Masjidil Haram. Lima tahunan silam. Sesosok yang saya kenal lewat televisi itu tiba-tiba ada di hadapan saya. Ustadz Yusuf Mansur! Azan maghrib masih setengah jam lagi. Saya menguntitnya hingga ke dalam masjid, duduk di sebelahnya, lalu beruluk salam. Ini momen langka!
Usai saya mengenalkan diri, beliau memberi banyak wejangan. Beberapa sampai kini masih saya ingat betul: Satu, semakin banyak sedekahmu, semakin melimpah kekayaanmu. Dua, cuekin urusan ikhlas itu, action saja. Jangan dibalik, katanya, baru akan sedekah kalau hati ikhlas. Ikhlas itu datang karena kebiasaan.
Dari sini, saya percaya bahwa YM mengajarkan sedekah yang artifisial itu sebagai proses awal. Sedekah yang pamrih kaya sebagai permulaan. Dari pertemuan perdana itu, saya menangkap kesan bahwa YM tahu betul puncak keutamaan sedekah adalah tanpa pamrih alias ikhlas. Mari kita sadari bersama, mustahillah ujuk-ujuk orang ikhlas sedekah 50 juta tanpa proses pembiasaan yang panjang.
Yogyakarta. Tiga tahunan silam. Saya mengikuti pengajian YM. Di pengujung acara, sebelum doa, beliau menantang jemaah untuk bersedekah saat itu juga. Sebagian jemaah spontan bersedekah, kebanyakan tidak. Saya masukkan semua isi dompet ke dalam kardus yang diedarkan panitia.
Usai acara, saya menyalaminya. Puji Tuhan, beliau masih ingat saya. Sambil tersenyum miring kayak biasanya, beliau berkata, “Ente sudah biasa sedekah, kan?”
“Insya Allah, Ustadz.”
“Ahsanta. Lanjutkan. Makin ikhlas bakal makin dimudahkanNya.”
Selain kesan yang saya tangkap sendiri, banyak sekali testimoni jemaah YM yang menyatakan beliau orang baik; dengan visi universal yang baik. Mustahil ribuan orang sekongkol ngapusi saya.
Salah satu visi baiknya sebagai orang baik ialah memotori praktik ekonomi syariah dengan pola patungan modal. Orang berekonomi terbatas pun jadi bisa ikutan berbisnis dan dapat profit. Sungguh mulia.
Tapi, niat baik saja tidak cukup. Niat baik hanya nyala di pikiran, dan praktik selalu nyala di lapangan, apalagi jika meliputi hajat hidup orang banyak.
Kini, beliau dililit masalah pelik seputar bisnis investasinya. Bukan sedekah. Sedari awal, saya memang tak berkeinginan sedikit pun mengikuti program Patungan Usaha yang digagasnya itu. Pikiran saya sederhana: sedekah ya sedekah, investasi ya investasi. Tak elok dicampur-aduk.
Hotel Siti yang tak kunjung menghasilkan adalah wujud praktik lapangan atas niat baik YM, melalui program Patungan Usaha yang diluncurkan sejak 29 November 2012. Karena tidak diiringi persiapan, sistem, dan manajemen yang baik, muncullah berbagai persoalan. Mulai sempritan pemerintah melalui Menteri BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perihal legalitas formal usaha penggalangan dana masyarakat, hingga blunder pengelolaannya.
Jika ada satu orang investor mendanai saya untuk bikin Kafe Kemroyil, misalnya, dan kemudian dalam pengelolaannya muncul masalah, urusannya simpel: antara saya dan dia. Bayangkan bila ada 2.029 investor, dengan total modal Rp. 24,3 miliar masuk ke rekening saya, bakal luar biasa iyig pertanggungjawabannya. 2.029 orang itu tentu berpamrih, minta keuntungan. Toh dari awal itu memang investasi, bukan sedekah. Dengan iming-iming imbal hasil yang sangat tinggi (high rate of return investment) dan tanpa risiko pula.
