MOJOK.CO – Jangan kira berteman dengan dosen pembimbing skripsi di Facebook itu bikin kamu jadi mahasiswa tepat deadline. Tidak. Sama sekali tidak.
Buat kamu, mahasiswa yang punya keinginan (((mulia))) berteman dengan dosen pembimbing skripsi di Facebook, terutama kalau kamu adalah mahasiswa-bangkotan-tua-bangka-semester-entah-sudah-berapa, ingat satu nasihat gratis dari saya ini: jangan!
Sudah, sudah, nggak perlu tanya kenapa. Anggap saja nasihat ini adalah pesan khusus dari dosen penguji skripsi yang tak bisa kamu tawar lagi.
Berteman dengan dosen pembimbing skripsi di media sosial itu sangat-sangat-sangat rawan. Berisiko dan rawan bikin kamu kena teror tidak hanya di ruang privat, tapi ter-publish seantero universe.
Teman saya mengalaminya, dan buat kamu mahasiswa yang sedang dalam tahap tersebut, bersyukurlah sudah membaca tulisan ini karena tak perlu melakukan kebodohan yang sama. Biarkan orang lain yang melakukannya, dan kita cukup mengambil hikmahnya.
Semua diawali dari suatu hari yang cerah, hidup seorang mahasiswa (yaitu teman saya) yang kebetulan masih memiliki hati, suci, bersih, dan niat mulia.
Hal itu ditandai dengan kebiasaan teman saya yang selalu berusaha membuka ruang silaturahmi selebar-lebarnya, termasuk ke dosen-dosennya di Facebook. Barangkali karena ia ingat bahwa silaturahmi dengan banyak dosen konon bisa memanjangkan usiamasa studinya.
Teman saya ini, benar-benar add friends satu-satu dosennya di Facebook. Sebagian besar di- approve. Dan di situlah nasib celakanya bermula. Ia tak sadar, salah satu dosen yang ia add termasuk dosen yang kemudian jadi pembimbing skripsinya.
Apesnya lagi, di hari random lainnya, teman saya ini mengumumkan bahwa bukunya telah terbit. Ia posting lah kabar bahagia itu di Facebook. Menurutnya, proses menulis buku itu penuh perjuangan, maka wajar kalau kabar bahagia itu perlu sedikit dirayakan—setidaknya—dengan teman-temannya di Facebook.
Kebodohan berikutnya pun terjadi: teman saya dengan polosnya menandai teman-teman Facebooknya.
Mungkin karena tak sabar untuk mendapat like dan komentar atas keberhasilannya menerbitkan buku, ia jadi tak sadar dengan kesembronoannya. Awalnya, reaksi yang muncul adalah riuh komentar memberi selamat dan pujian atas usahanya.
Teman saya membalas komentar itu dengan gembira seperti sebuah pesta. Meski sesekali berpikir keras, “Duh, ini gimana caranya ya biar mereka sekalian pesan buku saya?”
Berhari-hari kemudian, hapenya dibanjiri notifikasi. Setiap ada komentar, teman saya akan berpikir sejenak untuk membalas dengan sabar. Mencoba membribik teman-temannya supaya mau pesan bukunya sekalian, bukan cuma kasih selamat-selamat doang tapi nggak beli.
Sampai kemudian…
…hari pembalasan itu pun tiba.
Muncul sebuah komentar yang seolah menikam jantung dan kehormatannya sebagai mahasiswa. Reaksi pertama yang ia rasakan adalah bingung, pusing, malu, dan rasanya ingin kabur dari dunia yang fana ini. Teman saya ini benar-benar lupa kalau sudah berteman dengan dosen pembimbing skripsinya di Facebook.
Bodohnya lagi, entah sudah berapa purnama ia tidak pernah membelai tugas skripsinya dan sudah berapa biji chat dosen pembimbingnya yang ia abaikan.
Dalam kolom komentar postingan yang membahagiakan itu akun dosen pembimbing skripsinya muncul begitu saja. Komentarnya singkat, dingin, dan membawa kesan horor tingkat dewa: “Kapan bimbingan?”
Dunia seolah berhenti bergerak, lautan mendadak tenang tak berombak, angin tak lagi berembus, dan Matahari seolah berhenti kasih diskonan. Sepi, sunyi, dan mencekam.
Komentar teman-temannya pun berhenti semenjak dosen itu nimbrung. Seperti tombol bel buruh pabrik agar balik kerja lagi dari jam istirahat. Semua teman-temannya yang tadi begitu riuh di kolom komentar pada kabur. Teman saya ditinggal sendiri menghadapi “pengadilan” dadakan dari dosen pembimbing skripsinya itu.
Postingan itu mendadak jadi seperti gedung kosong, sepi, sunyi, dan seolah bikin komentar si dosen pembimbing menggema seantero negeri. Nyaring dan terasa berulang kali muncul di kepala.
Kapan bimbingan, kapan bimbingan, kapan bimbingan.
Seperti yang saya katakan tadi, membalas komentar temannya saja ia perlu menjelajahi samudra isi kepalanya, apalagi membalas komentar dari dosen pembimbing yang sudah ia cuekin entah berapa lama. Keringat dingin dan barangkali sedikit pipis sudah mulai keluar pelan-pelan dari teman saya karena saking takutnya.
Saya yang kebetulan melihat postingannya, cekikikan melihat komentar dosen pembimbing itu. Lantas saya chat ia secara personal lewat WhatsApp, “Pestamu dibubarin Pak Kos, ya?” dengan tiga emoticon ketawa miring 45 derajat ke kanan.
Dan, chat saya tidak dibalas. Mungkin tenaga dan pikirannya sudah habis untuk memikirkan mau balas apa ke dosen pembimbing skripsinya di postingan Facebook itu.
Akhirnya, ia membalas komentar itu, “Maaf, Pak. Skripsi saya masih dalam proses.”
Hm. Normatif sekali.
Padahal kalau saja draf skripsinya itu sudah diprint dalam bentuk kertas, saya yakin skripsinya itu sebenarnya sudah tertimbun jutaan tahun dan jadi fosil. Hm, cukup berbakat jadi politisi juga teman saya ini.
Beberapa hari kemudian, saya tahu, teman saya ini hilang dari peredaran dunia per-medsos-an gara-gara komentar dosbing (dosen pembimbing) skripsinya. Bahkan tak cuma medsos, chat WhatsApp dari teman-temannya pun tak dibalas.
Benar-benar pria baik yang malang. Malang sekali.
Meski begitu, jika ada pesan yang paling pas untuk teman saya, barangkali ya cuma gubahan potongan sajak Chairil Anwar ini:
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah, hatiku yang tak mau memberi.
Mampus kau, dikoyak-koyak komen dosbing skripsi!
BACA JUGA Jangan Tulis Nama Pacar di Skripsi, Pokoknya Jangan! atau tulisan soal SKRIPSI lainnya.