MOJOK – Saya sering dimasukkan ke dalam grup Whatsapp yang aneh-aneh. Whatsapp, selain mempermudah urusan saya, sering sekali merepotkan. Terutama soal grup.
Sebagai orang yang gak enakan, saya tidak mau keluar dari grup. Takut nanti dikira sombong. Tapi kalau dibiarin, hape saya terganggu karena harus mengakomodasi lebih dari 30 grup Whatsapp. Akhirnya saya punya solusi. Saya membeli hape satu lagi khusus untuk mewadahi grup Whatsapp ini.
Hape itu sering saya biarkan di rumah. Atau saya taruh di meja kerja dan tidak pernah saya sentuh. Kalaupun saya pakai kalau pas hape utama saya habis batrei. Itu pun bukan untuk ngecek grup Whatsapp melainkan nonton YouTube atau browsing berita.
Dua kali seminggu, saya buka grup-grup Whatsapp itu. Semata supaya notifikasi grup yang menyatakan belum terbaca, hilang. Sesekali saya simak isi obrolan. Sesekali menimpali supaya terkesan tidak sombong. Ya hidup memang begitu. Tidak semua harus sesuai dengan keinginan kita.
Tapi sering pula grup Whatsapp memberi hiburan. Seperti tadi pagi. Sebagaimana biasa, sering sekali orang mengunggah kisah yang dianggap inspiratif seperti di bawah ini. Saya kutip lengkap:
—-
Di depan gerbang suatu jembatan di salah satu kota Eropa, duduklah seorang buta peminta-minta.
Ia setiap hari duduk di situ sambil memainkan biolanya yang sudah usang dan menaruh kaleng di depan dia duduk. Dia berharap orang-orang yang lalu lalang merasa iba mendengar gesekan biolanya dan memberinya sedikit uang.
Pada suatu hari, seorang pria yang berjubah panjang lewat dan memperhatikan peminta minta buta yang sedang memainkan biolanya namun tidak ada orang lewat yang mau memperhatikan. Pria tersebut akhirnya datang menghampiri peminta buta tadi dan meminta agar peminta buta itu meminjamkan biola usangnya.
Tentu saja si peminta buta itu menolak, dan berkata, “Tidak! Ini adalah hartaku satu satunya!”
Tetapi orang tersebut terus membujuk agar si peminta buta mau meminjamkan biolanya, meski hanya untuk sebuah lagu. Akhirnya si peminta buta itu, dengan terpaksa, memberikan biola tua miliknya.
Dan Pria yang berjubah panjang tersebut berbisik, “Saya akan beri contoh bagaimana memainkan biola dengan sepenuh hati, dengan tujuan sungguh-sungguh untuk menghayati dan masuk di dalam lagu itu.” Bukan sekadar memainkan atau hanya mencari iba dengan cepat menyelesaikannya.
Setelah itu, dia mulai memainkan sebuah lagu dengan begitu indah dan syahdu. Suara biola yang begitu halus di tangan si pemain ini, membuat semua orang yang lewat berhenti. Mereka mengelilingi si pemain biola dan si peminta buta tersebut.
Begitu merdunya lagu dan bagusnya permainan biola si pria tersebut, membuat semua orang terdiam, terhanyut oleh gesekan biolanya. Kerumunan makin membesar.
Si pengemis buta pun terkesan dan ternganga tanpa dapat berkata-kata. Kaleng yang tadinya kosong kini telah penuh dengan uang. Bahkan sampai keluar dari kaleng karena tidak cukup lagi menampung uang yang bukan hanya recehan tapi lembaran dolar yang di berikan orang-orang yang berkerumun di situ itu.
Ternyata tidak cuma satu lagu, tetapi beberapa lagu dimainkan oleh si pemain biola tersebut. Akhirnya ia pun menyelesaikan permainannya. Sambil mengucapkan terima kasih, ia mengembalikan biola itu kepada si pengemis dan berpesan kepada peminta buta itu, “Sekarang pulanglah. Dengan uang yang engkau dapat hari ini, belilah baju yang baik, mandi, cukur rambut, dan rapikan jenggotmu. Mulai besok bermainlah seperti yang aku katakan dan aku contohkan.”
Si pengemis dengan berlinang air mata dan gemetar mengucapkan terimakasih. Si pria ini tersenyum dan dengan perlahan meninggalkan tempat itu.
KEESOKANNYA
Sungguh, peminta buta tadi sudah kembali duduk di tempat yang sama tetapi berbeda penampilan. Dia memakai setelan jas dengan rambut dikuncir, janggut rapi, dengan bau parfum yang lembut. Dia mulai memainkan biolanya dengan halus dan dengan sepenuh hati.
Sebentar saja orang-orang yang lewat kembali berkerumun menikmati 1 hingga 2 lagu dari si peminta buta sambil memasukan uang ke dalam kotak yg cukup besar.
Sejak hari itu peminta buta bukan lagi dianggap sebagai peminta-minta tapi orang menyebutnya: Seniman jalanan, yang sangat menghibur pejalan yg lewat di gerbang jembatan
—-
Sebetulnya tulisan itu masih panjang. Tapi jenis tulisan seperti ini pastilah membosankan Anda. Setidaknya membosankan saya. Apalagi kalimat-kalimat berikutnya adalah himbauan dan nasihat serta motivasi hidup.
Tapi bukan itu yang membuat saya tertawa geli. Salah satu anggota grup kemudian bertanya, “Itu Eropa di bagian mana kok uangnya dolar?”
Satu lagi menambah, “Lha itu katanya buta kok tahu kalau orang-orang banyak berkerumun?”
Lalu ditambahi lagi dengan komentar, “Lha itu sebetulnya kan masih juga pengemis. Masak seniman pengemis? Itu hanya pengemis yang necis.”
Seandainya Anda seorang motivator, dan pesertanya sebawel anggota grup Whatsapp itu, maka saya tak tahu apa yang harus Anda lakukan…