nilai yang mampu membentuk pribadi, moral, dan etika, sehingga dalam perbuatannya mencerminkan sifat budi luhur. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat merupakan nilai religius, nilai moral, nilai estetika, dan sebagainya.”
Atau seperti di UUD 1945, bahwa kebudayaan nasional itu adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.
Mantap bukan? Indah bukan? Pribadi, moral, etika, masuk semua. Belum lagi, puncak-puncak kebudayaan daerah. Kurang bagus apa coba. Masih mau dibantah?
Lah, itu bukannya ada kata “dan sebagainya” yang ambigu. Apa memang yang dimaksud dengan “dan sebagainya” di akhir kalimat? Lagian puncak-puncak kebudayaan daerah itu maksudnya gimana sih? Apakah budaya “buka sasi lompa” di Maluku, misalnya, itu ada puncak dan ada lembah?
Memang yang mana puncak dari buka sasi lompa, dan terus diadopsi menjadi kebudayaan nasional itu yang seperti apa? Ada nggak sih yang dimaksud dari budaya Indonesia, dan apa contoh konkretnya?
Lalu nilai-nilai luhur seperti apa sih yang dimaksud? Kalau definisi nilai-nilai luhur bangsa itu saja nggak spesifik, bagaimana bisa itu disebut sebagai modal utama keunggulan memasuki Metaverse?
Belum lagi, akhir Desember 2021 lalu, sebuah percobaan di ruang maya bernama Horizon World, salah seorang relawan peserta perempuan digrepe-grepe secara virtual dan melaporkan pelecehan seksual.
Bagaimana nanti jika beneran seperti itu, ketika RUU Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual di ruang offline saja belum juga mau disahkan? Belum dengan UU ITE yang bukan tidak mungkin tidak hanya akan merambah masuk ke dunia media sosial, tapi juga bakal masuk ke Metaverse.
Sebab, UU ITE itu kan termasuk kearifan lokal dan nilai luhur bangsa 4.0. Jadi, bukan tidak mungkin di masa depan nanti, UU ITE akan menambah fitur-fitur jeratannya ke dunia Metaverse juga.
Kan menarik aja membayangkan kalau nanti ada buruh yang demonstrasi via Metaverse. Nah, dengan kearifan lokal dan nilai luhur bangsa, buruh-buruh ini tetep bisa ketangkep juga, tetep kena gas air mata juga, tetep kena pasal juga.
Dari sana juga kita akan memahami fungsi polisi siber bagi kehidupan kita sehari-hari di dunia maya. Dan di Metaverse nanti, polisi siber mungkin bakal kayak kita main di GTA San Bekasi.
Jadi kalau kita lagi bikin mural di Metaverse, isinya mengkritik Pemerintah misalnya, tapi oleh Pemerintah kritik kita dilabeli sebagai informasi hoaks. Lalu di pojok kanan atas bakal keluar bintangnya.
Kalau bintang lima yang keluar Kopassus, bintang empat Densus, bintang tiga Brimob, bintang dua Polantas, terus kalau bintang satu muncul; yang keluar Pemuda Pancasila.
Sambil ketangkep kita dibentak-bentak, “Kalau pemerintah sudah bilang versi pemerintah itu hoaks, ya dia hoaks. Kenapa membantah lagi?”
Belum kalau nanti bakal ada jenis buzzeRp versi Metaverse. Maklum, buzzeRp kan juga termasuk kearifan lokal dan perwujudan nilai luhur bangsa. Menarik aja lihat gimana cara mereka mengkloning personifikasi individu mereka di Metaverse biar kelihatan punya massa banyak.
Membayangkan itu semua, sejujurnya, agak serem sih kalau melihat Pemerintah bersiap-siap ikut-ikutan di Metaverse dan pakai kompas moral untuk selalu mengontrol masyarakat di dalamnya.
Tapi ya nggak apa-apa, mungkin yang dimaksud “ekosistem user-nya paling adaptif untuk mengadopsi inovasi digital” itu ya ini ni. Maksudnya adalah persiapan pemerintah untuk menciptakan hukum-hukum di dalamnya.
Oke, harus maklum sih. Namanya juga kearifan lokal pemerintah kita.
Satu pesan aja untuk Pak Menteri Menkominfo. Semoga nanti, di masa depan, kalau ada yang mau log in ke Metaverse, tolong nggak usah diwajibkan verifikasi NIK KTP dulu ya, Pak. Ribet.
BACA JUGA Melihat Fikih Bekerja di Semesta para Avatar dan tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.
Penulis: Kardono Setyorakhmadi
Editor: Ahmad Khadafi