Ketika sekian tahun proyek Hotel Siti itu tak tuntas-tuntas, artinya secara riil belum beroperasi dan tak ada keuntungan, berapa banyak dari 2.029 orang itu yang bisa sabar menunggu? Wajar belaka bila kini muncul gugatan-gugatan dari sebagian investornya. Salah satunya ialah gugatan sekelompok investor yang berakhir damai. Pihak YM mengembalikan uang investor plus keuntungannya. Dari mana sumber keuntungan itu, kan hotelnya belum beroperasi? Dari tombokan pribadi YM. Pertanyaannya lagi, berapa lama beliau kuat menomboki? Ngeri membayangkannya ….
Keseleo di Hotel Siti tak membuat YM berhenti melangkah. Selain soal “tanggung” (karena dana yang telah disuntikkan ke Siti Hotel begitu besar), tombokan-tombokan kepada para investor tadi juga jadi biang keladinya. YM membuka lagi penggalangan dana sejak 22 Februari 2014 bernama investasi Condotel Moya Vidi, di Jogja. Melalui PT Veritra Sentosa Internasional (VSI), perusahaan yang mengeluarkan produk PayTren, YM menyatakan akan membeli 200 kamar di condotel yang belum dibangun itu. YM butuh 59.800 sertifikat investasi untuk menuntaskan pembelian 200 kamar itu. Total uangnya Rp. 161,5 miliar.
Lagi-lagi terjadi problem serius dalam plan pembelian condotel itu. Akibat kurangnya persiapan YM sendiri. Pendek cerita, para investor diberi kabar oleh pihak YM bahwa investasi condotel itu dibatalkan karena dana kurang. Lalu, dana para investor yang sudah kadung masuk dialihkan begitu saja ke investasi Hotel Siti. Maharuwet.
Well, berdasarkan laporan Tirto.id (17/7/2017), YM kini sedang menghadapi berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Pertama, urusan pelanggaran hukum atas legalitas formal yang semestinya diselesaikan sejak awal. Kedua, potensi gugatan dari para investor yang merasa haknya tidak dipenuhi. Kasus gugatan dari Medan yang berujung damai tadi, disusul pengaduan di Surabaya, hanyalah segelintir dari potensi gugatan-gugatan hukum lainnya. Ketiga, masa depan Hotel Siti yang di dalamnya mengendon miliaran dana investor itu juga makin tak jelas juntrungnya. Mau gimana lagi? Legalitas pengumpulan dananya bermasalah, dananya kurang, proyek mangkrak, plus tuntutan dari ribuan investor. Komplit-plit-plit masalahnya.
Ada dua hal yang menurut saya sangat berharga untuk disebut hikmah dari kasus ini. Ya, maklumlah, muslim itu kalau kejedot selalu mencari hikmahnya untuk dijadikan bahu sandaran.
Pertama, niat baik haruslah selalu diiringi persiapan yang baik. Anda takkan bisa menjadi imam dalam keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah bila Anda tak menyiapkan diri dulu sebaik-baiknya; asal nikah, asal ngaceng, asal bikin anak, ditambah jargon Allahlah yang menjamin rezeki tiap anak, ya laperrr, Broh …. Kalau lapar, pikiran jadi sensitif, maka berantem lagi berantem lagi. Samara dari mana, dari Hongkong? Kalau Tsamara … ya dari PSI, calon dedeknya Fahri Hamzah.
Kedua, sedekah ya sedekah, investasi ya investasi. Prinsip ini akan membuat para investor dan pengelola melek berjamaah, bahwa pihak investor harus waswas sedari awal bila dijanjikan return yang luar biasa dan pihak pengelola harus menyadari bahwa orang rela mentransfer uang itu ada maunya. Ya janji keuntungan itu tadi.
Investasi tidak ada korelasinya dengan jalan menuju ikhlas dan ahsanta. Tidak ada ayatnya. Lain cerita bila orang mentransfer uangnya buat sedekah. Return-nya dari Allah. Ini ada ayatnya (cari sendiri, jangan males). Kalau ternyata tak kunjung dapat laba sepuluh kali lipat, masak iya mau mengadukan Gusti Allah ke Polres Poliwali Mandar?
Paling-paling polisinya joget-joget di depan Anda sambil nembang Bidadari Keseleo-nya Dek Nella Kharisma:
Untumu ono kawate
Ono lomboke
Ono kangkunge
Yen mrenges ketok aslimu
Ketok wagumu
Ketok mrongosmu