Dari sekian banyak buku dan berbagai kiat hidup bahagia, tampaknya ada satu hal yang mesti diperhatikan betul dalam hidup ini agar makin banyak porsi bahagia yang kita rasakan. Satu hal penting itu adalah hindari rasa marah
Mengelola rasa marah itu tidak mudah. Rasa marah jika tidak dikelola dengan baik memang sangat destruktif terhadap diri sendiri, bahkan mungkin orang lain. Rasa marah yang tak terlampiaskan bisa menggumpal menjadi dendam. Kalau kita punya bakat sebagai pemarah, kekecewaan sedikit saja, masalah sedikit saja, bisa menyulut api kemarahan.
Saking pentingnya mengelola rasa marah, di berbagai ajaran agama dan spiritualitas manajemen marah mendapatkan perhatian yang cukup besar. Di agama saya, misalnya, orang yang mukanya kemerahan menahan rasa marah (karena tidak melampiaskannya) adalah orang yang dianggap punya keindahan. Kanjeng Nabi bahkan secara spesifik memberi kiat untuk menahan marah dengan duduk; kalau tidak dapat ditahan, tiduran; kalau perlu, ambil air wudu. Puasa, ibadah yang sangat penting bagi umat Islam, salah satu fungsinya adalah belajar menahan rasa marah.
Para spiritualis Timur memberi kiat sejak dari cara makan. Kita diminta memperbanyak makan sayuran dan buah-buahan, dan menghindari sebanyak mungkin daging merah, untuk membantu “membersihkan” jiwa kita dari dorongan mudah marah. Konon, salah satu fungsi meditasi juga untuk menghindari rasa marah yang berlebihan. Mengatur napas dengan baik, sebagaimana yang sering dilatih dalam meditasi, dipercaya bisa membantu mengendapkan kemarahan.
Poin dari itu semua adalah rasa marah itu berbahaya. Maka kita harus mengelolanya, syukur bisa menghindarinya.
Dalam keseharian hidup ini, saya sering memperhatikan orang yang suka marah dengan yang tidak. Memang beda sekali. Wajah penyabar, yang jarang marah, punya ketenangan dalam raut mukanya. Tidak mudah panik. Cenderung stabil emosi mereka. Atau dalam sisi yang agak berbeda, orang semacam itu mudah bercanda, tidak mengambil hati hal yang dianggap melukai batin, dan selalu punya cara memikirkan suatu hal tidak dari titik yang mudah memicu rasa marah.
Ada satu teman saya yang punya kiat unik, yang mungkin cocok buat beberapa orang, agar kita bisa menghindari diri dari rasa marah. Saya pernah ngobrol dengannya agak lama terkait kemampuannya dalam mengontrol rasa marah. Sungguh sangat unik.
Sebut saja nama teman saya itu Kokok. Jika dia sedang marah sama keluarganya, terutama sama istrinya, dia memilih pergi dari rumah. Menyepi. Sebelum pandemi, dia langsung terbang ke Lombok atau ke Bali. Tinggal di hotel yang dekat pantai. Berbaring di pinggir pantai lalu menyeruput minuman segar (biasanya kelapa muda), kadang tertidur. Dalam kondisi seperti itu, boleh memikirkan rasa marah boleh tidak. Kalau masih marah, jangan pulang. Begitu pesannya. Menurut Kokok, dia tidak pernah lebih dari tiga hari di sana, sebab rasa marah itu sudah reda. Bahkan kalau mau balik ke rumahnya, ia masih sempat berbelanja oleh-oleh untuk istrinya.
Kalau tidak punya waktu untuk pergi ke Bali atau keluar kota, cukup di dalam kota. “Pesan saja hotel yang mahal untuk menginap. Hotel itu didesain, diberi aroma, diatur, dengan cara pandang supaya emosi manusia mudah reda dan bisa rileks. Coba saja masuk ke hotel bintang empat atau lima, baru masuk saja rasanya sudah tenang. Baunya harum, musiknya menenangkan, pegawainya penuh senyum dengan wajah ceria.” Kalau sudah begitu, kata Kokok, ya sudah baringan saja di hotel sambil menyetel televisi. Atau mandi, lalu pergi kafe hotel tersebut untuk menyesap minuman yang kita sukai. Kalau rasa marah belum hilang, jangan pulang. Begitu pesannya. Paling cuma dua malam, pasti reda rasa marah kita, ujar Kokok. Bahkan dia sering di malam terakhir menginap di situ, istrinya sudah menyusul untuk ikut menginap bareng.
