MOJOK.CO – Politik dan moneter sebagian disusun oleh persepsi. Rupiah baik-baik saja meski dollar sedang menguat. Persepsi kita atas rupiah yang tidak baik-baik saja.
Perdebatan soal moneter adalah perdebatan paling absurd di negeri ini. Apalagi jika aroma politiknya menguat seperti saat ini.
Pertama, kalau rupiah makin lemas, seakan yang akan kena imbas hanya mereka yang pro-Jokowi dan pemenangnya adalah kubu Prabowo. Mereka sedang naik perahu yang sama. Jika bocor, semua punya potensi tenggelam. Jika bocornya bisa ditambal, semua bisa punya potensi sampai ke seberang. Simpel, bukan?
Kedua, sebagaimana perdebatan garing yang dihelat di poin satu, maka akan ada kecenderungan menggawat-gawatkan di satu sisi, dan di sisi lain kecenderungan merasa baik-baik dan aman-aman saja. Bagi kubu sebelah: rupiah sudah terlalu gawat, lebih gawat dari kondisi sebelumnya. Dan bagi kubu lainnya, rupiah baik dan aman, tak ada yang perlu ditakutkan, lebih aman dari apa yang mungkin bisa dirasakan para pelaku bisnis.
Ketiga, rasanya sulit sekali untuk mendapatkan pendapat yang jernih dan tenang. Pendapat yang kritis dianggap tak penting, pendapat yang otoritatif juga dianggap tak relevan. Pendapat kritis dianggap oposisi, pendapat otoritatif dianggap membela Jokowi. Muter-muter gitu terus.
Menghadapi tiga poin di atas, maka masyarakat bersandar pada apa yang dapat dipercaya. Karena pada dasarnya, faktor psikologis dalam soal moneter itu sangat dominan. Kalau hari ini ada ratusan ribu orang saja yang tiba-tiga bergerak ke bank untuk “mengamankan” uang mereka, dampaknya bisa berbahaya. Tapi kalau mereka tetap tertawa dan tenang ketika dollar nanti tembus 15.000 rupiah, itu akan sangat membantu pemulihan.
Masalahnya, kepada siapa kepercayaan seperti ini diberikan?
Saya mencoba bertanya kepada beberapa orang yang saya anggap tingkat perekonomian mereka sangat sejahtera. Supaya adil, saya mencoba mencari narasumber dari pro-Prabowo dan juga dari kubu Jokowi. Saya akan menunjukkan secuil gambaran persepsi dan perilaku mereka atas kondisi perekonomian dan melemahnya rupiah.
Kalau para pelaku pasar atau pebisnis, baik dari kubu Prabowo maupun Jokowi ditanya apakah mereka berharap krisis ekonomi terjadi saat ini? Mereka menjawab sama: tidak.
Menjadi pro-Prabowo tidak membuat mereka mempertaruhkan periuk sendiri. Apalagi bagi kubu Jokowi. Sehingga kalau ada pihak yang memberat-beratkan atau menganggap situasi terlalu baik-baik saja, bisa dipastikan itu bukan pelaku pasar.
Kubu Prabowo maupun Jokowi yang bergerak di bidang bisnis, akrab dengan pasar, cara berpikir mereka cenderung sama: ekonomi mereka lebih penting dibanding capres-capresan. Mereka ingin kondisi ekonomi baik-baik saja.
Ketika ditanya soal antisipasi terhadap “pergolakan” ekonomi, maka sebagai kelas menengah sejahtera dan terdidik, antisipasi mereka tidak dipengaruhi oleh isu capres-capresan. “Hanya orang bodoh yang tidak mengamankan masa depan mereka dalam situasi seperti ini.” kalimat seperti ini juga muncul dari kedua kubu.
Mereka tidak akan patut kalau diminta untuk tidak membeli dollar. “Gila apa kalau saya gak beli dollar. Memangnya ada yang bisa menjamin rupiah akan baik-baik saja?” Dan pernyataan seperti itu tidak terekspresikan karena isu capres. Ini murni hitungan dan insting bisnis.
