Kekerasan Seksual di Pesantren Melukai Nilai Sam’an Wa Tho’atan dan Wujud Penistaan Agama

Sejarah menunjukkan bahwa kualitas iman tidak hanya terletak pada sejauh mana umat beragama menyembah Allah sebagai Tuhan.

Kekerasan seksual di pesantren. (Mojok.co:Ega Fansuri)

Ilustrasi kekerasan seksual di pesantren. (Mojok.co:Ega Fansuri)

MOJOK.CO Kekerasan seksual yang terjadi pesantren adalah sebuah pengingkaran akan nilai sam’an wa tho’atan. Ini bentuk penistaan terhadap agama.

Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa kasus pelecehan, pencabulan, dan kekerasan seksual di dunia pesantren sudah terkuak. Seolah waduk kenistaan yang penuh pengap akhirnya jebol. Media sosial membantu membredel ulah para oknum yang “hibernasi” dari jerat hukum. Kasus-kasus yang lama terkubur mulai dibongkar kembali, tindak kekerasan seksual yang dulunya hanya menjadi arwah gentayangan bagi korban kini dipaksa menampakkan wujud aslinya. 

Teror kekerasan seksual di pesantren

Seorang Pimpinan Pesantren Tahfidz Qur’an Almadani (Manarul Huda Antapani) di Bandung bernama Herry Wirawan telah melakukan pemerkosaan terhadap 14 santri di bawah umur hingga hamil dan 9 bayi dilahirkan.

Bergidik ya? 

Ada lagi. Kasus yang timbul tenggelam sejak 2019, menjadi buah bibir sejak lama di circle pesantren. Namun, pembahasan publik masih terbatas. Adalah Subchi Azal Tsani, dilaporkan memerkosa 5 santriwati pada 2017. Merasa dilindungi karena menjadi “macan di kandang sendiri”, proses hukum menjadi alot. Dia kabur dan dikejar. Subchan dinilai selicin belut. Setelah melalui proses yang menguras tenaga dan emosi, termasuk penggerebekan beberapa kali, pada akhirnya “Sang Gus” buronan, seorang anak kiai di Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah berhasil ditangkap. 

Belum sempat kering luka kemanusiaan atas peristiwa tersebut, publik kembali geram oleh ulah (lagi-lagi) pengasuh pesantren di Banyuwangi. Enam santriwati mengaku telah menjadi korban pencabulan dan juga pemerkosaan disertai ancaman. Menyusul gerak Polda Jawa Timur dan Polres Jombang, bersama Kodim 0814 Jombang dalam penangkapan Subchan, Polresta Banyuwangi pun bergerak cepat menangkap Fauzan, pelaku kejahatan seksual di pesantren Banyuwangi. 

Mungkin masih banyak lagi kekerasan seksual dengan bungkus agama dan relasi kuasa yang melemahkan korban sehingga korban tidak berani speak up, menutup diri, diintimidasi, dan ketakutan-ketakutan lain.

Berbagai respons datang. Tidak hanya respons dari kalangan luar pesantren, tetapi juga dari internal. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi wadah nyaman dalam transfer ilmu, belajar dan mengajar, justru menjadi sarang kekerasan seksual. Terlebih lembaga pendidikan berbasis agama. 

Namun, hal ini menjadi bukti bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di “ruang maksiat”, di tempat yang ramai atau sepi. Pelecehan seksual bukan karena model baju yang dikenakan, dan tidak hanya dilakukan orang-orang tertentu. Artinya, semua tempat berpotensi untuk menjadi sarang kejahatan seksual, semua subjek berpotensi melakukan kejahatan seksual tanpa mengenal status sosial. 

Mengapa bisa terjadi?

Mengapa terdapat banyak korban santriwati dan mereka bungkam untuk waktu yang lama? Sebenarnya apa yang terjadi di tubuh pesantren? 

Dalam pesantren sendiri, terdapat ajaran untuk selalu tawaduk, takzim, dan sam’an wa tho’atan kepada guru. Artinya, setiap santri diwajibkan untuk menjaga lisan dan sikap di hadapan guru. Misalnya, tidak meninggikan suara, memanggil guru harus dengan gelar kehormatan, mencium tangan, mengikuti nasihat, senantiasa mematuhi perintahnya, tidak membuat guru marah. 

Jangankan mengumpat, berprasangka buruk terhadap guru pun diharamkan. Bahkan, KH. Hasyim Asy’ari mengamini pendapat Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami bahwa murid di depan guru seperti mayit di hadapan orang yang memandikan, berhak dibolak-balik sesuka hati, dan adab-adab tersebut tidak hanya dipersembahkan murid terhadap guru, namun juga anak turunnya (dzurriyah) mendapat perlakuan yang sama. 

Nggak main-main, Sayyidina ‘Ali berkata, “Aku adalah budak seseorang yang mengajariku walaupun hanya satu huruf saja.” Begitu luar biasa peran pesantren dalam mengamalkan nilai-nilai adab yang menjadi corak pendidikan karakter Islam, terutama di pesantren. 

Hasil dari penerapan pendidikan pesantren ini adalah lahirnya para santri yang tidak diragukan lagi keilmuannya. Mereka tidak hanya fasih berdalil, namun membedah, memproduksi cabang-cabang hukum (istinbat), dan mengaplikasikan sumber-sumber hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. 

