MOJOK.CO – Jalan Gejayan Sleman adalah simulator bencana demografi yang harus dihadapi oleh Sleman dan Kota Jogja 6 tahun lagi. Seram!
Jumat (6/10) malam, saya melintas di Jalan Gejayan Sleman. Saya melintas dari utara menuju selatan. Sepanjang perjalanan dari perempatan Condong Catur hingga Pasar Demangan, pikiran saya berkelana ke nasib Daerah Istimewa Yogyakarta setelah 6 tahun ke depan. Tepatnya ketika bonus demografi mulai berlaku.
Pak Jokowi sempat menyebut istilah bonus demografi ketika menyampaikan pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2023 yang lalu. Kata beliau, bonus demografi Indonesia akan mencapai puncaknya pada 2030-an. Respons Indonesia terhadap bonus demografi akan menentukan seberapa besar peluang mencapai target “Indonesia emas 2045”.
Bonus demografi sendiri adalah potensi pertumbuhan ekonomi yang tercipta. Hal yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi adalah perubahan struktur umur penduduk. Struktur umur yang dimaksud adalah usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas).
Jadi, sekitar 6 tahun lagi, Indonesia berpotensi merasakan dampak bonus demografi. Memang tidak salah jika Pak Jokowi memandang bonus demografi sebagai peluang. Namun, melihat apa yang terjadi di Jalan Gejayan Sleman, saya merasa bonus demografi justru bisa menjadi “bencana demografi” bagi Sleman dan Kota Jogja.
Jalan Gejayan Sleman dan kepadatan yang meresahkan
Rabu, 25 Januari 2023. Antara merilis sebuah berita yang sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Antara membuat judul seperti ini: “Jalan Gejayan Menjadi Ruas Jalan Terpadat di Kota Yogyakarta”. Sebentar, Jalan Gejayan itu masuk Kota Jogja atau Sleman, sih? Sebuah pertanyaan yang sebetulnya cukup membuat saya resah.
Yah, apapun itu, Jalan Gejayan Sleman adalah jalan paling padat di DIY. Survei Dishub DIY pada 2022 mencatat derajat kejenuhan jalan ini mencapai 1,23. Jadi, derajat kejenuhan adalah perbandingan antara volume lalu lintas dengan kapasitas jalan. Hasilnya berupa angka antara 0 hingga 1. Semakin mendekati angka 1, kondisi jalan mendekati angka jenuh.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tingginya tingkat kejenuhan di Jalan Gejayan Sleman. Pertama, jalan yang tidak terlalu lebar. Kedua, menggunakan sistem 2 arah. Ketiga, ada hambatan di samping jalan seperti parkir dan pasar tradisional. Keempat, volume kendaraan terlalu tinggi.
Hmm… beberapa alasan yang masuk akal. Namun, analisis tersebut melupakan 1 hal paling krusial dari sebuah kepadatan jalan yang sudah sangat meresahkan, yaitu manusia. Keberadaan manusia yang menyebabkan tingkat kepadatan semakin tinggi. Nggak cuma di Gejayan, ya, tapi di beberapa titik di Kota Jogja.
Faktor manusia di sini saya bagi menjadi 2. Pertama, mereka yang membawa kendaraan pribadi untuk beraktivitas. Kedua, mereka yang seharusnya menentukan kebijakan supaya sebuah jalan raya tidak meresahkan warganya. Jika “manusia kedua” tidak bekerja dengan baik, kita tidak bisa menyalahkan “manusia pertama”. Mereka membawa kendaraan pribadi karena tidak ada opsi transportasi umum yang waras!
Baca halaman selanjutnya
Ancaman nyata untuk bonus demografi