MOJOK.CO – Napoli mengajarkan kami satu hal penting. Cinta sejati hadir dalam berbagai bentuk. Untuk Napoli, cinta sejati itu berwujud 2 sejoli, sepak bola dan Maradona.
Setidaknya, kalau saya tidak salah, ada 2 tempat pemujaan Maradona di dunia. Pertama ada di Gereja Maradona di kota Rosario, Argentina. Kedua, Mural Maradona di Napoli, di mana saya dan istri berkesempatan mengunjunginya.
Tujuan awal kami ke Napoli sederhana. Kami ingin makan pizza di tempat kelahirannya. Konon, restoran pizza pertama di dunia lahir di kota ini. Namun, perjalanan kami ternyata lebih dari sekadar wisata kuliner. Napoli ternyata tidak hanya terkenal dengan makanannya, tetapi juga kegilaannya yang paripurna terhadap sepak bola, dengan seorang Diego Armando Maradona sebagai pusatnya.
Napoli, kota yang semrawut
Petualangan kami dimulai di Wina, saat kami duduk di sebuah kabin kereta malam ekonomi. Di sebelah kami, seorang bapak Italia nggak berhenti ngoceh, sementara istrinya kelihatan capek menanggapi ocehan suaminya. Di samping kami, seorang perempuan paruh baya yang memilih untuk tenggelam dalam bukunya.
Kereta yang kami tumpangi melaju menyusuri tepian Pegunungan Alpen, melewati Bologna. Hingga akhirnya, setelah menempuh 13 jam perjalanan, pagi harinya kami tiba di Roma. Kami turun di Stasiun Roma Termini dan melanjutkan perjalanan dengan kereta Trenitalia, yang membawa kami selama 2 jam menuju Stasiun Napoli Centrale.
Dalam perjalanan kereta menuju Napoli, kami membaca beberapa artikel mengenai kota ini. Salah satu artikel di Napleswise menyebutkan bahwa daerah seperti Napoli Centrale, yang lokasinya cuma sepelemparan batu dari tempat saya menginap, dan Spanish Quarter (lokasi Mural Maradona) adalah kawasan yang sebaiknya dihindari pelancong.
Alasannya? Jalanannya sempit, penduduknya padat, skuter ugal-ugalan bisa nyelonong kapan saja, dan banyak copet berkeliaran cari mangsa. Artikel itu intinya bilang: “Kalau bisa, nggak usah ke tempat ini.”
Namun, sebagai orang Indonesia, saya tidak terlalu ambil pusing dengan deskripsi semacam itu. Skuter ugal-ugalan dan ancaman copet bakalan terasa seperti nostalgia ketimbang ancaman serius.
Segala ekspektasi langsung diuji begitu kami tiba di Stasiun Napoli Centrale. Jalanan di sekitar stasiun dipenuhi sampah, bau kencing menguar di beberapa sudut, dan sekelompok polisi bersenjata laras panjang terlihat berpatroli dengan santai.
Di sebuah tembok dekat pintu keluar stasiun, nampak grafiti besar bertuliskan “Tourist Go Home” yang langsung membuat kami merasa diusir. Puncak kekacauan adalah 2 orang gelandangan tidur beralaskan kardus di lorong pintu masuk Airbnb tempat kami menginap. Lha kok bisa-bisanya ada gelandangan tidur di lorong motel.
Sifat warga yang bikin kami lega
Segala carut-marut di kota ini ternyata berbanding terbalik dengan sikap warganya. Awalnya, kami sudah bersiap menerima perlakuan tidak menyenangkan dari warga kota ini.
Namun, asumsi tersebut ternyata keliru. Kami lega, karena masih bisa menemukan keramahan di berbagai tempat. Misalnya, 2 gelandangan yang tidur beralaskan kardus di lorong dekat hotel kami. Mereka dengan sigap membantu ketika kami kesulitan membuka gerbang masuk hotel. Keduanya menunjukkan cara membukanya tanpa kami minta.
Selain itu, ada pemandangan perempuan yang tampak santai berjalan sendirian di lorong-lorong gelap kota. Ini menjadi pengingat bahwa, bagi saya, sebuah kota—betapapun kondisinya—layak disebut aman jika perempuan dapat berjalan sendirian di malam hari tanpa rasa takut. Napoli jelas lebih mendingan daripada yang ngakunya berhati nyaman tapi banyak klitih di jalanan.
Kesenjangan Italia utara dan selatan
Italia, yang kerap muncul di media adalah Italia bagian utara. Ini wilayah yang identik dengan kemewahan, keindahan, dan pesona yang memikat turis dari seluruh dunia. Sebaliknya, Napoli di Italia selatan menawarkan realitas yang sangat berbeda.
Kota ini, bersama dengan wilayah sekitarnya, sejak dahulu dikenal dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Dua kondisi ini seakan menjadi cela akan kemegahan yang ada di utara.
Stereotip yang berkembang juga menciptakan jarak. Jadi, orang utara menganggap orang selatan pemalas dan miskin. Sementara itu, orang selatan melihat orang utara sebagai kapitalis yang menaruh materi di atas segalanya.
Data dari Statista menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Italia selatan jauh lebih tinggi dibandingkan utara. Pada 2023, Campania, Calabria, dan Sisilia tercatat sebagai tiga wilayah dengan angka pengangguran tertinggi. Masing-masing mencatatkan 17,8%, 16,2%, dan 16,1%. Napoli, sebagai ibu kota regional Campania, menjadi cerminan ketimpangan yang jelas antara wilayah utara dan selatan Italia.
