Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Ketika Mati Syahid Dibilang Ekstremis, Mengapa NKRI Harga Mati Dibilang Nasionalis?

Zakariya oleh Zakariya
27 November 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Bukankah seharusnya penilaian terhadap dua slogan; mati syahid dan NKRI harga mati nggak terlalu bertolak belakang? Uniknya, keduanya malah terlihat jauh berbeda.

Ketika hidup mulia atau mati syahid dibilang ekstremis, mengapa NKRI harga mati justru dibilang nasionalis?

Saya pribadi melihatnya cukup aneh padahal dari kedua slogan tersebut memiliki persamaan yang mendasar: sama-sama sangat mencintai sesuatu dan sama-sama mau mati karenanya. Bukankah seharusnya penilaian terhadap dua slogan itu sejenis, nggak terlalu bertolak belakang? Uniknya, ini malah terlihat jauh berbeda.

Ketika slogan tersebut diteriak-teriakan; yang pertama akan dikesankan mengerikan bahkan merusak, yang kedua dikesankan heroik; yang pertama dijadikan alergi, yang kedua dijadikan wajib; dan penilaian tersebut sudah menjadi stigma yang paten pada sudut pandang masyarakat.

Pada ranah masyarakat sendiri, banyak yang menjebakkan diri pada “penilaian akhir” semacam itu semata. Bahkan label ekstrem dan nasionalis tersebut menjadi bahan propaganda di media massa kepada orang lain secara lebih masif. Pada perkembangannya label ekstrem dan nasionalis ini merembet ke semua sektor bermasyarakat: sosial, agama, budaya, ekonomi, dan politik.

Barangkali sudah menjadi nasib saya (dan mungkin kamu yang membaca tulisan ini), khususnya, harus terlahir di wilayah negara yang lebih dulu lahir daripada saya. Jadi secara sistem administrasi akhirnya saya menjadi warga negara dari negara bernama Indonesia ini.

Apalagi tumbuh berkembang di wilayah negara tersebut, sehingga aktivitas dari kecil sampai usia sekarang dipenuhi oleh cerita tentang negara ini.

Saya disuguhi beragam cerita sejarah dari pra sampai pasca kemerdekaan negara, tokoh-tokoh “kultus” dari zaman kerajaan (kerajaan loh ya belum negara), sampai tokoh-tokoh zaman kemerdekaan, simbol-simbol negara, letak geografis, suku-suku di wilayahnya, agama di dalamnya, lagu-lagu, maupun peraturan negaranya. Semua diberikan kepada saya.

Untuk apa kesemuanya itu? Ya untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap ke semuanya itu yang nanti bisa dibilang nasionalis. Yah, harap dimaklumi kalau alasannya ternyata normatif seperti itu.

Tapi kita semua tahu, cinta itu bukan pemaksaan, cinta harus saling berbalas, dan syukurnya balasan itu ternyata hadir serta tumbuh pada diri orang-orang yang—salah satunya orang yang getol teriak—teriak harga mati-harga mati di jalanan, dan kalau perlu sengaja membuat konferensi pers untuk mendeklarasikan jiwa nasionalismenya, mengancam-ancam pihak yang dianggap tidak nasionalis, pokoknya pihak yang dituduh tidak punya rasa tersebut.

Hal yang menarik buat saya adalah apakah harus sebegitunya? Masalahnya adalah cinta harga mati terhadap negara (nasionalisme) itu dilandaskan atas dasar apa? Adakah dengan menjawab karena nasionalisme saja sudah cukup, secukup itukah?

Kalau memang sudah cukup menjawab dengan hal semacam itu, berarti istilah cinta tanpa alasan itu nyata, meski buat saya hal itu masih teramat naif. Dan sebagaimana halnya drama, cinta tanpa alasan yang sudah-sudah itu konyol. Apalagi rasa untuk perihal yang sangat kompleks: negara.