Kalau marah kepada rekan kerja, klien, kawan, intinya bukan marah dengan istri atau keluarga, Kokok punya kiat yang lain lagi. Pertama, olahraga. Kalau bisa yang menguras keringat. Dia berolahraga bela diri Muay Thai. “Pukul dan tendang saja sansaknya sembari membayangkan orang yang ngeselin itu. Halah paling lama 30 menit sudah selesai. Sudah capek sendiri, dan puas.” Habis itu, katanya, makan enak yang banyak, lalu tidur. Kalau sudah bisa tidur nyenyak, menurut Kokok, rasa marah tinggal sedikit. “Ya, paling banyak tinggal seperempat.”
Kiat yang lain adalah menulis surat yang panjang dan kasar kepada teman, rekan kerja, atau klien, atau pimpinan, yang membuat kita marah besar. Tulis sepanjang-panjangnya. Makilah sekasar-kasarnya. “Tapi, jangan kirim dulu. Setelah menulis itu semua dan sedikit lega, kamu pergi ke butik atau gerai barang yang paling kamu sukai. Kalau kamu suka jam tangan, pilih-pilih jam tangan. Suka baju, pilih-pilih baju. Suka kacamata, pilih-pilih kacamata. Suka kamera, pilih-pilih kamera. Cari yang harganya paling mahal yang rasanya kamu agak berat mengeluarkan uang sebesar itu untuk membelinya. Lalu pulang dulu.”
Selama di rumah, tonton YouTube atau browsing benda-benda yang kamu pilih itu, ujar Kokok. Menurut dia, dengan melakukan hal itu, pikiran akan lebih memilih memikirkan hal tersebut dibanding memberi ruang untuk kemarahan. “Kalau kamu memutuskan untuk membeli, beli saja. Kalau kelak kamu menyesal membeli barang itu, percayalah bahwa rasa sesal membeli barang itu lebih baik dibanding kamu marah sama temanmu, rekan kerjamu, pimpinanmu, orang tuamu, dll. Sebab rasa marah itu bisa merusak banyak hal dalam waktu lama. Sementara menyesal membeli sesuatu, kastanya jauh lebih rendah. Kalau kamu hobi sedekah, tinggal kasih ke orang. Beres. Kamu malah dapat pahala. Setelah itu kamu baca lagi suratmu yang penuh kemarahan itu, yang belum kamu kirim. Maka biasanya kamu malah malu sendiri. Hapuslah. Bersyukurlah kamu belum mengirimnya.”
Saya pikir-pikir, benar juga kiatnya dalam menghadapi rasa marah. Tapi rasanya ada satu yang mengganjal: semua mensyaratkan mesti punya uang dan banyak.
“Kiat-kiatmu itu oke sih. Tapi kalau tidak punya banyak uang kan susah memakai kiat itu…,” tanya saya pelan dan agak kritis.
“Begini. Kalau kamu tidak punya uang, mestinya energimu disalurkan untuk mencari uang. Bukan untuk marah-marah. Sudahlah nggak punya uang, suka marah. Itu hidup yang nggak bermutu. Nggak punya uang ya bekerja agar  punya banyak uang. Ngapain marah-marah. Itu bego, namanya.”
Saya cuma terdiam, antara geli dan kesal.
“Kita ini sebetulnya membawa sejarah masa kecil kita kok. Lihat saja anak kecil kalau sedang marah atau menangis, destruktif. Tapi begitu kita ajak pergi ke toko mainan, kita belikan es krim, selesai urusannya. Memang saat kita dewasa tidak persis seperti itu, tapi mirip.”
Benar juga, ya…. Tapi ya itu lho, mesti punya banyak uang.
BACA JUGA Yang Tak Kita Ketahui dari Orang yang Tidak Pernah Marah dan esai Puthut EA lainnya di Kepala Suku.