Selain adab murid kepada guru, seorang guru juga harus beradab terhadap murid-muridnya. Yang pertama, guru tidak boleh berhenti belajar dan tidak boleh merasa lebih pintar daripada muridnya. Guru juga dituntut untuk bisa menirakati murid-muridnya, bertindak dengan ilmu, tidak takabur dan semena-mena terhadap murid, menjaga kehormatan diri dengan berakhlak terpuji, bersifat lemah lembut serta tawaduk terhadap murid, bersikap wajar dan memahami karakter murid-muridnya. 

Guru yang dipilih hendaknya orang yang mengerti agama secara sempurna. Bukan sekadar dijadikan guru sebab nasabnya saja namun sanad keilmuannya harus jelas, yaitu mereka yang diketahui mengambil ilmu dari para masyayikh, dari gurunya lagi, hingga bersambung kepada Rasulullah Saw. Inilah akhlak seorang guru di pesantren, akhlak pimpinan pesantren, akhlak pengasuh pesantren. 

Sampai di sini kita paham bagaimana pesantren bekerja. Lalu bagaimana jika dihadapkan pada kasus kekerasan seksual di pesantren? 

Sejarah menunjukkan bahwa kualitas iman tidak hanya terletak pada sejauh mana umat beragama menyembah Allah sebagai Tuhan, namun bagaimana mereka mampu mengasah keimanan kepada Allah sehingga mempunyai daya dorong yang kuat untuk mengatasi problem kemanusiaan. 

Apa yang telah dilakukan oleh Herry Wirawan, Subchi, Fauzan dan pelaku kekerasan seksual lainnya merupakan penistaan terhadap nilai-nilai agama, mereka memanfaatkan dogma “kepatuhan murid kepada guru” yang menjadi ciri khas pesantren sebagai kendaraannya melakukan perbuatan kriminal dan penodaan agama.

Mengamati perkembangan kasus kekerasan seksual di pesantren, setidaknya terdapat tiga kubu yang merespons. Pertama, kubu yang menganggap bahwa kasus ini seharusnya tidak perlu dipublikasi karena menyangkut marwah (harga diri) pesantren. Banyak yang pada akhirnya bungkam hanya demi nama baik pesantren. Padahal, pesantren bukan perihal nama baik lembaga dan pengasuhnya saja, tetapi bagaimana cara asuh pimpinan dan gurunya untuk menjaga kehormatan para santri dan mencetak generasi yang beradab. 

Kedua, kubu yang me-ma’shum-kan pelaku kekerasan seksual, bahkan mengutuk tindakan kepolisian yang telah mengamankan pelaku karena dua simbol spiritual pesantren yakni “barokah” dan “kualat”. Alur ini merupakan pemahaman yang sesat. 

Kekerasan seksual jelas-jelas dibenci Allah dan Rasul-Nya. Allah memerintahkan makhluk-Nya untuk berbuat baik kepada perempuan, dan Nabi memberikan ciri-ciri laki-laki yang terhormat adalah yang menghormati perempuan, dan laki-laki yang hina adalah yang merendahkan perempuan. Jika misi kerasulan adalah menyempurnakan akhlak manusia, kekerasan kepada manusia termasuk terhadap perempuan adalah penistaan atas misi tersebut. 

Kubu ketiga adalah kubu yang denial dengan alasan bukan pesantren yang berhaluan ASWAJA, bukan termasuk organisasi yang berafiliasi NU/Muhammadiyah, dan beberapa alasan penolakan lainnya. Meskipun beberapa kasus kekerasan seksual di pesantren teridentifikasi bukan lembaga dalam naungan dua raksasa ormas Islam, dan tidak ditemukan sanad yang mu’tabarah dalam segi keilmuan para pengasuhnya, namun tetap saja pemahaman ini sama halnya dengan sedia pisau untuk bunuh diri. Karena sekali lagi, kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa mengenal status sosial dalam masyarakat dan badan otonom yang menaunginya. 

Mari berdiri bersama korban

Dari ketiga kubu tersebut, semuanya nonsense. Yang terpenting adalah bagaimana korban bisa merasa aman dan nyaman kembali setelah melalui peristiwa yang hebat, guncangan psikis yang membutuhkan waktu lama menghilangkan trauma, karena perempuan memiliki pengalaman biologis yang tidak dialami oleh laki-laki. 

Santriwati yang diperkosa beberapa di antaranya hamil dan melahirkan anak. Sedangkan laki-laki tidak mengalami pengalaman biologis yang beraneka ragam seperti perempuan. Dia merasakan kenikmatan seksual berkali-kali dan melahirkan dampak stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda di sisi perempuan sebagai korban. 

Justru pada momen inilah saatnya pesantren menunjukkan taringnya dengan tetap memelihara nilai-nilai adab dan mengaplikasikan Maqashid Syariah sebagai kerangka kehidupan dalam pengasuhan pesantren agar kemaslahatan manusia bisa terwujud; Hifdzu ad-Din (melindungi agama), Hifdzu an-Nafs (melindungi jiwa), Hifdzu al-Aql (melindungi pikiran), Hifdzu al-Mal (melindungi harta), dan Hifdzu an-Nasl (melindungi keturunan). 

Pada akhirnya, setiap orang bersaksi atas perjalanan kita saat berakhir, apakah kita adalah orang baik atau sebaliknya. Semoga kita bisa menebar manfaat di mana pun berada, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

BACA JUGA Memahami Drama Penangkapan Pemerkosa di Pesantren Jombang dari Perspektif Mantan Santri dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Uswah Syauqie

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version