Pagi, 28 Februari 2017. Angin berhembus pelan dan matahari masih bersinar malu-malu di Malang waktu saya sedang menyapu halaman dan mendengar beberapa tetangga, sepertinya anak-anak kos, sedang ngrasani Mojok yang katanya akan ditutup. Langsung saya hentikan aktivitas nyapu halaman saya karena kaget. Bagaimana bisa mereka ngomongin Mojok tapi gak kenal sama saya?
Tapi ini bukan kejadian pertama, dan saya yakin bukan yang terakhir juga. Waktu Mojok menggelar acara di Malang untuk memperingati ulangtahunnya, banyak juga pemuda dan pemudi Malang yang gak kenal sama saya. Yang diajak foto-foto kalau gak Mas Agus, ya Mba Kalis. Sesekali Mas Edo atau Mas Puthut. Saya pura-pura selow walaupun dalam hati ngarep juga sih.
Ngobrol sambil harap-harap cemas di pojokan sama Mas Bana, gelap-gelapan, sampai seorang mas-mas datang bawa ha pe. Nah, ini dia! Cowok-cowok deh. Gak papalah, daripada gak ada. Setelah senyum-senyum, salaman, dan basa-basi sebentar, mas-mas yang bawa ha pe tadi lalu ngomong: “Mas, bisa minta tolong fotoin saya sama Mas Bana gak?”
Bedebah kamu, Mas!
Saya membaca status Mas Puthut soal penutupan Mojok. Tidak banyak penjelasan soal itu, tapi saya menggarisbawahi kalimat di paragraf penutupnya: “Jangan ada sedih di antara kita.” Saya tahu Mojok terbuat dari kebahagiaan, tapi melarang ada kesedihan, jelas Kepala Suku Mojok sudah meremehkan kekuatan dari kesedihan dan tidak tahu cara memanfaatkannya.
Ujaran yang rada seksis mengatakan bahwa “senjata terkuat perempuan adalah air matanya.” Saya sudah bilang kalau itu seksis, semoga saya adalah orang terakhir yang mengutipnya. Air mata adalah kesedihan, dan persis seperti ujaran lain yang mengatakan bahwa “tempat paling berbahaya adalah tempat yang paling aman,” justru kesedihan perempuan itulah titik kelemahannya. Karena jalan tercepat menuju kelamin perempuan adalah melalui kesedihan-kesedihannya. Bukan saya yang bilang begitu, tapi begitulah sabda Milan Kundera.
Memanfaatkan kesedihan orang lain demi keuntungan diri sendiri hanyalah salah satu cara memanfaatkan kesedihan.
Level yang sedikit lebih rendah adalah memanfaatkan kesedihan binatang. Di Malaysia ada minuman yang namanya Air Mata Kucing. Saya tidak tahu bagaimana cara orang Malaysia membuat seekor kucing bersedih sampai meneteskan air mata —apakah dengan tidak membayar gajinya, menyiksanya, atau dengan menyeterika punggungnya seperti beberapa TKW kita— tapi yang jelas minuman itu laku dijual.
Cara yang paling canggih dari memanfaatkan kesedihan adalah dengan menggunakan air mata sendiri, menamainya dengan nama binatang, lalu mengambil keuntungan dari sana. Teknik ini dikenal dengan nama Air Mata Buaya. Caranya tentu tidak harus dengan menitikkan air mata. Dia bisa dimulai dengan mengumbar kata-kata kosong seperti “kita masih bisa tetap temenan,” “aku ikut bahagia kalau kamu bahagia,” atau “cinta tak harus memiliki,” sampai pura-pura gak doyan makan, nglamun berhari-hari, atau manjat menara sutet.
Memanfaatkan kesedihan tentu tidak melulu untuk urusan uang atau kelamin, mengais sisa-sisa ketenaran dan mencapai tujuan-tujuan politik juga bisa. Malah bisa dibilang kalau artis dan politikus adalah maestro untuk urusan yang satu ini. Lihat saja di televisi, sudah berapa banyak artis yang habis eranya, sudah gak ngetop lagi, yang lalu berusaha mengorek apapun yang tersisa dari sana dengan membagikan cerita-cerita sedih yang mereka punya? Mungkin karena berseteru dengan sesama mereka mulai dirasa berlebihan dan bisa berakhir dengan penjara.
