Beberapa asumsi saya sebagai peserta Kampus Mengajar
Melihat kondisi yang memprihatinkan itu, saya membuat beberapa asumsi. Tentu saja bisa benar, bisa juga salah.
Jadi, keprihatinan ini bisa jadi karena sistem pendidikan dari pusat yang terlalu menekan kepala sekolah dan wali kelas. Ada semacam “keharusan” bagi siswa untuk terus naik kelas. Entah karena tekanan sosial di mana kepala sekolah berusaha menghindarinya.
Mungkin kepala sekolah khawatir sekolah mendapat cap buruk dari masyarakat sekitarnya. Terutama ibu-ibu yang menyekolahkan anaknya di sana.
Selain itu, menurut saya, kualitas guru dan kepala sekolah sangat mempengaruhi standar kualitas siswa. Terkadang, kita perlu mempertanyakan tanggung jawab kepala sekolah dan guru-guru dalam mendidik.
Hal ini karena dari total 8 guru yang ada, hanya segelintir yang memiliki dedikasi dan tetap berintegritas. Rasanya mereka lebih bersemangat untuk membahas wacana “makan-makan” dan bermain. Mereka seperti enggan untuk berdiskusi mengenai program kerja Kampus Mengajar.
Sementara itu, kepala sekolah juga tidak tertib hadir di sekolah. Jangankan menunggu hingga jam pelajaran selesai. Saya saja bisa menghitung kehadirannya dalam satu minggu dengan jari.
Saya sering mengajar kepala sekolah untuk diskusi tentang program Kampus Mengajar. Saat itu, saya ingin meminta saran dan bantuan. Namun, selalu saja saya tidak mendapatkan solusi dan obrolan beralih arahnya kepada wacana yang lebih “ringan”.
Hingga akhirnya, program kerja Kampus Mengajar berjalan tanpa bantuan dan kerja sama. Terutama dari pihak guru selaku “pemimpin kelas”, yang paling mengerti kondisi sosial anak didiknya.
Kami bukan mahasiswa yang sedang PPL
Beruntungnya, dosen pendamping selalu bisa memberikan trigger bagi kami untuk terus “bekerja”. Akhirnya tim kami bisa untuk cukup keukeuh menjalankan program kerja Kampus Mengajar secara mandiri.
Setiap tim Kampus Mengajar yang mencoba berdiskusi dengan guru kelas selalu mengalami kesulitan. Hal ini terjadi karena tidak ada koordinasi dari kepala sekolah terhadap seluruh guru. Mereka akhirnya merasa bahwa kami akan menggantikan jam mereka di kelas. Ujungnya malah jadi “perintah” untuk menggantikan peran mereka di kelas.
Tim kami menganggap bahwa kepala sekolah dan seluruh guru tidak mengerti sepenuhnya bahwa Kampus Mengajar berbeda dengan PPL yang menggantikan guru kelas secara utuh. Kampus Mengajar kan memberikan inovasi dan “udara segar” untuk sistem. Harapannya, kualitas literasi dan numerasi siswa akan meningkat.
Kami juga bukan pengganti guru
Jadi, sebelum program Kampus Mengajar berjalan, ada pertemuan dengan kepala sekolah. Kami dan dosen pendamping sudah berulang kali menjelaskan bahwa pihak sekolah harus terlibat menjalankan sistem dan program kerja.
Selain itu, kami juga sudah membuat Forum Komunikasi dan Koordinasi Sekolah (FKKS). Di forum ini, kami memaparkan program Kampus Mengajar kepada seluruh guru dan kepala sekolah sendiri. Mereka berhak menyanggah/mengganti program kerja yang tidak sesuai kebutuhan.
Nah, saat FKKS, pihak sekolah menyetujui seluruh program kerja. Tidak ada tidak ada kritik maupun saran dari mereka. Yang ada hanyalah penegasan. Bahwa kami selaku tim Kampus Mengajar harus siap untuk menggantikan guru, melatih upacara, melatih pramuka, dan melaksanakan tugas lain yang tidak ada kaitanya dengan peningkatan literasi dan numerasi.
Catatan akhir
Setelah program Kampus Mengajar selesai, ada rasa bangga yang saya rasakan. Jadi, terasa perbedaan setelah kami memberikan “sentuhan” kepada seluruh kelas.
Jadi, kami melakukan mekanisme tes Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Tes ini adalah instrumen penilaian untuk mengukur keberhasilan kami membantu meningkatkan literasi dan numerasi.
Awalnya, tes AKM untuk kelas 5 cukup menyedihkan. Namun, di akhir penugasan, post-test AKM literasi dan numerasi menunjukkan peningkatan signifikan dalam bidang literasi. Yah, meskipun dari sisi numerasi hanya terdapat sedikit peningkatan.
Setelah mengikuti Kampus Mengajar, mata saya terbuka. Saya jadi paham bahwa ada sebuah sekolah, yang lokasinya strategis, tapi instrumen SDM di sana tidak optimal.
Kalau di dekat kota besar saja menyedihkan begini, bagaimana dengan sekolah lain di daerah terpencil?
Guru yang tidak sepenuh hati ternyata bukan narasi palsu. Kepala sekolah yang merupakan pemimpin tertinggi dan pengambil keputusan harus memiliki kapabilitas dan visi untuk memajukan sekolah.
Terakhir, kalau di 2024 saja masih ada sekolah seperti ini, apa kabar cita-cita Indonesia emas 2045? Sehat-sehat, dik.
Penulis: Ardiansyah Mujahid Akbar Nurislam
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Hal yang Bikin Saya Merasa Ngenes Saat Ikut Program Kampus Mengajar dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.