Pilres 2024 secara matematis memang masih akan dihelat kurang-lebih empat tahun lagi. Tapi kalau dari kalkulator politik, tahun 2021 ini memang sudah bakal dipenuhi manuver para kandidat capres/cawapres. Manuver Moeldoko menjadi ketua umum Partai Demokrat versi KLB di Sumatera Utara, hanyalah halaman awal, halaman pembuka bagi sekian manuver lagi.
Mari kita hitung mundur dari momentum pencapresan tahun 2024. Kalau dari kalkulator politik, capres/cawapres mesti sudah punya kendaraan dan infrastruktur yang solid pada tahun 2023. Dan untuk memiliki itu semua, medan pertaruhan waktu yang paling realistis adalah tahun 2021 dan 2022. Siapa yang lebih dulu melakukan konsolidasi politik, membangun infrastruktur pemenangan di dua tahun itu, maka nama mereka akan menguat di tahun penentuan yakni tahun 2023. Memasuki tahun 2024 adalah tahun pertarungan: merebut tiket untuk bertanding.
Sekarang mari kita lihat nama-nama yang masuk pada bursa capres/cawapres berdasarkan hasil survei dari berbagai lembaga survei. Kita bedakan menjadi tiga klaster. Klaster pertama adalah klaster yang ada di dalam kabinet Presiden Jokowi. Di sana ada Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Mahfud MD, Moeldoko, Sandiaga Uno, Erick Thohir, dan Tri Rismaharini.
Klaster kedua adalah klaster para pemimpin daerah. Di sana ada ada Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, dan Emil Dardak.
Lalu ada klaster ketiga, sebut saja klaster pimpinan partai atau putra/putri mahkota. Di sana ada Puan Maharani dari PDIP, Muhaimin Iskandar dari PKB, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Partai Demokrat. Dari sekian nama itu, hanya AHY yang tidak sedang menduduki jabatan birokratis, dan tidak dalam lingkar Presiden Jokowi. Emil Dardak memang ketua DPD Partai Demokrat versi AHY, namun dia lebih dikenal sebagai wakil gubernur Jawa Timur.
Kalau kita petakan lebih jernih lagi, dari sekian nama, ternyata ada banyak nama yang punya posisi belum jelas dalam konteks Pilpres 2024. Sebagaimana kita ketahui, capres/cawapres pada Pilpres 2024, seperti halnya Pilpres 2019, juga sangat ditentukan oleh partai politik pengusung.
Nama-nama kuat seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Mahfud MD, Erick Thohir, juga Khofifah, belum punya atau belum terafiliasi dengan partai politik. Moeldoko sebelumnya masuk di deretan tersebut, tapi karena barusan dia menjadi ketua umum versi KLB Partai Demokrat, anggaplah dia sudah punya partai, walaupun masa depan partai itu belum jelas amat.
Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini, mereka tergabung di PDIP, dan tentu bukan hal mudah juga bagi mereka untuk mendapatkan rekomendasi dari Sang Ketum Megawati. Sandiaga Uno berasal dari Partai Gerindra, dan tentu kita mafhum bahwa di sana ada sosok terkuat yaitu Prabowo Subianto. Yang juga menarik, dalam berbagai survei, nama seperti Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PKB dan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum Golkar, masih belum mendapatkan suara yang signifikan. Di sinilah letak keseruan Pilpres 2024.
Hanya orang naif yang bilang bahwa nama-nama tersebut di atas tidak sedang melakukan sekian pergerakan untuk menguatkan dan memastikan mereka mendapatkan tiket pada Pilpres 2024. Tidak keliru misalnya, jika banyak orang melihat pemasangan orang-orang di berbagai BUMN yang dilakukan oleh Erick Thohir, sebetulnya adalah pasukan penting yang sedang dia siapkan untuk berlaga pada Pilpres 2024, sebagaimana yang secara jitu ‘dituduhkan’ oleh politikus PDIP Adian Napitupulu. Dalam konteks politik, ini hal yang wajar. Justru tidak wajar kalau Erick Thohir ingin berlaga tapi tidak mempersiapkan pasukan pemenangan. Semua bersiap, pasti bersiap, entah terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Kalau tidak bisa jadi capres, minimal ya bisa jadi cawapres.
Dalam kondisi demikianlah, fungsi partai-partai politik menjadi sangat penting. Maka, sangat bisa dipahami jika manuver Moeldoko sebetulnya adalah langkah yang cerdik, bahwa hal itu dipandang tidak etis atau belum tentu bisa memuluskan jalannya menuju level perhelatan tertinggi di tanah air, itu perkara lain.
Moeldoko bisa saja mempersiapkan skenario lain jika dia kalah di pengadilan, misalnya. Ia bisa saja membuat partai baru, tentu dengan menyatukan infrastruktur orang-orang Partai Demokrat yang ada di kubunya saat ini, ditambah dengan salah satu sayap relawan Jokowi, juga orang-orang dari Partai Hanura (partai di mana dia secara formal pernah bergabung), dan beberapa ormas. Setidaknya dia bisa punya infrastruktur politik pemenangan, yang bisa menjadikannya punya nilai tawar lebih tinggi dibanding kandidat lain yang belum punya partai politik. Apalagi jika kelak namanya makin berkibar di berbagai survei.
Di sisi lain, karena ketatnya persaingan, dan otoritas besar ditaruh di partai politik, sangat bisa terjadi, nama-nama yang tinggi tingkat popularitas mereka, justru bisa kandas dalam Pilpres 2024. Hanya karena mereka gagal memastikan mendapatkan dukungan partai politik. Ibaratnya, sejago-jagonya mereka, kalau tidak ikut lomba, tidak mungkin bisa jadi juara.
Judul tulisan ini, sengaja memakai istilah ‘halaman pertama’, karena istilah itu pernah populer dan melekat pada Partai Demokrat. Dan pelontar istilah ini ke publik, kalau tidak ada aral, akan bebas dari tahanan karena kena kasus korupsi. Ya, benar, dia adalah Anas Urbaningrum. Dia memang tidak mungkin ikut pencapresan. Aturan perundangan tidak memungkinkannya. Tapi sebagai salah satu ahli strategi politik, Anas pasti bakal ikut mewarnai wajah Pilpres 2024 nanti. Kita lihat saja nanti.
BACA JUGA Moeldoko Terpilih Sebagai Ketum Partai Demokrat Versi KLB, Geger Geden Dimulai dan KOMENTAR KEPALA SUKU lainnya.Â