MOJOK.CO – Ketika berita pencabulan ke putra-putri altar di Gereja Paroki Depok muncul, kesan jijik muncul seketika. Masak ya ada orang berniat jahat di lingkungan suci?
Biar kanak-kanak datang kepada-Ku
itu sabda Yesus dia memanggilku.
Kini aku datang siap menghadap-Nya
kini aku datang; Yesus memanggilku.
Lagu ciptaan Romo A. Soetanta SJ di awal itu, dari dulu sampai sekarang, selalu bikin saya mbrebes mili. Apalagi kalau lagu itu dibawakan pas anak-anak mengantre untuk menerima berkat dari pastor pada penghujung misa. Lagu itu selalu berhasil membawa saya pada kenangan indah ketika masa kecil hingga remaja, kala aktif di gereja dalam rupa-rupa pelayanan.
Eh, belakangan malah muncul pemberitaan adanya kekerasan seksual yang menimpa putra altar pada salah satu paroki di Depok. Kasusnya sudah sampai ke polisi, korbannya ternyata tidak sedikit, dan semoga saja dikawal dengan baik.
Sebagai Katolik baptis bayi, pernah malang melintang baik sebagai putra altar bertahun-tahun maupun Katolik Natal Paskah garis keras, serta mengerti benar kemurnian hati anak-anak untuk aktif di gereja, saya tentu gemas sekali.
Sebenarnya tulisan ini tadinya pengen menjabarkan kegemasan tersebut. Apa daya, baru berkomentar sedikit di media sosial, eh malah dikasih tahu, “lho situ kan juga manusia penuh dosa, ngapain menghakimi orang lain?”
Repot, kan?
Lebih repot lagi karena medium pemberitaan yang beredar di Google sangat terbatas. Informasi paling mendetail hanya diberikan oleh Tempo, itu juga di laman majalah alias berbayar. Ada satu jejak digital dari sebuah mainstream media Katolik—dulu almarhum simbah saya langganan majalahnya—eh begitu diklik yang muncul adalah “Ooops… Error 404”.
Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang putra altar sehingga bagi yang tidak terlalu mengenal agama Katolik, bisa agak lebih mengerti konteks dari kejadian di Depok tersebut. Sekalian ya kalau tertarik, bisa mendaf… eh…
Putra (dan putri) altar itu adalah kumpulan orang—lazimnya adalah anak-anak SD kelas 4 ke atas—yang memiliki tugas membantu pelaksanaan ibadah orang Katolik.
Gambaran paling mudahnya tentu kalau kita mengingat sosok seorang bocah mengenakan jubah sebagai latar belakang ciuman Glenn Alinskie-Chelsea Olivia dan Harvey Moeis-Sandra Dewi di gereja Katedral Jakarta. Nah, dia itu adalah putra altar yang kebetulan bertugas di perkawinan orang kondang.
Putra altar tidak mesti bocah lho, ya. Kalau di gereja kampus, stok manusia yang tersedia untuk pelayanan dan bisa jadi putra altar ya hanya mahasiswa. Kadang-kadang muka putra altarnya bahkan tampak lebih tua daripada muka pastornya.
Membantu pelaksanaan ibadah itu antara lain membawa lilin, anggur, tempat cuci tangan pastor sebelum Doa Syukur Agung, membunyikan gong dan/atau lonceng pada konsekrasi dan momen-momen penting lainnya, hingga turut membereskan altar sesudah misa selesai.
Judulnya memang membantu, tapi bagi sebagian anak-anak Katolik, menjadi putra-putri altar—atau sering juga disebut sebagai misdinar—adalah salah satu cita-cita mulia jangka pendek karena beberapa alasan.
Pertama, putra altar itu aksesnya langsung ke pastor dan sepanjang misa ada di depan gereja bersama-sama pemimpin ibadah. Kalau sudah dapat jatah tugas itu berasa jadi anak Tuhan seutuhnya. Kedua, sepanjang bertugas akan mengenakan jubah kecil atau pakaian khusus yang notabene tampak keren.
Di sisi lain, banyak juga orang tua yang mengarahkan anaknya untuk menjadi putra-putri altar karena dianggap mampu memperkokoh (((keimanan dan ketakwaan))) sang buah hati pada usia yang identik dengan pencarian jati diri. Selain ya tentu saja meningkatkan kebanggaan orang tua.
