2025 dan masih harus antre bensin
Fyi saja, kebutuhan BBM di Jember rata-rata per hari mencapai sekitar 700 kiloliter (KL). Gangguan pengiriman ini juga berdampak pada kelangkaan stok di beberapa SPBU. Senin siang (28/7), kondisi antrean di SPBU pun mulai menular ke kota tetangga dan sudah nampak di sebagian wilayah Bondowoso dan Lumajang.
Siapa pernah menyangka, di tengah era digital dan distribusi logistik yang katanya canggih ini, warga Jember masih harus mengantre demi setetes bensin?
Dari pihak Pertamina, diwakilkan oleh Sales Brand Manager area Jember, Hendra Saputra, menjelaskan bahwa sebelum penutupan jalur Gumitir, pihaknya telah memberangkatkan sejumlah truk tangki dari depo Banyuwangi.
Namun, distribusi terhambat akibat kemacetan parah di perjalanan. Ini dikarenakan terjadi penumpukan kendaraan, imbas dari adanya pembatasan operasional di Pelabuhan Ketapang.
Mau tidak mau, truk-truk tangki harus melewati jalur alternatif yang lebih jauh, tetapi tidak cukup memungkinkan apalagi kalau lewat jalur Arak-Arak. Terlalu berliku dan menghambat laju pengiriman. Masalah tidak terhenti di situ, saat menempuh jalur via Probolinggo, terdapat kendala kemacetan karena ada perbaikan jembatan di Klakah, Lumajang.
Komentar Bupati Jember
Yang membuat heran warga adalah respons dari Gus Bupati Jember dalam reels wawancara yang diunggah oleh Radar Jember (27/7). Video tersebut berisi tentang pesan Bupati Jember untuk warga terkait kelangkaan BBM.
View this post on Instagram
“Jadi, kelangkaan BBM ini bukan hal yang fundamental ya, karena ini dampak dari penutupan jalan nasional.” Tegas beliau membuka video.
“Ini adalah masalah yang ada di beberapa kabupaten tentunya, dan saya sempat kaget melihat di jalan-jalan banyak warga yang antre. Selanjutnya kami akan melakukan koordinasi dengan Pertamina untuk mengambil langkah-langkah secara cepat supaya kelangkaan BBM ini tidak berdampak terlalu besar.” Lanjut beliau menjelaskan.
Saya berbincang dengan Fahmi Dwiki Setiawan, seorang data contributor dari Jember Yang Itu, sebuah homeless media asal Jember yang sering mengamati dinamika dan isu sosial lokal.
Saat bertemu, Fahmi membeberkan hasil temuannya terkait klasifikasi sentimen warga berdasarkan kata kunci yang muncul di kolom komentar video reels unggahan Radar Jember tersebut. Dari klasifikasi kata kunci ditemukan 3 jenis sentimen dominan.
Respons warga Jember
Dari analisis tersebut, sebanyak kurang lebih dari 50% komentar mengandung sentimen negatif atau kritik terbuka. Ini ditandai dengan kata-kata seperti “masalah”, “bukan”, “fundamental”, “penutupan”, “pemkab”, hingga “kelangkaan”.
Kritik umumnya ditujukan pada pemerintah daerah yang dianggap tidak siap menghadapi penutupan jalur Gumitir. Hal ini terlihat dari banyaknya kata “bukan” dan “fundamental” yang dipakai dalam konteks menentang pernyataan pejabat publik tersebut.
Sekitar 25% komentar lainnya bernada sinis atau sarkastik. Sentimen ini tidak terlalu menunjukkan dukungan, melainkan tanggapan sinis melalui ekspresi jenaka. Ditandai dengan penggunaan emoji seperti 😂 dan 🤣 serta kata-kata seperti “wes”, “yo”, “cinta”, “enak”, “sabar”. Meskipun tampak jenaka, komentar ini menyiratkan kekecewaan terhadap situasi yang terjadi.
Sementara itu, sekitar 25% sisanya diklasifikasikan sebagai sentimen netral atau informasi. Kata-kata yang muncul di kategori ini meliputi “bbm”, “bupati”, “gus”, “pertamina”, “jalan”, “jember”, “jalur”, “pom”, “hari”, “baru”, hingga “solusi”.
Komentar-komentar ini umumnya hanya menyebutkan sesuatu yang terjadi, lokasi, atau informasi yang berhubungan dengan isu tersebut, tanpa ekspresi emosional yang kuat.
Sebagian besar komentar warganet menunjukkan ketidaksetujuan terhadap klaim bahwa “Kelangkaan BBM bukan masalah fundamental.” Ini memperlihatkan ketegangan adanya antara komunikasi resmi dan persepsi publik. Penggunaan kata seperti “bukan”, “fundamental”, dan “koordinasi” muncul dominan dalam konteks menyanggah narasi pemerintah yang dianggap mengalihkan isi masalah.