Kalaupun menjawab dengan; “banyak sekali alasan saya mencintai negara ini, semua yang ada didalamnya saya cintai, sejarahnya, orang-nya, budaya-nya, suku-nya, tradisi-nya,” oke deh saya akan salut dengan orang yang menjawab seperti ini karena orang tersebut bisa mencintai negara—bukan orang. Terdengar lebih kaffah. Hal yang kemudian membuat saya jadi lebih percaya bahwa kaffah ternyata bukan perkara yang utopis. Dia bukan cuma sekadar gagasan di awang-awang saja.

Kepada negara, sekalipun melibatkan emosi paling dalam tetap saja itu bukan soal keyakinan. Negara dan isi-isinya tetap saja sebatas perkara kebendaan indrawi yang sama sekali tidak setara apabila dibandingkan keyakinan agama.

Iklan

Apalagi kalau kita sadar bahwa negara adalah produk dari proses politik yang di dalamnya berputar-putar kepentingan subjektif kelompok tertentu. Sulit menemukan titik inti di mana perasaan cinta itu harus ditautkan.

Akhirnya biar ringkas, banyak orang hanya bolak-balik bicara ideologi-ideologi, yang sebenarnya hanya rumusan nilai hasil olah pikir seseorang. Tanpa berupaya menjelaskan hal demikian menjadi sesuatu yang bisa disentuh, diraba, dan diterawang.

Barangkali kita semua pernah mendengar idiom jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan kepada negara. Hm, terlihat heroik memang, apalagi kalau yang bicara suaranya menggelegar.

Ada dorongan kepada siapa pun untuk memberi (minimalnya) atau berkorban (maksimalnya) atas nama negara. Di sinilah tidak adanya pencerahan kepada siapapun itu, berkorban atas nama negara? Pada poin mana di dalam negara tersebut pengorbanan itu ditautkan? Pada masyarakatnya? Pemerintahannya? Ideologinya? Peraturannya? Sukunya? Atau warisan nenek moyangnya?

Atas nama negara saja tidak memberi jawaban terhadap pengorbanan tersebut kecuali (mungkin) gelar pahlawan, itu juga kalau disetujui oleh penyelenggara negara.

Bernegara pada dasarnya hanyalah konsep berkehidupan sosial pada wilayah tertentu yang lebih modern dari bentuk sebelumnya.

Dari kesukuan menjadi kerajaan, dari kerajaan menjadi negara. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh dinamika masyarakat yang senantiasa berkembang dalam melihat keadaan sosial bermasyarakatnya.

Saya tidak banyak tahu sebab-musabab kelahiran semua negara di dunia ini, tapi hampir banyak negara lahir untuk melepaskan diri dari situasi penjajahan ketimbang sebaliknya.

Pasca-merdeka, lahir nama negara baru, diaturlah orang-orang di wilayah itu dengan sistem baru. Lalu didogmakan kepada orang-orang itu sebuah rasa cinta kepada nama negara baru sampai orang-orang itu berteriak harga mati-harga mati dan siap mati atas nama negara tersebut.

Lalu semua orang pun bilang: itulah nasionalisme, bukan ekstremisme. Padahal pada tingkat tertentu, keduanya terlihat sama saja.

Terakhir diperbarui pada 27 November 2018 oleh

Tags: ekstremismeekstrimisgagasanideologimati syahidNasionalismeNKRI Harga Mati
Zakariya

Zakariya

Artikel Terkait

3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini MOJOK.CO
Esai

3 Rupa Nasionalisme yang Mewarnai Indonesia Hari Ini

26 Februari 2025
Melihat Nasionalisme dari Luar Lapangan Piala Dunia 2022 MOJOK.CO
Esai

Melihat Nasionalisme dari Luar Lapangan Piala Dunia 2022

6 Desember 2022
5 Alasan Otong ‘Koil’ Lebih Layak Jadi Presiden Indonesia daripada Jokowi
Esai

5 Alasan Otong ‘Koil’ Lebih Layak Jadi Presiden Indonesia daripada Jokowi

22 Juni 2021
harimau
Esai

Mengenang 4 Tahun Wafatnya Macan Cisewu

14 Maret 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.