MOJOK.CO – Dasar, istri durhaka. Meladeni urusan ranjang sama suami aja kok pakai strategi nolak segala. Dulu pikir saya gitu. Eh, begitu saya rabi, kok kena tulah.
Tiap kali mojok bareng mamah-mamah yang sudah beranak pinak, dan mulai ngobrolin soal turunnya performa dalam urusan ranjang, selalu saja melempar saya pada kenangan sekitar 13 tahun silam. Obrolan menjelang senja di sebuah pantry tempat saya dulu bekerja.
Tersebut lah di sana ada dua orang wanita yang sudah berkeluarga. Saling curhat soal romantika urusan ranjang dan sekitarnya. Dan orang ketiga adalah saya, seorang gadis matang usia yang hanya bisa mesam-mesem sambil mendengarkan dengan saksama.
Diam-diam saya membayangkan adegan-adegan yang mereka lontarkan. Sambil menarik kesimpulan dalam hati, bahwa ternyata urusan ranjang bisa sedemikian mengerikan.
Untuk selanjutnya, orang pertama saya sebut sebagai Mawar dan orang kedua saya sebut sebagai Melati.
“Aku kesel sama suamiku deh, Yu,” kata Mawar memulai sesi curhatnya pada Melati.
Melati yang lebih senior dari segi usia namun junior dalam pengalaman menikah menjawab cepat, “Ha, kenapa je?”
Mawar menyambut lagi. “Lha gimana, Yu? Asal malem anak-anak udah tidur, pasti bojoku minta jatah. Mbok ya dia tuh ngerti, aku kan capek seharian kerja.”
Mawar bersungut-sungut dalam ceritanya. Sementara saya semakin meringkuk dalam duduk. Merasa anak bawang yang tidak bisa ikut melontar tanggapan.
“Njuk terus piye? Itu kan kewajiban kita sebagai istri. Nanti kalau kamu tolak, dilaknat malaikat lho,” kata Melati mulai memprovokasi. Duduk saya pun tegak kembali.
“Lha makanya itu! Sekarang aku pakai strategi,” kata Mawar berapi-api laksana motivator yang ingin berbagi kunci sukses hidup bahagia pada para pemirsa.
“Pokoknya begitu aku dengar suamiku bersih-bersih di kamar mandi sebelum masuk kamar, aku njuk buru-buru pakai kaus kaki, selimutan, terus tidur madep tembok. Sambil pura-pura gereng-gereng kayak orang demam gitu, Yu!”
Lalu Mawar dan Melati pun ngikik bersama. Menutup obrolan dengan saling membagi tips dan trik jitu menolak secara halus saat pasangan minta jatah. Mulai dari pura-pura tidur, kerubutan sarung, sampai tiba-tiba merasa sakit gigi.
Duduk saya makin meringkuk. Mendengarkan obrolan ini membuat saya penasaran, seberapa ngeri dan malesinnya urusan ranjang bagi perempuan. Sampai ada dua perempuan sekaligus di depan saya yang sepakat, bahwa urusan ranjang begitu maksimal kemalasan namun minim kenikmatan.
Saya dulu sempat sangsi dan membatin dalam hati. Dasar kalian, wanita-wanita durhaka. Meladeni suami aja kok grenengan dan pakai strategi penolakan segala.
Huh! Lihat saja besok kalau aku sudah nikah, kuberikan contoh kepada kalian bagaimana cara melayani suami dengan sebaik-baiknya dalam tempo yang selambat-lambatnya. Bukan cuma hitungan menit, tapi jam!
Eee, lhadalah. Rupanya saya kena tulah. Dulu saya bisa lantang teriak begitu, kini malah ikut dalam barisan wanita yang saling berbagi soal strategi jitu menghadapi ajakan suami.
Kalau saja kami masih bernaung dalam satu kantor yang sama, maka lakon dalam cerita ini dipastikan ada tiga. Mawar, Melati, dan Kembang Kanthil. Yang ketiga, tentu saja maksudnya adalah saya sendiri.
Pertanyaannya: Kenapa untuk urusan ranjang selalu ada ketimpangan?
