MOJOK.CO – Soal cuan, terkadang, memang mudah diselesaikan lewat perjanjian berdalih belas kasihan bersama Bank Dunia, ya Kementerian Keuangan?
Mendung menggelayut dan tampaknya akan awet menjelang penghujung 2022 di Indonesia. Mulai dari kenaikan cukai rokok yang semakin eksesif, gempa di Cianjur, pengesahan UU KUHP, hingga bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar. Semua peristiwa tersebut sepertinya menjadi efek kejut sebelum kita semua memasuki babak baru pada 2023: resesi ekonomi global.
Kata resesi tampaknya menghantui sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi yang akrab dengan istilah tersebut, resesi bukanlah istilah asing. Indonesia pernah mengalami setidaknya dua kali resesi. Pertama, rentang 1963-1965. Inflasi yang pada mulanya 165 persen melonjak hingga 600 persen pada akhir 1965. Dan pada saat itu pula, terjadi sanering atau yang akrab disebut pemotongan nilai rupiah.
Kedua, yang terjadi pada 1998. Tahun yang disebut krisis moneter. Rupiah yang masih sekitar Rp2000an pada 1997, tiba-tiba menyentuh angka Rp16.000. Kenaikan yang betul-betul ekstrem. Naik delapan kali lipat. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi? Apakah ada tangan-tangan dari “paham illuminati” yang menyebabkan resesi ekonomi global? Atau ada yang lain?
Menurut saya, ada banyak faktor, sih. Tapi, menurut saya, peran asing sangat bermain di situ. Ya, siapa lagi kalau bukan negara berbintang dengan warna merah dan biru, Amerika Serikat. Dan pada akhirnya, Kementerian Keuangan bertekuk lutut di hadapan Paman Sam.
Amerika Serikat, Bank Dunia, dan segala siasatnya
Bagi orang yang pernah belajar hubungan internasional, biasanya, kesal sekali dengan Amerika Serikat. Ini negara hobinya semacam sok melakukan perdamaian, tapi padahal mereka yang menyalurkan kerusuhan. Kemudian, mereka pula yang sok membuat penyelamatan. Ujung-ujungnya dua kali mendapatkan keuntungan.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada akhir 2021 mengeluarkan data penjualan senjata yang sebenarnya tidak mengejutkan. Lima besar dalam daftar tersebut dikuasai oleh perusahaan Amerika Serikat. Total 285 miliar dolar AS. Edyan. Angka yang konon hanya bisa disaingi oleh gaji Cristiano Ronaldo apabila jadi hijrah ke Arab Saudi.
Itu baru dari segi senjata. Belum dari jasanya kepada sebuah lembaga yang konon menyelamatkan dunia, Bank Dunia. Organisasi yang, boleh dibilang super power untuk soal keuangan, betul-betul membikin negara berkembang tergantung kepadanya. Negara berkembang yang dimaksud adalah sebagian besar negara di benua Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan wabil khusus Indonesia dengan Kementerian Keuangan yang akrab banget sama Amerika.
Bergantung kepada Bank Dunia
Negara yang kita cintai ini ternyata cukup bergantung kepada Bank Dunia. Dalih meminjam, bagi saya, bukan semacam dana gratis. Tentu ada kepentingan di dalamnya. Mana ada hari ini orang atau lembaga kasih dana gratis tanpa mengharapkan imbalan? Anda bukan Baim Wong, seleb TikTok, dan semacamnya. Bahkan, mereka pun masih berharap viewers-nya tinggi atau minimal FYP.
Bank Dunia, dengan segala tipu muslihatnya, memang pandai mengajak kerja sama, atau istilah yang lebih kekinian: kolaborasi. Tahun 2018 saja, pinjaman dana dari Bank Dunia kepada Indonesia terkait musibah Palu sebesar satu miliar dolar AS.
Pada 2020, pandemi Covid-19 hadir, menggeliat, dan hingga kini belum sepenuhnya usai. Bank Dunia kembali mendistribusikan dana kepada Indonesia sebanyak 250 juta dolar. Kenapa Kementerian Keuangan mau, ya?
Jika melihat rekam jejaknya, setiap tahun pasti ada saja cara Bank Dunia memberikan dana secara “cuma-cuma” kepada Indonesia. Eh, tapi bisa jadi sebaliknya. Justru Indonesia yang “meminta” kepada mereka agar negara kita ini, perekonomiannya semakin membaik.
Akhirnya, Indonesia seperti mengalami apa yang disebutkan oleh Fernando Henrique Cardoso: KETERGANTUNGAN. Negara berkembang akan ditekan, entah bagaimana caranya, untuk terus mengekor kepentingan Bank Dunia melalui strategi ekonomi politik. Mereka tampaknya berhasil menanamkan frasa tersebut ke pemerintahan Indonesia, siapa pun presidennya, atau menteri-menterinya, apalagi Kementerian Keuangan.
Baca Selanjutnya
Intervensi asing untuk Kementerian Keuangan