MOJOK.CO – Para perempuan Kembang Kuning Surabaya “dipaksa” melayani nafsu lelaki di atas kijing kuburan. Mereka dipaksa oleh nasib dan berbagai kesialan.
Kembang Kuning adalah 2 kata yang tidak asing bagi masyarakat Surabaya. Nama itu kini tak kalah terkenalnya dengan Dolly yang (katanya) sudah dibumihanguskan oleh otoritas setempat. Ia juga tak kalah terkenalnya dengan Tenda Biru Stasiun Wonokromo, yang telah sepi semenjak menjadi konten oleh seorang selebgram.
Kembang Kuning adalah alternatif, pelampiasan dan tempat mengadu nasib bagi mereka yang berkepentingan di area pemakaman orang Tionghoa itu. Di atas tempat kematian, bukan hantu atau arwah yang ditakuti oleh penghuni “pesta remang-remang”. Yang mereka takutkan adalah penggerebekan aparat.
Perkenalan saya dengan Kembang Kuning Surabaya berawal dari sebuah tantangan. Seorang dosen menantang saya untuk membuat penelitian tentang pengalaman hidup menjadi kupu-kupu malam. Singkat cerita, penelitian tersebut selesai. Pada 2022, Palita: Journal of Social Religion Research menayangkan penelitian saya. Saya memberinya judul: “PSK dan Nilai Agama: Studi Tentang Pilihan Rasional Pekerja Seks Komersial.”
Ini adalah pengalaman pertama saya bersinggungan dengan “wisata malam”. Beberapa kawan saya menemani selama penelitian itu. Ini sebuah penelitian yang penuh tantangan dan pelajaran.
Kami memang sengaja tak memilih Dolly. Bukan karena (katanya) sudah bubar, melainkan area itu sudah cukup sering didengar oleh telinga Nusantara. Oleh karenanya, saya sempat lebih memilih ke Tenda Biru Stasiun Wonokromo. Namun sayang, suatu malam ketika kami datang ke lokasi, Tenda Biru seolah lenyap, hening, dan hanya suara kereta yang ada.
Saya sempat bertanya ke warga setempat perihal keberadaan Tenda Biru. Dia menjawab seolah-olah saya adalah “konsumen” baru. Katanya, kebanyakan sudah pindah ke Kembang Kuning, untuk melanjutkan hidup. Keesokan malam, kami meluncur ke daerah Sawahan, Surabaya.
Pembagian wilayah Kembang Kuning Surabaya
Kembang Kuning Surabaya itu terlihat cukup gelap. Lampu kuning kecil terlihat susah payah menerangi jalan aspal.
Saya terus memasuki jalanan itu, semakin remang, namun semakin banyak orang. Para “wandu” di kiri dan kanan jalan menyambut saya. Mereka terlihat cantik. Istilah wandu merujuk ke transpuan.
Begitulah pembagian wilayah di Kembang Kuning Surabaya. Para wandu, atau wadam, atau transpuan, menempati bagian luar. Sementara itu, para perempuan malam ada di bagian dalam.
Sesampainya di sebuah perempatan, saya melihat kerumunan orang, ada juga warkop, termasuk para laki-laki berotot. Tanpa pikir panjang, saya langsung masuk ke dalam layaknya pelanggan pada umumnya. Sesampainya di dalam, saya tak langsung memilih, tapi mengikuti budaya yang ada. Saya duduk sejenak di samping sebuah kijing makam untuk melihat-lihat dan memilih.
Sebagai informasi, Kembang Kuning Surabaya tak seperti Dolly di mana germo yang menjadi pemandu. Di sini, kami bebas memilih sesuka hati, asalkan perempun yang kami pilih bersedia dan sepakat untuk bertransaksi.
Menentukan pilihan
Setelah pertimbangan panjang, saya “memilih” seorang perempuan. Saya menduga dia sudah punya anak. Rata-rata perempuan di Kembang Kuning Surabaya memang sudah pernah melahirkan dan punya anak. Selain itu, banyak orang menyebut daerah ini sebagai “wisata malam kelas 2”. Berbeda dengan “kelas hotel” yang masih muda dan dapat dipesan melalui online.
Saya memberanikan diri mendatangi perempuan itu dan menanyakan harga. Proses transaksi berlangsung cepat dan kami langsung sepakat. Kami tidak banyak berbicara sepanjang akad transaksi karena memang begitulah budayanya.
