MOJOK – Sampai detik ini, pembuatan film adaptasi dari novel Bumi Manusia tetap ramai diperbincangkan. Mulai dari mendukung, hingga mencerca. Film adaptasi ini dianggap akan mengecewakan. Begitukah nalar yang benar?
Setidaknya ketika Orba hadir lewat instrumen politik dengan lahirnya partai baru trah Cendana, para pembaca Pramoedya Ananta Toer, juga terus lahir dan berlipatganda.
Kita tahu, Pram memosisikan diri berhadapan dengan Soeharto. Dia salah satu simbol perlawanan melawan penguasa Orba itu.
Orang seperti saya setidaknya nyicil ayem sebab masih ada tempat yang murwat di Republik ini untuk pribadi yang kokoh, perjuangan kemanusiaan, dan penghormatan atas karya sastra. Alhamdulillah…
Saya tidak akan menggunakan hal yang berat dan rumit, apalagi lewat kutipan-kutipan novel itu, untuk membantu memeriksa argumen para pihak yang keberatan. Tidak perlu seberat itu. Karena toh keberatan mereka merupakan ekspresi cinta dan hasrat yang baik atas karya sastrawan besar Indonesia.
Saya hanya akan memakai pertanyaan remeh dan receh saja. Hal yang mudah saja. Dan ini bukan untuk membantah bahwa keberatan itu tak masuk akal. Bukan. Pram tak perlu dibela. Dia telah membuktikan sebagai pemenang zaman. Film adaptasi ini juga tak perlu dibela. Lha wong gegeran ini juga akan menguntungkan mereka kok. Tapi bakulurus nalar adalah tugas kita bersama. Tanpa harus bersitegang.
1. Ini sungguh pertanyaan remeh sekali: Kalau filmnya jelek, terus apa novel ini jadi ikut-ikutan jelek gitu? Misalkan, film bikinan Hanung ini jelek banget, apakah kemudian memberi pengaruh sehingga novel itu jadi jelek?
2. Setahu saya, film ini baru akan diproduksi. Terus kenapa bisa dibilang filmnya jelek? Bukankah filmnya belum jadi? Memang film bagus atau tidak bisa ketahuan sebelum jadi ya? O, bisa? Oke. Sip.
3. Banyak yang bilang, Hanung Bramantyo menyepelekan Bumi Manusia karena Iqbal Ramadhan si pemeran Minke, tidak perlu diberi buku tebal-tebal. Ya Iqbal memang mau memerankan tokoh Minke. Dia bukan Minke. Dia pemeran Minke. Iqbal kan mau main film. Mungkin maksudnya itu…
Kamu juga bilang kalau Hanung gak paham Bumi Manusia karena menurutnya, buku ini berisi soal pemberontakan Minke atas dunia Barat. Itu pandangan yang keliru karena justru Minke terpesona pada modernitas Barat. Kalau begitu, kan, yang gak paham Hanung, kenapa yang dipersoalkan adalah Iqbal? Jadi Hanung atau Iqbal? Atau keduanya? Atau semua alasan atas pembuatan film itu?
4. Film atau produk budaya lain, dia tidak lepas dari sekian variabel yang mengelilinginya. Dia punya tanah sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Nah, tiba-tiba banyak orang ingin film Indonesia mendadak harus bermutu luar biasa bagus hanya karena sedang akan memproduksi film ini? Ibarat sebuah lahan yang selama ini menghasilkan kualitas tanaman semenjana tiba-tiba diminta menghasilkan mutu panen yang bagus hanya semata karena bibitnya bagus. Apakah ini masuk akal?
5. Terus banyak yang bilang kalau pemeran Minke harus ini dan harus itu. Iqbal tidak cocok memerankan Minke. Terus yang cocok siapa? Reza Rahadian? Atau Nicholas Saputra? Kamu mau Dian Sastro jadi Annelies-nya? Jadi siapa yang cocok? Pasti ada polemik. Tapi ngomong-ngomong, asal ada Dian Sastro, saya setuju sih…
6. Ada banyak hal yang dibahas Bumi Manusia. Novel itu berisi sekian lapis konten yang terpaut satu sama lain. Novel memang medium yang paling pas untuk mengekspresikan hal seperti ini. Kalau diadaptasi di dalam film, tentu saja tidak mungkin semua hal terakomodasi. Fokus tema mana yang cocok untuk menjadi film adaptasi ini? Tuh kan malah berdebat sendiri. Ya memang begitu, pasti ada perdebatan dan ketidaksetujuan. Jadi rileks saja…
7. Kalau Pram mau, Bumi Manusia pernah mau dibeli haknya dan dibikin oleh Oliver Stone. Tapi saat itu Pram gamang. Dia berpikir: Masak gak ada sih, orang Indonesia yang bisa bikin film ini? Oke. Sekarang Hanung yang terpilih untuk bikin. Kalau dia dirasa tidak tepat, terus menurutmu yang tepat siapa? Riri Riza? Garin Nugroho? Ifa Isfansyah? Yosep Anggi Noen? Atau Ali Mojok?
Silakan dijawab di kolom komentar…