MOJOK.CO – Krisis kelangkaan BBM di Jember tidak direspons dengan baik oleh Bupati. Malah, krisis ini dipandang sebagai masalah biasa, padahal warga menderita.
Beberapa hari terakhir, antrean kendaraan di SPBU Jember tak kunjung reda. Pemandangan seperti ini bukan hal yang biasa terjadi. Kendaraan yang berbaris hingga ratusan kilometer, wajah para pengendara yang tampak bad mood, dan sesekali terdengar suara klakson menambah kesan sumpek yang tidak bisa dibendung. Semua demi satu hal, spaneng bertemu bensin.
Kelangkaan BBM melanda Jember sejak Sabtu (26/7) hingga Selasa (29/7). Hal ini terjadi setelah ditutupnya jalur nasional Gumitir yang menghubungkan Jember dan Banyuwangi. Jalur ini menjadi sangat penting untuk urusan suplai logistik, termasuk pasokan bahan bakar dari Depo Pertamina di Banyuwangi.
Di beberapa SPBU, warga sudah rela dan ikhlas untuk antre dari subuh, bahkan malam sebelumnya. Di beberapa kios Pertamini dan bensin eceran yang masih memiliki stok sisa, dilaporkan telah terjadi lonjakan harga kisaran Rp17.000 hingga Rp25.000 per liter, bahkan lebih
Kelangkaan BBM di Jember menyusahkan warga
Seorang pengemudi ojek online yang saya temui dan tidak mau disebutkan namanya, mengaku harus menolak beberapa pesanan karena tangki motornya hampir kosong. Antrean juga tak luput dialami oleh istri saya di Minggu siang (27/7).
Sepulang lemburan kerja, dia mengantre selama hampir 2 jam di SPBU Jalan Ahmad Yani. Alhamdulillah, masih kebagian jatah bahan bakar, tapi tetap dibatasi untuk setiap pengendara motor maksimal Rp50.000 tiap pembelian.
Nasib sial dialami Iqbal Amanta. Dia adalah seorang freelance graphic design yang setiap harinya sering mondar-mandir sejauh 45 Kilometer dari Gumukmas untuk beraktivitas ke Jember kota.
Minggu malam (27/7) dari pukul 19.00 sampai 22.00 WIB, dia mengantre di SPBU Kaliwates, seberang Bank Indonesia Jember. Namun gayung tak bersambut, saat gilirannya tiba, persediaan bensin malah habis.
Tidak berhenti di situ, Iqbal tetap gigih memilih pulang dengan keadaan bensin tanggung. Setelah menempuh perjalanan sekitar 27 kilometer, dia harus menyudahi tarikan motornya di daerah Kantor Bulog, Balung. Bahan bakar pun sudah asat untuk menyuplai mesin motor.
Akhirnya dia menemukan penjual bensin eceran di daerah Grenden, Puger. Ada 2 orang random yang tak Iqbal kenali membantunya mendorong motornya.
“Dari jam 11 siang, terpantau pom di daerah selatan sudah banyak yang antre, padahal belum ada stok. SPBU-nya juga masih tutup. Kemudian kupikir aku akan ikut antre ketika malam saja, tapi dari budal aku wes siap kentekan kok Mas, dadi tidak begitu mengecewakan.” Balas Iqbal menghibur dirinya.
Kegaduhan yang terjadi
Tak hanya soal panjang antrean dan kelangkaan BBM di Jember, kegaduhan kecil mulai terjadi. Gesekan tak bisa dihindari di tengah badai barisan menunggu giliran kendaraan.
Ada yang mulai saling tuduh karena menyerobot antrean, ada yang sampai misuh-misuh karena kehabisan kesabaran, ada yang tiba-tiba pingsan karena antre sejak dini hari, hingga ada adegan gelut di salah satu SPBU karena saking panasnya suasana. Bahkan, ada yang sempat-sempatnya buka jastip bensin dari Lumajang, menambah parah huru-hara lainnya.
Di satu sisi, kelangkaan BBM di Jember ini bukan lagi persoalan yang remeh temeh, tapi ini tentang persoalan rasa aman, dan kenyamanan dalam hidup bersama. Minimal ndak garai panik.
Bisa saja muncul perilaku panic buying. Dampaknya, masyarakat akan mengambil keputusan-keputusan sembrono berdasarkan rasa takut, wes ndak mikir maneh. Bahayanya ini akan lebih mudah termakan hoaks atau malah ingin jadi FOMO, hingga memperburuk keadaan secara meluas.
Baca halaman selanjutnya: Derita rakyat yang tak terbantahkan.