Setelah transaksi, perempuan itu menuntun saya untuk menyusuri lebih dalam ke tempat peristirahatan orang mati. Semakin mendalam, semakin gelap. Sinar rembulan menyinari selembar karpet tua dan sebotol air mineral.
Perempuan itu, tanpa banyak basa-basi langsung hendak melucuti pakaiannya sendiri. Seketika itu juga saya menghentikannya karena maksud kedatangan saya memang “bukan untuk itu”.
Saya sempat khawatir karena saya datang tanpa membawa surat legalitas dari kampus. Proposal saya hanya berdasarkan omongan. Untungnya, si perempuan bersedia “melayani” saya. Dan, perjalanan diskusi dimulai.
Menjadi perempuan di atas kijing
Menjadi perempuan yang tidur di atas makam bukan identitas pilihan. Dia menggunakan kata “terpaksa” karena kerasnya hidup di kota besar seperti Surabaya. Perempuan yang saya wawancara mengaku tengah terlilit rentenir dengan total Rp50 juta termasuk bunga. Dia menggunakan uang itu sebagai modal berdagang sayuran.
Ya, sebelum menjadi perempuan Kembang Kuning Surabaya, dia adalah seorang pedagang sayur. Kehidupan berjalan begitu nyaman pada awalnya. Hasil dari perniagaan palawija itu, sedikit demi sedikit, diperuntukkan membayar utang ke rentenir melalui suaminya. Namun nahas, sang lelaki yang serumahnya itu menyelewengkan uangnya untuk berselingkuh dengan perempuan lain. Kejadian itu terungkap ketika sang laki-laki itu tak mampu menunjukkan bukti pembayaran.
Kepergian sang suami memperparah gelapnya kehidupannya. Perniagaan makanan hijau ikut mandek, bahkan bangkrut, karena tak ada lagi yang bisa kulak dagangan selain sang suami. Hari demi hari, utang semakin menumpuk. Tunggakan semakin tak terbayar. Namun, kedua anaknya harus tetap hidup dan mengenyam pendidikan.
Di tengah kemelut kehidupan itu, seorang kawan datang dan menawarkan sebuah pekerjaan. Barangkali ini bisa menjadi jawaban atas kacaunya hari-hari. Pertimbangan mendalam dilakukan, dan keputusan telah ditentukan. Suka atau tidak suka, mau tidak mau, dia harus melanjutkan kehidupan meskipun itu jalan yang tak mengenakkan. Dia mengiyakan untuk menyandang identitas menjadi perempuan Kembang Kuning Surabaya.
Tak punya pilihan lain, demi 2 anaknya
Selama bercerita, dia tak berhenti meneteskan air mata. Semuanya terasa sangat berat. Dia juga teringat dengan berbagai konflik yang terjadi di keluarganya, ingat betapa susahnya hidup, dan terutama ingat 2 anaknya yang harus tetap hidup.
Saya terdiam, membiarkan air mata itu tetap jatuh seleganya. Ketika tangisnya mulai reda, saya hanya bisa memberinya semangat. Dia menjawab dengan keyakinan yang bisa saya rasakan. Katanya, menjadi perempuan Kembang Kuning Surabaya adalah perjalanan hidupnya yang sesaat. Sembari melunasi utang dan mengumpulkan modal, dia akan melepaskan diri dan membuka usaha.
Dia menyadari bahwa tidur di atas batu nisan di setiap malam adalah sebuah persinggahan, bukan untuk menetap atau bermukim. Selain itu, dia juga sadar bahwa pilihannya ini berbalut dosa. Namun, hanya dengan profesi ini dia mampu mencukupi kebutuhan anak-anaknya.
Kupu-kupu malam bukanlah perempuan buruk, apalagi hina. Mereka juga manusia sebagaimana kita, yang baik, yang survive, punya hati bahkan melakukan ritual kebajikan ilahiah.
Perempuan Kembang Kuning Surabaya adalah korban atas kerasnya kehidupan, para korban kekerasan rumah tangga, konflik keluarga, dan kemelut ekonomi di kota besar. Oleh karenanya, apa yang dilakukannya bukan pilihan, melainkan sebuah keterpaksaan.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Secuil Cerita dari Gang Dolly: Tentang Mami Lili, Sang Mucikari dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.