Artinya, mereka mau berada di kubu Prabowo atau Jokowi, punya kecenderungan mengamankan masa depan mereka berdasarkan pengetahuan dan pengalaman ekonomi mereka sendiri. Mereka tidak bisa didikte.
Mudahnya, bagi kubu Prabowo, jika hari ini Prabowo menginstruksikan pengikutnya tidak membeli dollar, mereka tetap membeli dollar. “Emangnya Prabowo itu bapak gue, yang akan menjamin makan cucu-cucunya nanti?” Komentar itu keluar dari pendukung garis keras Prabowo lho…
Sebaliknya, hal yang sama ternyata juga dinyatakan oleh pendukung Jokowi. Kalau hari ini Jokowi meminta masyarakat untuk percaya rupiah, mereka bilang: “Aku percaya Jokowi, tapi aku gak percaya-percaya amat sama rupiah. Suruh saja pejabat-pejabat Jokowi percaya rupiah. Kalau aku sih ogah.”
Dan semua narasumber saya merasa aneh jika lesunya perekonomian dan melemahnya rupiah ini dikaitkan dengan krisis ekonomi ‘98. “Jauh amat, Bos… Kita orang bisnis, tahu lapangan, susah ditipu-tipu kayak gitu.” Itu kata pendukung Prabowo.
Kata pendukung Jokowi juga sama. Mereka merasa aneh kalau situasi sekarang dikaitkan dengan ‘98. Itu lebay. Bahwa perekonomian memburuk: ya. Apakah akan terus memburuk? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Tapi kalau memburuk sampai seperti ‘98, mereka tidak percaya. Jadi mengaitkan isu ekonomi sekarang dengan zaman ‘98, dari kubu mana pun, dianggap tidak relevan dan cenderung mengada-ada.
Politik dan moneter itu sebagian disusun oleh persepsi. Rupiah itu baik-baik saja. Persepsi kita atas rupiah yang tidak baik-baik saja. Dan persepsi itu bukan semata muncul dari rumor politik. Di situlah kekeliruan terbesar memandang komunitas para pelaku pasar. Psikologi mereka ditempa dari pengalaman menjalankan bisnis. Biar Jokowi dan Rhenald Khasali ngomong seribu kali supaya mereka gak membeli dollar, mereka tetap akan membeli. Biar Prabowo bilang seribu kali juga agar pendukungnya tidak membeli dollar, mereka tetap akan membeli.
Tapi jangan dianggap mereka tidak cinta Indonesia. Mereka tetap akan mencari makan dan mempertahankan bisnis yang dijalankan secara mati-matian. Sebagian dari mereka pasti pernah bangkrut, dan hal terberat dari bangkrut adalah karena mereka harus memecat pekerja. Jadi kalau perilaku politik mereka dianggap tidak cinta negeri ini, mereka juga tidak terima. “Saya warga Indonesia, saya cinta Indonesia. Saya berbisnis di sini, itu artinya saya percaya dengan negeri ini. Titik.”
Kira-kira begitulah secuil gambaran tentang pelaku bisnis di Indonesia tentang situasi mutakhir ini. Kehidupan dan nasib perekonomian mereka, melampaui soal Prabowo dan Jokowi. Sama persis dengan yang terjadi pada kebanyakan kita.
Semalam, saya iseng bertanya kepada beberapa kawan, apakah mereka khawatir terhadap gejolak rupiah.
“Aku itu heran lho, Mas. Kenapa sih mereka baru mempersoalkan rupiah sekarang? Sejak dulu, rupiah itu sudah bermasalah buatku.” jawab salah satu dari mereka.
“Kok bisa?” tanya saya penasaran.
“Lha rupiah bisa bertahan di rekening sampai akhir bulan saja jarang sekali, je. Kalau aku sih cinta rupiah. Hanya saja rupiah yang gak cinta aku.”
Menyimak jawaban seperti itu, saya tertawa ngakak sendiri.