Dengan sentimen generasi baperan di Hari Pramuka kemarin, akhirnya saya mendaftar Jambore Mojok. Selain kepingin belajar dari para mastah, sejujurnya saya kangen kemah. Tepatnya, kangen api unggunnya.
Saya tidak tahu konsep kemah Mojok nanti bagaimana, tapi harusnya(?) sih ada api unggun. Kemah tanpa api unggun rasanya seperti Mojok tanpa Agus Mulyadi. Ya nggak papa, tapi kok gimana.
Apalagi, sebagai anak Pramuka, kebanyakan kenangan terindah kemah terjadi saat api unggun. Berikut ini hanya lima diantara kenangan tak terlupakan itu.
Ritual Puja Dewa Api
Tentu saja itu hanya istilah dari mereka yang tidak suka api unggun. Saya sering dinasihati, “Awas, ikut Pramuka nanti kamu musyrik lho. Kan, nyembah-nyembah api!”
Rasanya ingin tertawa. Tapi, kalau dipikir-pikir, komentar mereka yang bukan Pramuka Sejati itu tidak sepenuhnya salah, sih.
Prosesi penyalaan api unggun Pramuka memang tidak sesederhana ketika emakmu masak menggunakan kayu bakar. Ada 10 pembawa obor terpilih yang bertugas menyalakan api dengan cara meletakkannya di atas tumpukan kayu yang sudah diatur sedemikian rupa. Satu per satu obor diletakkan sambil melafalkan Dasa Dharma dengan lantang.
Ketika kesepuluh obor sudah diletakkan dan api berkobar, sayup-sayup terdengar suara menyanyikan lagu yang serentak diikuti seisi lapangan.
Api kita sudah menyala
Api kita sudah menyala
Api, Api, Api, Api, Api
Api kita sudah menyala
Memang tidak ada lirik puja puji Dewa Api. Tapi buat mereka yang menganggap hormat bendera sama dengan menyembah bendera, menyalakan api unggun ya sama dengan menyembah api.
Padahal ketika kemah, api unggun dibuat sebagai alat keselamatan. Bukan api sebagai jimat, Sis. Barangkali kamu belum tahu, ketika kemah di alam terbuka begitu, kita tidak bisa menebak hewan buas apa yang barangkali tertarik nginep bareng di tenda. Nah, api unggun dibuat untuk menghalau bahaya begituan.
Pentas Seni
Selain untuk keamanan, api unggun berfungsi untuk menciptakan kehangatan badan dan suasana. Biasanya melalui bakar-bakar makanan. Kadang dihiasi permainan. Paling sering diisi pentas seni (pensi).
Bagi yang punya bakat terpendam, pensi api unggun seringkali jadi ajang promosi potensi. Meski begitu, tidak jarang yang memanfaatkannya untuk promosi diri.
Salah satu momen modus pensi yang paling saya ingat terjadi waktu kemah SMA. Saat itu salah satu senior “nembak” kawan seangkatan kami dengan bermain gitar sambil menyanyikan lagu cinta timeless yang diakhiri sepik-sepik. Eh, jadian dong mereka. Bahkan sekarang menjadi suami-istri.
Karena banyak yang modus, seringkali acara api unggun yang bertujuan untuk pengakraban berjalan terlampau akrab. Citra senior yang galak seketika sirna. Jadi, kalau ada yang bilang anak Pramuka galak dan tidak romantis, hmmm … mungkin dia belum pernah dinyanyiin pas api unggun. Atau mungkin dia tertidur ketika pensi dan malah terjaga di sesi selanjutnya.
Inspeksi Mendadak
Acara pensi biasanya berakhir jam 12 malam, lalu setiap orang diwajibkan kembali ke tenda dan tidur. Para senior bahkan mengecek satu persatu ke tenda untuk memastikan peserta terlelap. Kalau ada tenda yang masih bercahaya atau bersuara, pasti didatangi.
“Segera tidur ya, Dik. Biar istirahatnya cukup.”
Duh, setelah pensi syahdu, dikasih good night greeting macam itu, siapa yang tidak jatuh cinta? Hati berbunga, tidur pun bahagia.
Tiba-tiba, sekira pukul satu dini hari, peluit panjang dibunyikan dan para senior berhamburan menghampiri tenda peserta. Segala alat masak dibunyikan untuk membangunkan dedek-dedek yang mesti istirahat cukup itu.
“Yang sudah berseragam lengkap segera ke lapangan!” teriaknya.
Ngapain ke lapangan? Pensi lagi? Oh, tentu tidak. Tidak ada lagi kehangatan karena api unggun hampir padam. Udara yang dingin semakin dingin dengan tatapan para senior. Mungkin kami terlalu hedon waktu pensi, jadi Tuhan menghukum kami.
Renungan Malam
Setelah “sesi pelatihan kedisiplinan” itu berakhir, peserta kemah duduk dalam lingkaran besar. Api unggun kembali dinyalakan, tapi tidak sebesar ketika pensi.
Ketika suasana sudah tenang, sayup-sayup terdengar suara lembut salah satu senior. Dengan suara sendu dan diiringi nyanyian sedih agar para peserta terbawa perasaan, dia merangkum perjalanan kemah hari itu.
Kita cium kedua tangan bapak-ibu kita, lalu atas doa mereka kita selamat tiba di perkemahan ini…
Bisa ditebak kelanjutan pidato di atas.
Biarpun alay dan gaje, saya sering diminta jadi penulis naskah renungan malam seperti itu. Tapi karena tidak suka berandai-andai, saya enggan memasukkan kalimat macam, “Bayangkan ketika pulang, kalian melihat bendera kuning di depan rumah kalian!” dst, yang bertujuan membayangkan orang tua kita meninggal. Menurut saya, itu gimana banget.
Yah, sebagaimana rating talkshow akan naik ketika bintang tamunya menangis, renungan malam dianggap sukses ketika banyak peserta yang menangis. Padahal kan, kalau cuma nangis, Kayin juga jago.
Kebersamaan
Sebenarnya yang paling saya rindukan dari api unggun perkemahan adalah kebersamaannya. Sewajarnya pelajar, biasanya ada persaingan organisasi di sekolah. Tapi semua melebur ketika duduk bersama menikmati api unggun saat kemah.
Setiap menyelenggarakan kemah, utamanya untuk siswa baru, semua ekskul/organisasi akan terlibat sebagai panitia. Selain bisa tebar pesona ke anak baru, masing-masing perwakilan organisasi berkesempatan nyambi pengaderan anggota ketika api unggun.
Karena kesuksesan api unggun melibatkan banyak pihak, secara alamiah tercipta kebersamaan. Yang tadinya saingan jadi gandengan demi kesuksesan bersama—meskipun besok-besok berantem lagi. Tapi setidaknya pernah ada kenangan indah, duduk tertawa bersama lawan di depan api unggun. Dan buat saya, kenangan-kenangan kecil seperti itu justru efektif meredam kebencian ketika perbedaan dicitrakan begitu menyakitkan belakangan ini.
Jadi, sampai ketemu di Jambore Mojok ya.