Dalam bidang politik, Ibu Mega —walaupun tidak pernah mengeksposenya dan terlepas dari kerja keras kader-kadernya— diakui atau tidak, juga menapak tangga menjadi presiden ke-5 RI juga melalui jalan ini. Dikuyo-kuyo Pak Harto selama Orde Baru sampai puncaknya di Peristiwa Kuda Tuli. Sempat disela sebentar oleh Gus Dur, tapi toh akhirnya beliau berhasil juga mencatatkan namanya sebagai presiden RI.
Penggantinya malah lebih mahir. Menikung Ibu Mega dengan jalan yang kurang lebih sama, Pak Beye malah menjabat sebagai presiden selama dua periode lima album. Sepuluh tahun rakyat Indonesia disuguhi kesedihan—yang istilahnya beliau modifikasi menjadi keprihatinan— dan kantung mata yang semakin lama semakin menggelambir. Bahkan setelah tidak menjabat, beliau masih memainkan kartu yang sama lewat media sosial burung pipit biru. Eh, itu burung pipit apa emprit sih? tolong koreksi kalau saya salah.
Yang agak baru adalah Pak Ahok yang runtuh citra galaknya setelah meneteskan air mata di sidang penistaan agamanya yang pertama. Sesuatu yang kemudian membuat beliau layak digelari sebagai Bapak Air Mata Jakarta. Orang boleh berdebat soal tulus atau tidaknya air mata beliau, yang jelas, elektabilitasnya yang sempat jatuh ke titik terendah bisa kembali ke titik aman dan membawanya ke putaran ke-2 pilkada Jakarta.
Pak Ahok bukan tanpa saingan. Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, yang suka makan sosis dan tidak mau minum kalau tidak ada badaknya itu berkali-kali menumpahkan air matanya di hadapan orang ramai. Bahkan ketika melepas warganya yang mau mendemo Pak Ahok, lagi-lagi beliau membuat rakyat Jawa Barat terharu dengan air matanya. Tidak terlalu keliru rasanya kalau beliau juga diberi gelar Bapak Air Mata Jawa Barat.
Yang terakhir tentu saja the one and only Mas Agus Yudhoyono. Kesedihannya, suara terbata-batanya, mata merahnya, dan air matanya yang ditahan-tahan ketika mengakui kekalahannya di pilkada Jakarta jelas adalah modal baginya di kemudian hari. Saya ingat Mas Puthut pernah meramalkan kalau beliau akan menuju Jatim1. Yang Kepala Suku Mojok lupa, di Jawa Timur Mas Agus sudah ditunggu oleh Ibu Risma yang juga pernah berurai air mata di layar kaca ketika menceritakan soal penutupan Gang Dolly.
Seperti halnya kebencian yang tidak bisa dilawan dengan kebencian, kesedihan juga hanya bisa dikalahkan oleh kesedihan yang lain.
Saya yakin Mas Puthut sebenarnya pasti sudah tahu soal kekuatan kesedihan ini. Saya malah curiga kalau anjurannya untuk tidak bersedih itu sebenarnya adalah antisipasi dari kemungkinan manuver yang akan dilakukan Mas Agus Mulyadi. Kalau Mas Agus yang Yudhoyono tadi diprediksi bisa menjadi Jatim1 dengan memanfaatkan kesedihannya, lalu apa yang mencegah Mas Agus yang Mulyadi menjadi MGL1 atau bahkan Jateng1 dengan cara yang sama?
Bukan apa-apa, di Jawa Barat dan Jakarta sudah ada Bapak Air Matanya dan Jawa Timur sebentar lagi juga punya. Kalau Jawa Tengah juga punya, maka lengkaplah sudah. Jawa sudah mereka kuasai. Ingat, PRRI-Permesta praktis telah menguasai beberapa pulau di luar Jawa, tapi karena Jawa tidak mereka tarik, maka akhirnya mereka gagal. Jadi Jawa adalah kunci. Lagipula, kalau semua pemimpin daerah kita namanya Agus, apa gak merepotkan? Punya ide kalau pemimpin harus satu agama saja sudah bikin kita ribut seperti ini, kalau ditambah satu syarat lagi—namanya mesti Agus— apa gak jadi perang saudara?
Terakhir, saya tidak punya kata perpisahan untuk Mojok. Kata nenek saya di Birmingham sana, “Apanya yang ‘good’ dari ‘goodbye’?” Saya masih berharap ini bukan tulisan terakhir saya di Mojok dan Mas Agus yang Mulyadi tidak menyusul kembarannya terjun ke dunia politik dan nyalon jadi gubernur. Ini semua demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia lho, Mas. Wiwik Sagita masih mengharapkan saweranmu!
Silakan menangis, pembaca. Kalau masih gak bisa, ya sudah, dikoploin ajah…