MOJOK.CO – Saya berharap, ke depan, Ibu Iriana, Ibu Fery Farhati, Ibu Atalia Praratya, Ibu Siti Atikoh Supriyanti, Ibu Arumi Bachsin, dan istri-istri pejabat lain, yang tampil mengorkestrasi mengatasi wabah corona.
Corona masih mengintai kita. Tapi suara di publik dan penanganan corona, masih terlampau maskulin. Terasa tegas, seram, menekankan segala pembatasan. Tentu saja itu tidak keliru. Tapi suara dan cara yang terlampau maskulin, mesti diimbangi dengan suara dan cara yang lebih feminin. Termasuk aktor-aktor penggeraknya.
Kalau kita teliti, sebetulnya yang paling menderita dalam corona ini adalah pihak perempuan. Ketika suami tidak bekerja, atau penghasilan keluarga menurun bahkan macet, korban pertama jelas perempuan. Selain itu, kaum perempuan juga mesti mengatur banyak hal seperti anak-anak yang mesti belajar di rumah, mengatur pengeluaran rumah tangga, dan biasanya, kaum perempuan memilih untuk mengalahkan kepentingannya demi kepentingan yang dianggap lebih penting.
Saya pernah ikut beberapa penelitian tentang belanja rumah tangga dan cara masyarakat desa ketika mereka terkena benturan sosial. Dalam mengusahakan pangan keluarga, misalnya, mereka lebih memprioritaskan buat anak dan suami. Sehingga mereka bahkan rela makan jika anak dan suami terlebih dahulu kenyang. Mungkin itu semacam naluri keibuan. Tapi pada dasarnya, secara sosial, perempuan selalu menjadi bantalan dalam menghadapi situasi yang bersifat syok dan krisis.
Kita tentu tidak bisa menutup mata akan dampak pandemi corona ini dari sisi lain, misalnya kemungkinan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga. Situasi yang tidak menentu, bosan di rumah, tidak ada kemungkinan dalam waktu dekat untuk keluar dari situasi semacam ini, maka kekerasan di rumah tangga potensial terjadi. Dengan demikian, perempuan dalam rumah tangga, sangat rentan menghadapi banyak hal yang bisa merugikan mereka secara fisik maupun psikologis.
Tapi selama ini, solusi terhadap pandemi, masih dominan dilakukan oleh para laki-laki, dengan struktur kekuasaan yang mereka miliki. Padahal menurut hemat saya, dalam situasi seperti ini, perempuan selain bisa menjadi korban yang paling parah, juga bisa tampil sebagai aktor utama untuk ikut menuntaskan masalah, dengan sentuhan yang berbeda.
Kita tentu ingat, dulu ada gerakan pemberdayaan masyarakat yang bernama PKK (Pemberdayaan Kepala Keluarga). Sepintas, gerakan ini lekat dengan Orde Baru. Walaupun kalau dilihat lebih teliti lagi, gerakan ini muncul pada tahun 1957, saat ada seminar “Home Economic” di Bogor. Tapi gerakan ini mulai terlihat penting saat istri Gubernur Jawa Tengah, Isriati Moenadi, pada tahun 1967, memaksimalkan gerakan itu untuk mengatasi wabah busung lapar.
Selanjutnya, tentu kita ingat gerakan yang lebih kecil lagi secara teritori, bernama Dasa Wisma. Lagi-lagi gerakan itu juga identik dengan Orde Baru. Padahal dalam kenyataannya, saat kita masih amat sangat kekurangan bidan desa, gerakan inilah yang punya kontribusi besar dalam menyelamatkan kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang anak. Kalau masih kurang, kita juga ingat bagaimana bangsa ini mencoba mengatasi wabah demam berdarah, dengan gerakan ‘Jumantik’ (Juru Pemantau Jentik). Gerakan itu menjadi garda utama dalam mengatasi demam berdarah.
Demam berdarah, punya kemiripan dengan corona karena jika kita menjaga kesehatan dan kebersihan di lingkungan kita, namun tetangga kita tidak melakukannya, maka itu akan sia-sia. Secara prinsip sama dengan corona. Mau sehebat apa pun kita menjaga diri kita, jika orang-orang di sekitar kita abai terhadap penanganan pandemi ini, semua akan sia-sia. Penangannya harus bersifat kolektif. Demam berdarah, sampai sekarang pun masih belum ada obatnya. Sama seperti corona.
Nah, siapakah yang menjadi aktor penting dalam PKK, Dasa Wisma, dan Jumantik? Perempuan. Mereka hadir sebagai penggiat dan aktor yang mampu memobilisasi dan mengorganisir diri mereka untuk menangani banyak hal yang mengancam komunitas mereka.
Inilah tampaknya yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, yakni mengaktifkan, mengoptimalisasi, dan memberikan lebih banyak kepercayaan kepada perempuan, untuk memegang peranan dalam penanganan pandemi. Mereka memang berpotensi menjadi korban, tapi dengan memberikan wewenang yang lebih, dukungan yang penuh, maka calon korban terberat menghadapi corona bisa menjadi para aktor yang akan ikut serta mengatasi pandemi ini.
Tentu saja saya berharap, ke depan, Ibu Iriana, Ibu Fery Farhati, Ibu Atalia Praratya, Ibu Siti Atikoh Supriyanti, Ibu Arumi Bachsin, dan istri-istri pejabat lain, yang tampil mengorkestrasi mengatasi pandemi dengan menggiatkan kembali PKK dan Dasa Wisma. Kalau perlu, porsi mereka untuk tampil ke publik juga lebih besar lagi. Karena pendekatan dengan gaya laki-laki, tidak akan pernah cukup untuk bisa mengadang pandemi ini. Hanya perempuan yang bisa mengerti dengan baik apa yang dirasakan oleh perempuan. Saya punya keyakinan pendemi ini akan cepat bisa kita atasi jika perempuan diberi kewenangan yang lebih untuk memimpin di garda depan.
Dengan begitu, kampung-kampung dan desa-desa, termasuk jalanan, yang penuh aroma sigap dan “keras”, mendapatkan warna dan sentuhan baru yang lebih adem tapi membumi.
BACA JUGA Mana yang Lebih Baik Mengatasi Pandemi, Pemimpin Perempuan atau Laki-laki? dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.