MOJOK.CO – Mentor kepenulisan yang kebetulan sastrawan terkenal bikin pengakuan sedang membuat eksperiman sosial ke sebuah media massa ternama. Wah.
Kurang lebih setahun yang lalu, saya mengikuti kelas menulis online, yang dimentori oleh seorang penulis andal kelas nasional, yang pernah bekerja di Ostrali, dan kemudian balik ke Bantul.
Sebagai seorang yang masih buta dengan peta dunia kepenulisan, saya belajar banyak hal di kelas menulis tersebut. Mulai dari soal integritas, yang ditandai dengan orisinalitas tulisan, lalu cara menyusun kalimat agar berkesinambungan, sampai cara mengirim tulisan kita ke media.
Satu hal yang ditekankan Pak Guru (demikian saya memanggil mentor saya), adalah jangan pernah mengirimkan tulisan orang lain yang diaku-aku sebagai tulisan kita. Itu plagiasi namanya. Katanya gitu.
Puji Tuhan, saat mengikuti kelas itu juga, Mojok berkenan meloloskan tulisan saya di kategori esai (terima kasih Mojok, you’ve changed my life).
Asal tahu saja, saya sudah mencoba untuk tembus esai Mojok sedari 2018. Tulisan yang saya kirim selalu ditolak dengan email penolakan yang sangat halus (eh, sampai sekarang pun saya masih sering ditolak hahaha).
Waktu itu saya merasa tidak mungkin untuk tembus Mojok, dan tidak mungkin juga untuk bisa menulis dengan bagus. Wong ditolak terus.
Nah, mengikuti kelas online di tahun pandemi, memberi saya harapan, sekaligus keberanian untuk menulis lagi. Harapan dan keberanian itu terbayarkan dengan keberhasilan lolos dari kurasi para redaktur media.
Keberhasilan tersebut membuat saya percaya, bahwa ternyata saya bisa menulis, dan juga bisa membuat satu pencapaian dengan usaha sendiri. Iya, memang sih tujuan menulis bagi tiap orang berbeda-beda. Dan pencapaian bagi tiap orang juga memiliki arti yang berbeda-beda.
Bagi saya pribadi, di kota saya misalnya, orang-orang pasti akan membandingkan saya dengan ayah saya. “Oh, kamu ya, anaknya Pak Sihombing ya?” Kadang menyebalkan juga ketika terus dihubungkan dengan nama orang tua.
Itu sebabnya, ketika menimba ilmu di kota lain, hal itu menjadi semacam momen “pembebasan” bagi saya. Pembebasan dalam arti tidak lagi dibayang-bayangi oleh nama orang tua. Pembebasan dalam arti dapat mengusahakan sesuatu sendiri, tanpa bantuan nama orang tua.
Maka, ketika hari Minggu lalu ada seorang sastrawan besar yang mengaku, bahwa ia mengirimkan tulisan muridnya ke sebuah media ternama nasional, dengan mengatasnamakan nama si sastrawan tersebut, dan tulisan itu lolos tayang, saya hanya bisa berdiri, mengangkat topi, dan bersyukur tiada akhir.
Bukan, bukan bersyukur atas lolosnya tulisan itu. Bukan bersyukur atas keandalan sastrawan tersebut. Bukan juga bersyukur atas kegemilangan murid yang sudah menyiksa diri 6 bulan x 24 jam (eh, beneran?) di pembelajaran menulis.
Tapi, bersyukur karena saya dijauhkan dari cara-cara semacam itu, agar tulisan bisa lolos media. Bersyukur karena mentor saya tidak kepikiran untuk bereksperimen macam itu.
Lha iya, apa jadinya kalau tulisan saya dikirim atas nama mentor menulis saya yang terkenal itu, dan lolos di media, karena bisa jadi media tersebut merasa tidak enak jika tidak meloloskan tulisan itu?
Beban macam apa yang harus saya tanggung pasca usainya kelas menulis itu? Atau, malah bisa jadi nama besar mentor itu akan menempel pada saya seumur hidup. Duh, serem, dan suram tentu saja.
Saya sih tidak mau banyak-banyak mengkritisi atau memuji eksperimen sang sastrawan besar tersebut. Wong saya juga pernah di suatu waktu, menimba ilmu dari sang sastrawan hebat itu.