Suami nyosor, istri ngeloyor. Suami menggebu-gebu, istri kaku. Suami kalau sudah mau tidak tahu waktu, tapi istri butuh kondisi serta waktu tertentu untuk bisa mau.
Lha kalau timpang begini terus kapan ranjang bisa bergoyang, yha kan?
Di sinilah peran besar sesuatu yang bernama “kompromi”. Hal yang, mohon maaf, sering dikesampingkan begitu saja oleh para abang suami yang budiman. Sehingga mengartikan kewajiban istri melayani kebutuhan seksual suami dengan begitu lempang dan kaku.
Kapan pun mereka menginginkan, ya istri harus siap sedia. Kapan saja di mana saja dan jangan bikin alasan untuk menolaknya.
Gini lho, Bang…
Memang benar bahwa istri wajib melayani suami. Tapi jangan sampai lupa, suami pun harus memperlakukan istri dengan makruf. Nah, salah satu bentuk kemakrufan suami terhadap istri adalah menggauli istri dengan baik, dengan tanpa paksaan, dan berbekal keikhlasan kedua belah pihak.
Ha terus gimana dong jalan tengahnya?
Ya kompromi itu tadi. Lelaki kan tidak butuh terlalu banyak membangun mood untuk berhubungan seksual. Sebaliknya, perempuan butuh mood, hormon, kondisi, serta situasi yang stabil untuk bisa menyambut ajakan ke kasur.
Solusinya, ya masing-masing pihak saling mengalah. Suami belajar tata laksana foreplay yang baik dan membahagiakan, juga belajar membaca situasi. Kapan kira-kira istri merasa sukarela, dan kapan istri benar-benar tidak bisa diganggu gugat.
Atau misalnya ada satu hari khusus di mana pada hari itu jadwal istri begitu padat, atau periode di mana anak sakit dan karenanya sering bangun malam, ya akan lebih baik jika suami pengertian.
Hindarilah hari-hari mengerikan itu dan diganti dengan hari lain yang lebih cerah.
Jangan sampai hajar bleh hantam kromo, di mana ada kasur di sanalah tergelar medan tempur. Jangan lah, Bang.
Tapi istri juga nggak bisa berbuat seenaknya lho ya?
Ingat lah, pekerjaan rumah tangga selalu bisa didelegasikan. Malas nyuci ada binatu, malas masak ada katering sampai makanan delivery. Malas antar jemput anak sekolah ada jemputan atau ojek online. Akan selalu ada pihak yang membantumu untuk menyelesaikan urusan rumah tangga.
Tapi untuk urusan yang satu itu, mau didelegasikan ke mana coba? Dan kalau nanti benar ada delegasi yang mewakili peran istri di kasur, yakin istri nggak nangis gero-gero dan menggugat keadilan?
Mari tetap layani, dengan sebaik dan maksimalkan performa. Jika sedang sakit, malas, mood hancur, dan benar-benar tidak bisa maju ke medan tempur, jelaskan dengan baik dan santun. Jangan menolak, namun berkompromilah.
Melakukan kompromi ini berbeda dengan menolak terhadap ajakan suami lho ya?
Misalnya, jika malam tiba dan badan sudah remuk, tapi suami edrel ngajak tidur bersama. Coba kompromikan, bagaimana jika ditunda esok pagi-pagi sebelum subuh, saat energi kembali pulih, dan anak juga masih terlelap.
Jika sedang sakit dan tidak bisa melayani, kompromikan dengan suami agar tetap bisa menggapai kepuasan. Tentunya kita masih ingat pepatah lama: banyak jalan menuju Roma. Yang penting itu dilakukan bersama-sama dengan hati riang gembira.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, pemaksaan kehendak seksual dalam rumah tangga itu tidak perlu ada kok. Selama kedua belah pihak saling memahami kewajiban juga memahami kondisi pasangan masing-masing.
Saling pengertian, dikombinasikan dengan perasaan saling ingin membahagiakan. Nah, hal inilah racikan yang sempurna menuju ranjang idaman yang selalu bergoyang dalam keteraturan.
Salam kompromi. Salam tronjal-tronjol maha asyik.