Tetapi tidak banyak orang yang tahu bahwa sesungguhnya proses berkesenian Pak Ong adalah ‘Seni Sinambi Ngliwet’. Pak Ong memang pernah menelorkan sebuah slogan yang terkesan gagah dan bermartabat: Seni Agawe Santosa. Mohon saya dimaafkan apabila slogan ini dari orang lain, sebab saya tahunya slogan merbawani ini dikampanyekan oleh Pak Ong. Terlepas bahwa slogan itu cerdas, hebat dan dahsyat, namun sesungguhnya proses berkesenian sehari-hari beliau tidak seperti itu.
Saya masih ingat, suatu saat beliau mengatakan, “Wong-wong kae mikir lan ngira aku ki kepenak. Padahal aku ki ngayahi gaweyan padinan, ya ngliwet, ya umbah-umbah, ya nyapu, ya ngepel, ya siram-siram kembang (mohon dipahami bahwa kata kembang di sini adalah kembang dalam arti sebenarnya), ya ngeterke anak, wis pokoke sembarang kalir taklakoni.”
“Lagi pas mood, arep ngurupke komputer, Arum (nama putri semata wayang Pak Ong) wis mbengok: ‘Pak, aku ngelih!’, ya aku akhire ngliwet. Njuk tuku lawuh. Begitu mengko lungguh maneh, ngurupke komputer jebule mood-e wis ilang. Lagi entuk ide brilian, langsung arep ngeksekusi, eee… ndilalah udan mak bres. Lha ya njuk mlayu ngangkuti kumbahan. Begitu rampung, lali idene apa…”
Tentu saja sewaktu mengucapkan hal tersebut, tidak ada sedikit pun rasa tertekan di wajah Pak Ong. Tukang semoyo tidak sah punya wajah tertekan. Yang tertekan ya yang disemayani. Tapi sebetulnya waktu beliau bilang seperti itu, saya mau bertanya. Namun tidak enak. Jadi saya mengurungkan niat bertanya. Sebetulnya saat itu saya ingin bertanya: Ora pengen rabi maneh ‘po, Pak?
Tapi begitulah hidup ini, sawang-sinawang. Sawang-sinawang itu mengandaikan jarak yang nisbi jauh, baik jarak sesungguhnya maupun jarak psikologis. Maka istilahnya sawang-sinawang, bukan pandeng-pandengan yang memiliki asumsi sebaliknya. Khusus yang ini, saya cuma ngawur lho ya… Jangan dijadikan landasan teori atau judul esai untuk mengupas karya Pak Ong.
Intinya begini. Jika di dalam pameran beliau kali ini Anda merasa karya-karya Pak Ong luarbiasa, berpikirlah bagaimana jika karya-karya tersebut tidak disambi ngliwet dan tidak terinterupsi oleh pekerjaan domestik? Tentu lebih luarbiasa. Atau jangan-jangan malah tidak ada rasanya. Jangan-jangan kedahsyatan berkesenian beliau ini memang kuat lantaran dilatih dengan umbah-umbah dan nyapu lantai rumah? Jangan-jangan lho ya…
Tapi setidaknya, kita semua, teman-teman Pak Ong, malam ini sangat lega. Sebab tidak ada poster susulan yang berbunyi: Pameran Joyo Semoyo ditunda untuk sakuntara wektu…
Terakhir, selamat kepada Pak Ong. Semoga pameran tunggal kali ini agawe sentosa di segala bidang. Amin.
Selamat berpameran. Jangan lupa ngliwet kesenian dan kabudhayan.
Catatan:
* Tulisan ini dibacakan sebagai testimoni atas pameran tunggal Ong Hari Wahyu berjudul ‘Joyo Semoyo’ yang di helat di Bentara Budaya Yogyakarya pada tanggal 16 Desember 2014 sd 30 Desember 2014.
** Bagi yang tidak paham istilah dan kalimat dalam Bahasa Jawa, silakan mencari tahu lewat orang yang Anda anggap tahu.