MOJOK.CO – Donald Trump punya keinginan untuk menggugat Google. Mampus dah. Gimana coba kalau misalnya Google bener-bener kukut dan menghilang dari dunia ini?
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru saja melampiaskan kemarahannya kepada Google gara-gara membaca laporan kalau perusahaan teknologi ini diduga memanipulasi suara dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 lalu.
Kemarahan ini tidak main-main, Donald Trump bahkan sampai punya keinginan untuk menggugat Google.
(((menggugat Google)))
Kalau keinginan ini muncul dari Donald Trump, presiden nyentrik Paman Sam ke-45, kita sih tak perlu merasa aneh. Lha wong baru beberapa hari kemarin saja Donald Trump bilang ingin membeli Pulau Greenland. Iya pulau segede gaban itu mau dibeli! Apalagi ini, cuma mau gugat perusahaan kayak Google. Halah, sepele aja sih itu.
Menurut Donald Trump, Google sudah memanipulasi suara antara 2,6 juta sampai 16 juta untuk Hillary Clinton pada Pilpres Amerika 2016 silam. Tudingan ini sebenarnya agak lucu. Sebab, hal yang dituduhkan Donald Trump ini cuma berdasar karena nama Hillary lebih diuntungkan dalam mesin pencari.
Wow, Report Just Out! Google manipulated from 2.6 million to 16 million votes for Hillary Clinton in 2016 Election! This was put out by a Clinton supporter, not a Trump Supporter! Google should be sued. My victory was even bigger than thought! @JudicialWatch
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) August 19, 2019
Hal ini bisa terjadi karena Google punya kebijakan atau otoritas menghapus sumber berita yang tidak kredibel atau mengandung ujaran kebencian di mesinnya. Artinya, kalau sampai nama Donald Trump kalah dari Hillary di mesin pencari, itu tanda kalau informasi dari (atau soal) Trump memang lebih banyak hoaks dan ujaran kebenciannya. Pfft. Nah lho?
Masalahnya, ketika membaca informasi tersebut, Trump ngamuk-ngamuk. Bahkan sempat berencana akan mengawasi Google dengan sangat ketat. Ya maklum sih, barangkali bagi Google, informasi yang mereka hapus itu hoaks atau ujaran kebencian, tapi bagi Donald Trump itu kenyataan.
Tapi ya mau gimana lagi, nyatanya Trump tetap jadi Presiden Amerika kok. Jadi ya dia bebas-bebas aja sekarang kalau mau ngawasi Google—atau bahkan mau gugat. Serah dia lah, negara juga negara dia kok.
Akan tetapi jadi menarik kalau membayangkan jika misalnya—ini misalnya aja sih—Donald Trump berhasil menggugat Google, lalu akhirnya perusahaan PALUGADA (apa lu mau gua ada) ini akhirnya kukut dan tidak lagi bisa menghiasi layar monitor kita baik di hape maupun di laptop.
Kira-kira apa coba yang terjadi?
Harus diakui sih, ketika Ranchoddas Shamaldas Chanchad di film 3 Idiots pernah bilang kalau, “manusia begitu tergantung dengan mesin,” tapi kalau dialog itu diucapkan ke Gen Z maka perlu ada revisi dikit, “…tergantung dengan mesin pencari.”
Bahkan sebegitu tergantungnya, akan ada banyak hal yang perlu penyesuaian dari kehidupan masyarakat kita kalau tiba-tiba Google nggak ada. Salah satu yang paling merasakan dampaknya, haaaya tentu saja mahasiswa-mahasiswa di seluruh Indonesia—terutama mereka yang lagi ngerjain skripsi.
Oke deh, mungkin memang masih ada mesin pencari lain dari Yahoo atau Ask—misalnya, tapi seberapa sering sih kamu lihat ada orang seselo itu mengetikkan kata kunci ke dua mesin pencari tersebut daripada ke Google?
Bisa dibayangkan mahasiswa akan semakin sibuk kliping koran, perpus kampus jadi penuh, lalu fenomena pinjam-buku-tapi-nggak-dibalikin-sampai-wisuda akan terjadi lagi. Ya maklum sih, Google bikin kita jadi tahu buku apa yang harus kita beli, bahkan kadang tak perlu beli, cukup lihat kutipan penelitan orang di mesin pencari lalu comot saja daftar pustakanya. Beres.
Selain itu, gara-gara Google nggak ada, bakal banyak mahasiswa yang tidak bisa lagi menerapkan overnight speeding system alias sistem kebut semalem lagi. Lha gimana? Tugas-tugas kampus nggak bisa lagi ngandelin jurus kopi-paste lagi. Kalaupun mau kopi-paste juga masih harus ketik ulang yang sama capeknya dengan ngerjain tugas kuliah dengan jujur.
Selain itu, masih ada hal lain yang berubah. Seperti misalnya kita jadi bakal sering nanya alamat orang kalau lagi nyasar. Haya jelas, salah satu yang berubah dari keberadaan Google adalah kebiasaan tanya jalan ke orang. Ini jadi fenomena yang jarang gara-gara ada Google Maps.
Kalau Google nggak ada, bisa jadi orang harus semakin memahami navigasi dengan mengandalkan tanda-tanda alam sekaligus harus pandai menghapal omongan orang. “Ya, Pak, habis lihat masjid itu terus ke kiri. Nah, kalau udah lihat pos kampling berhenti di situ, diparkir aja motornya, Pak. Terus jalan turun lembah 5 kilometer ya, Pak.”
Oke deh, kita masih bisa sih pakai aplikasi Waze, tapi kan tetep, nggak sedetail jalan-jalan di Google Maps. Lha gimana? Sampai jalan pelosok yang sebenarnya nggak ada tiba-tiba tetep muncul di Google Maps je. Canggih pokoknya.
Tapi satu hal yang harus disyukuri dari ketiadaannya Google ya bakal muncul seleksi ketat SJW-SJW di media sosial. Lah kok bisa? Ya bisa dong. Bakal terjadi seleksi alam, kalau SJW-SJW yang berkompeten saja yang akhirnya tersisa. Mereka yang cuma asal bacot jelas bakal tersisih.
Sebab, dengan tidak ada Google, SJW-SJW amatiran bakal kesulitan kalau lagi twitwar atau lagi debat di medsos. Selama ini kan kalau ditanya, “Lu ngomong doang, datanya mana, Bijik!”
Lalu tiba-tiba SJW yang bersangkutan langsung menautkan sebuah link—entah berita, artikel, atau hasil penelitan. Sambil bilang, “Makanya ini dibaca, TOLOL!!! Goblok sih dipelihara…” Lalu emosi. Twitwar lagi. Terus jadi konten twitwar lagi. Gitu aja terus sampai klarinet raksasa ditiup.
Nah, dari mana coba SJW bisa dapet data secepat kilat itu? Dari Google? Aaah, nggak mungkin dong. Social Justice Warrior kok ngandelin mesin pencari? Ya nggak mungkin banget.
SJW-SJW sih pasti selalu stand by di Perpustakaan Kota dan berhadap-hadapan dengan arsip-arsip penuh debu penuh data-data rahasisa di dalamnya. Mana mungkin sih SJW ngebacot masih pakai googling segala. Kayak SJW amatiran aja.
Tapi lebih daripada itu, jika Google benar-benar kukut kalau digugat beneran sama Donald Trump, tulisan yang sedang kamu baca ini nggak bakal ada. Lha iya dong, kamu kira saya menulis ini di Perpus Kota sambil berhadap-hadapan dengan bejibun arsip penuh debu?
Ealah, udah kayak SJW beneran aja.