Lemahnya kesiapan pemerintah
Kejadian ini membentuk wacana publik yang menaruh fokus pada 2 hal. Pertama, lemahnya kesiapan pemerintah daerah menghadapi penutupan jalur Gumitir. Kedua, kekecewaan terhadap respons yang lambat.
Selain kritik terbuka, masyarakat Jember juga mengekspresikan ketidakpuasan lewat sarkasme atau humor sinis. Ini justru memperkuat kesan bahwa kepercayaan terhadap pejabat dan lembaga terkait semakin rendah. Figur seperti bupati, gus, dan Pertamina menjadi sorotan utama dalam perbincangan di kolom komentar tersebut.
Sebagai bentuk respons cepat terhadap kelangkaan ini, Pertamina akhirnya melakukan alih suplai dari Terminal BBM Surabaya dan Malang. Bahkan wilayah lainnya untuk menutupi keterlambatan pengiriman di wilayah Jember.
Mereka menyatakan bahwa sebenarnya stok BBM untuk wilayah Jember masih mencukupi. Tapi tetap saja, yang terjadi saat ini berkata lain. Distribusi bukan hanya soal cukup, tapi ini soal waktu, kecepatan, dan ketepatan. Yang dibutuhkan sekarang adalah bensin, bukan janji.
Fenomena ini menyadarkan kita akan satu hal yang penting. BBM bukan cuma soal kendaraan. Ia adalah salah satu komponen penting untuk mobilitas warga, terutama di kota underrated seperti Jember yang belum memiliki sistem transportasi publik yang memadai.
Ketika BBM langka, aktivitas ikut tersendat. Warga kehilangan waktu untuk produktif, keresahan mulai menyebar, dan yang ditakutkan adalah bahan pangan serta harga-harga lainnya ikut naik.
Pemerintah daerah bahkan masih kewalahan ketika hanya satu jalur distribusi darat tertutup. Saya ingin bertanya dengan nada dangdut, apakah sebelumnya tidak ada skenario darurat jika jalur utamanya terganggu atau bahkan ditutup?
Tak serius menanggapi krisis yang dirasakan warga
Di tengah antrean panjang dan kepanikan, kita tentunya ingin berharap pada penjelasan pejabat publik yang lebih sederhana dan menenangkan. Bukan janji muluk-muluk. Bukan juga pembelaan. Kita butuh kehadiran untuk melihat dan mengakui bahwa situasi ini memang tidaklah mudah.
Namun yang muncul justru malah sebaliknya. Ketika pejabat berkata “Ini bukan masalah fundamental,” saya merasa bahwa seolah-olah krisis yang dirasakan masyarakat hanyalah gangguan teknis yang tidak perlu dipersoalkan.
Padahal, warga sampai bermalam di SPBU, ojol mulai menolak penumpang, dan keresahan lain yang perlahan akan memuncak jika tidak ditangani secara tepat.
Ketika komunikasi publik kehilangan empati, bahkan kalimat-kalimat singkat pun akan menjadi bumerang. Bukan karena isi pesannya, tapi karena pemilihan diksi yang kurang tepat, nada berbicara yang dianggap acuh, dan situasi yang tersemat di dalamnya.
Saya pamit antre bensin dulu, ya
Kejadian BBM langka ini semestinya tidak diatasi dengan solusi jangka pendek, tetapi bisa dibaca sebagai sebuah peringatan. Bahwa krisis bisa datang kapan saja dan dari mana saja termasuk dari hal-hal kecil yang tidak dapat diprediksi.
Minimal, pikirkan mitigasinya terlebih dahulu. Semua hal-hal buruk yang bakal terjadi sebaiknya dibuatkan mitigasi. Lakukan itu sebelum membuat kebijakan yang menyangkut kepentingan warga.
Sebenarnya kita tidak terlalu butuh solusi yang serba instan. Kami hanya butuh didengarkan, dilihat, dan diyakini bahwa yang terjadi ini nyata. Bisa jadi, satu kalimat yang manusiawi akan lebih berarti dari banyaknya seribu penjelasan teknis yang ada.
Hingga malam ini, sudah mulai terlihat truk tangki Pertamina mulai mendarat di beberapa SPBU Jember. Semoga bensin sudah mulai ada ketersediaannya dan stabil. Saya berharap krisis ini tidak terlalu berkepanjangan. Saya pamit antre bensin dulu ya.
Penulis: Elmi Auliya Bayu Purna
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Melihat Jember yang Belum Sempurna Menuju Identitas yang (Nggak) Baru dan Lebih Unyu dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