Alasan sampingan dari diri anak? Tentu saja ada. Dengan tugas membereskan altar sesudah misa, maka bocah-bocah itu punya akses ke setidak-tidaknya sisa anggur yang umumnya tidak digunakan semua kalau pastornya sudah sepuh dan banyak pantangan.
Ya, lumayan toh, beberapa tetes anggur buat bocah itu sudah merupakan kenikmatan tersendiri. Versi advanced-nya sih benar-benar nyolong anggur langsung dari wadahnya, tapi kalau saya pribadi belum pernah melakukannya.
Dengan menjadi putra altar, banyak yang kemudian mengorbankan tayangan kartun pada masa kecil. Dahulu kala Doraemon tayang pukul 8 pagi sampai kemudian Crayon Sinchan pukul 9.30. Pada waktu-waktu tersebut, para putra-putri altar lebih sibuk di gereja karena biasanya aktivitas seperti latihan dan lain-lain dihelat sesudah misa Minggu pagi. Berhubung niatnya murni, jadi ya nggak merasa kehilangan sama sekali.
Salah satu syarat umum untuk menjadi putra-putri altar adalah sudah boleh menerima hosti dalam komuni suci. Praktik yang terjadi dahulu, saat saya komuni pertama, maka teman muslim yang sepantaran juga menempuh salah satu milestone penting hidup beragama yatu khatam Quran.
Oya, tidak semua gereja menerapkan konsep putra-putri altar. Di Indonesia ini masih ada sebagian gereja yang hanya memiliki putra altar. Ketika saya masuk putra altar pertama kali, ya isinya juga cowok semua. Cukup wajar karena sejarahnya kan anak-anak itu yang kelak diharapkan akan menjadi calon pastor.
Selain faktor keterlibatan, faktor kondisi minoritas kemudian menjadi salah satu alasan munculnya kebutuhan akan putri altar—yang di beberapa paroki disebut sebagai putri sakristi.
Sebagai gambaran saja, saya kan dibaptis sampai agak besar di salah satu daerah minoritas Katolik. Kondisi nggak ada putra-putri altar yang bertugas bukan hal aneh. Kadang-kadang juga yang bertugas putri semua karena adanya hanya itu. Jadi kondisinya memang berbeda-beda antar paroki atau gereja, tidak bisa terlalu saklek.
Pengelolaan anak-anak penuh semangat itu tentu saja tidak bisa langsung dilakukan oleh pastor, sebab jumlahnya kan sedikit dan urusannya juga banyak. Kalau kebetulan ada suster atau frater (calon pastor) di suatu paroki atau gereja, kadang-kadang mereka yang diserahi tugas untuk menangani.
Akan tetapi, baik pastor, suster, apalagi frater itu masa edarnya di suatu paroki terbatas dan sangat bisa dipindah-pindah. Maka tetap butuh orang-orang dari awam setempat sebagai pendamping sehingga bisa menjamin kontinuitas pelayanan.
Saya dan beberapa teman pada posisi kelas 3 Sekolah Menengah Pertama, pernah ketiban transisi itu. Suster pendamping pindah dan belum ada gantinya, sementara pendamping dari awam masih belum jelas.
Walhasil, ya karena senioritas, sempat jadi pendamping jadi-jadian dengan tugas bikin jadwal, memastikan petugas tersedia, termasuk mengalokasikan jadwal latihan untuk perayaan tertentu sebelum kemudian mengundang guru sebagai pelatihnya.
Ya, peran pendamping awam itulah yang dilakoni oleh sang tersangka pelaku kejahatan seksual di Depok. Korbannya adalah anak-anak yang memiliki niat murni terlibat aktif di gereja berangkat dari prasangka baik: mosok ya ada orang berniat jahat di lingkungan suci?
Faktanya? Ya, mari kita kawal sama-sama pengungkapannya. Semoga paroki setempat juga mengawalnya dengan ketat serta tidak lupa memberikan pendampingan kepada korban. Pada saat yang sama, paroki dan gereja lain di seluruh Indonesia Raya ini juga perlu menaruh perhatian pada kondisi internal masing-masing.
Satu hal yang paling penting adalah anak-anak itu penerus gereja. Mereka mendapat panggilan, mengorbankan lokasi waktu untuk mager di rumah, kemudian datang ke gereja dengan sepenuh hati untuk melayani Tuhan, bukan buat “digelitikin” apalagi dijahati sama pendamping.
BACA JUGA PDKT Kedok Religi ala Anak Gereja Katolik atau tulisan Alexander Arie lainnya.