Inilah kenyataan yang kami temui saat berkeliling Napoli. Dibandingkan Roma misalnya, kota ini lebih kacau. Di sepanjang trotoar, sampah berserakan, sementara para pedagang kaki lima dengan santai menjual paspor palsu. Saya juga harus ekstra hati-hati dengan pengendara skuter yang ugal-ugalan.
Selain itu, fakta bahwa Napoli merupakan salah satu titik masuk utama bagi migran Afrika memang memperburuk citra mereka. Pelabuhan kota ini menjadi tujuan utama bagi migran yang menyeberang Laut Mediterania dengan perahu-perahu yang penuh sesak. Mereka berusaha mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa.
Gabungan antara kesemrawutan, pengangguran, arus imigran, dan kemiskinan menjadikan Napoli memiliki ciri khas tersendiri. Pokoknya jauh berbeda dengan kota-kota lain di utara Italia.
Sepakbola sebagai “agama” dan Maradona sebagai “nabi”
Namun, ada satu hal yang kami sadari ketika sedang berada di kota ini. Bagi warga Napoli, sepak bola bukan sekadar olahraga. Ia adalah agama, dan Maradona adalah nabinya.
Di tiap sudut kota, sosok Maradona hadir dalam bentuk yang tak terhitung jumlahnya. Dari mulai patung-patung mini yang dijual di kaki lima, gantungan kunci, hingga foto wajah Maradona yang tergantung sejajar dengan gambar Bunda Maria. Seolah keduanya berada di level spiritual yang sama.
Kami tahu bahwa Napoli mengagungkan Maradona. Namun, kami tidak pernah menyangka obsesinya bakal segila ini. Melalui Google Maps, kami menemukan sebuah mural Maradona di Spanish Quarter yang tampaknya lebih dari sekadar lukisan dinding biasa. Kami tidak bisa menahan rasa penasaran, dan akhirnya memutuskan untuk mengunjungi mural itu.
Esoknya, kami berjalan kaki menyusuri lorong-lorong permukiman penduduk. Kebetulan, jarak Mural Maradona dengan tempat kami menginap hanya sekitar 3 kilometer. Kami selalu waspada dengan tangan yang tidak pernah lepas dari tas selempang. Di kepala kami, bayangan tentang reputasi buruk kota-kota di Italia yang penuh pencopet seperti hantu yang tidak kunjung pergi. Sikap waspada jauh lebih baik daripada menyesal nanti.
Sepanjang jalan, kami melewati bangunan-bangunan tua yang tampak kelelahan dihajar waktu. Jalanan batu yang lusuh seolah mengabadikan jejak langkah penghuninya.
Jemuran berbagai macam, mulai dari sprei hingga beha, menggantung bebas di jendela-jendela apartemen. Sepertinya Napoli ingin berteriak, “Kami ya kayak gini dan kami bangga. Kalau nggak suka, silahkan minggat ke utara yang lebih Instagramable itu.”
Sebagai orang yang tidak begitu paham tentang sepak bola, kami melongo melihat kesintingan warga Napoli terhadap Maradona. Mural raksasa sang legenda menjadi pusat penghormatan.
Mural yang megah dan mencuri perhatian
Di sana, para penggemar dari berbagai penjuru dunia meletakkan ribuan memorabilia. Mulai dari foto, replika piala, syal, jersei, buku, potongan artikel koran, hingga patung Yesus yang mengenakan jubah biru-putih, warna khas seragam Argentina.
Mural itu terletak di tengah-tengah permukiman padat penduduk di sebuah distrik yang disebut Spanish Quarter. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu wilayah paling padat dan miskin di Napoli.
Terselip di antara rumah penduduk, mural Maradona nampak megah, mencuri perhatian siapa saja yang melewatinya. Lebih dari sekadar gambar, mural itu adalah simbol perjuangan, identitas, dan harapan bagi warga Napoli. Harapan bahwa mereka, orang-orang dari selatan, mampu bangkit dan berdiri sejajar dengan Italia utara yang selama ini dianggap lebih superior.
Misi Maradona bersama Napoli
Kisah ini berakar dari kedatangan Maradona ke Napoli pada 1984. Dengan nilai transfer sebesar 12 juta euro, jumlah yang luar biasa besar untuk masa itu, Maradona tidak hanya bergabung dengan sebuah klub. Dia memulai sebuah misi untuk menantang dominasi Italia utara.
Dalam kurun waktu tujuh tahun bersama Napoli, dari 1984 hingga 1991, Maradona membawa perubahan besar bagi kota ini. Dia mengantar Napoli meraih 2 gelar Serie A dan 1 Piala Liga Eropa.
Ini sebuah pencapaian yang belum pernah Napoli raih sebelumnya. Keberhasilan ini tidak hanya meletakkan Napoli di peta sepak bola Italia, tetapi juga membangun rasa bangga dan percaya diri bagi masyarakatnya.
Penutup
Napoli memang bukan kota yang sempurna. Kota ini semrawut, berisik, dan terkesan tidak tertata. Tapi, di balik kekacauan itu, ada banyak cerita yang tidak bisa kami temukan di tempat lain.
Napoli mengajarkan kami satu hal penting. Cinta sejati bisa hadir dalam berbagai bentuk, dan di kota ini, cinta sejati itu berwujud 2 sejoli, sepak bola dan Maradona.
Penulis: Armandoe Gary Ghaffuri
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Diego Maradona, Angka Malaikat, dan 44 Langkah yang Membuatnya Menjadi Dewa dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.