Sastrawan mah bebas. Kelasnya pun sudah tingkat linuwih. Biarlah para sastrawan maupun tokoh tenar lain macam Eka Kurniawan, Okky Madasari, atau Aan Mansyur yang berkomentar. Saya mah icip remah-remah kesuksesan mereka juga nggak apa-apa.
Saya hanya mencoba memosisikan diri sebagai murid yang tulisannya dikirimkan atas nama sastrawan itu.
Maksud saya, memang betul, menurut informasi, si penulis sudah sepakat dengan sang sastrawan. Tapi saya justru merasa kasihan bila pada akhirnya si murid harus mendapat perundungan dari para penulis lain, utamanya para newbie yang semakin merasa inferior untuk serius menjalani karier di dunia kepenulisan.
Ha wong ternyata tembok kurasi para redaksi bisa ditembus dengan cara kayak gitu, lantas untuk apa bersusah-susah? Kalau pun tulisan murid itu bagus, mengapa harus dikirim atas nama sang sastrawan?
Selain itu, apakah sang sastrawan memikirkan dampak yang dapat ditimbulkan bagi editor media yang meloloskan tulisan tersebut? Sepertinya belum. Belum kepikiran sampai arah sana.
Soalnya jika eksperimen ini diseriusi oleh pihak media yang bersngkuhuiuho (tuh kan, nggak kebaca, itulah gunanya kurasi naskah dan editor). Sekali lagi, jika eksperimen ini bikin baper media, redaktur yang mengkurasi naskah itu bisa ditegur keras, bahkan bukan tak mungkin dipecat (semoga sih jangan).
Di sisi lain, apakah sang sastrawan memikirkan dampak eksperimennya bagi kredibilitas media massa bersangkutan? Duh, apa jangan-jangan eksperimen coba-coba itu hanya merupakan plot twist dari suatu cerita besar yang sedang dirancangnya?
Maklum, namanya juga sastrawan, bisa aja blio lagi nyiapin sesuatu yang lebih bikin geger.
Jargon “yang penting orangnya terkenal” rupa-rupanya tak hanya berlaku untuk urusan elektabilitas calon kepala daerah, namun berlaku juga di dunia kepenulisan media. Bahkan mungkin berlaku juga di dunia mentor penulisan, dunia perbukuan, sampai dunia perdukunan.
Sebab, di planet ini, orang suka bertaruh banyak pada satu hal ini: REPUTASI.
Bangunnya perlu bertahun-tahun, bernanah-nanah, dan berdarah-darah, hancurinnya nggak sampai sekali kedutan mata.
Dan bukan tidak mungkin si redaktur yang meloloskan naskah si sastrawan ini punya kecenderungan bersandar pada bangunan bernama “reputasi” itu juga. Hal yang sebenarnya nggak salah-salah amat.
Contohnya kayak saya. Sebagai orang yang mau belajar nulis, tentu saya lebih percaya belajar nulis dari seorang yang dikenal sebagai penulis ketimbang orang nggak jelas yang ngaku-ngaku sebagai sastrawan.
Orang yang sudah punya reputasi dan nama besar sebagai penulis atau sastrawan buku yang pernah saya baca (minimal pernah saya beli bukunya), bukan yang tiba-tiba buka pamflet di lampu merah, tiba-tiba bikin cerpen ndakik-ndakik di medsos, atau ngaku pernah nerbitin buku macem-macem.
Karena saya percaya, reputasi itu nggak bisa dibangun layaknya legenda pembangunan Candi Prambanan atau Gunung Tangkuban Perahu.
Terlepas dari itu, melihat kenyataan yang terjadi (dari satu contoh yang bikin mumet ini), semoga saja para penulis pemula macam saya tidak kehilangan asa untuk terus menulis dan mengirimkan tulisan ke media. Mengingat penulis medioker macam kami ini, nulis jelek aja belum bisa.
Dan, sebagai penutup… kamu sebagai pembaca tak perlu merasa khawatir mendapatkan pengalaman yang sama dengan tulisan ini. Merasa jadi “korban” atau “kelinci percobaan” dari sebuah eksperimen sosial.
Kalau pun tulisan ini lolos, saya pastikan bahwa ini adalah tulisan saya sendiri. Meski sebenarnya pengen bawa-bawa nama mentor saya yang terkenal itu juga sih.
Jadi tenang, Pak Redaktur, selain saya menyelamatkan pembaca, saya juga menyelamatkan Anda hari ini.
BACA JUGA Masa Depan Mahasiswa Sastra Indonesia yang He He He atau tulisan Yesaya Sihombing lainnya.