MOJOK.CO – Momen apa lagi di dunia ini yang paling efektif untuk memaksa para pejabat terlihat kerja untuk masyarakat, selain Pemilu?
Seberapa sering Anda mendengar alasan seperti “jangan saling menyalahkan”, “kita mesti gotong royong”, atau “jangan buat kegaduhan” setiap kali para pejabat kita dikritik atas kinerjanya yang buruk?
Saya sih yakin, saya bukan satu-satunya orang yang muak mendengar pernyataan semacam itu.
Selain menunjukkan watak yang kurang suka dikritik, pernyataan-pernyataan tersebut seringkali dijadikan tameng yang melindungi inkompetensi mereka dalam mengelola kebijakan dan melayani masyarakat. Lalu kita semua sebagai pemberi mandat, dipaksa ikut manggut-manggut atas petaka yang terjadi, sebagai sebuah dosa kolektif.
Mereka, sebut saja pelayan masyarakat, kerap kali sengaja menggunakan narasi heroik tentang “persatuan” dan “gotong royong” untuk mengalihkan tanggung jawab dari pundak mereka ke pundak setiap warga masyarakat.
Tanpa disadari, pola pikir seperti inilah yang kemudian memaksa kita untuk—mau tidak mau—memperkuat inisiasi seperti wargabantuwarga, kitabisa, dan bagirata.
Perlahan, kita diajak untuk tidak menuntut apa-apa ke para pelayan masyarakat ini. Kita diajak untuk legowo dan menganggap normal bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari para pelayan ini, selain menambah stok meme warganet dari tingkah laku dan pernyataan konyol mereka.
Standar dan ekspektasi kita terhadap kinerja mereka dibuat sedemikian rendah, serendah pernyataan: “yailah, kayak nggak tahu watak pejabat sini aja.”
Lalu *CRIINGGGG*, perdebatan selesai tanpa menghasilkan apa-apa.
Bikin gedheg ya? Sama, saya juga.
Namun belakangan, gara-gara baca twit Sabda Armandio berikut, saya jadi kepikiran. Kira-kira hal apa yang bisa membuat para pelayan ini merasa terancam dan memancing mereka untuk lebih serius menangani krisis yang terjadi?
selama ga ada friksi di pemerintahan, atau merasa terancam, kayaknya bakal gini2 aja: mahfud selonjoran sambil nonton sinetron, luhut bangun tidur hoam nyem nyem oh masih covid, aparat jadi pajangan buat membuktikan keseriusan negara, dan kroco2nya bikin warga konflik horizontal
— Brother IntelliFAX-4100e Laser Fax Machine (@armandioalif) July 16, 2021
Tanpa perlu pikir panjang, tentu saja jawaban yang terlintas di kepala saya adalah: KONTESTASI PEMILU.
Momen apa lagi di dunia ini yang paling efektif untuk memaksa para pelayan ini turun ke masyarakat, memberikan bantuan, menyerap aspirasi, dan memikirkan solusi terbaik, selain momen pemilu?
Suka tidak suka, nilai-nilai kompetitif dalam penyelenggaraan kampanye pemilu selalu berhasil membuat para (calon) pelayan ini berlomba-lomba merebut hati masyarakat. Dengan cara apapun.
Mulai dari yang paling basic seperti berbagi sembako dan mengaspal jalan, hingga yang cukup menantang seperti diskusi bersama pakar, menyerap aspirasi, dan kritik masyarakat.
Kita semua juga akan disuguhkan oleh berbagai jenis komunikasi publik yang lebih serius dan berkualitas. Tidak akan ada lagi yang namanya nasi kucing, kalung anti-corona, atau analisis hukum sinetron ikatan cinta. Setiap pelayan masyarakat akan kita paksa untuk memiliki sense of crisis terhadap situasi yang terjadi.
Coba bayangkan, memangnya mau sampai kapan kita dijejali terus-menerus oleh hasil survei popularitas dan elektabilitas dari lembaga survei politik? Indikator penilaiannya itu-itu aja. Nggak pernah secara spesifik menyentuh aspek kredibilitas dalam menangani krisis akibat pandemi.
Walhasil, para pelayan yang namanya selalu terpampang di bursa hasil survei ini nggak pernah merasa perlu mawas diri. Toh yang penting namanya sering masuk berita dan perbincangan publik. Tak peduli yang diperbincangkan adalah tentang kelenturan tubuhnya ketika goyang ubur-ubur, atau banyaknya sampah visual (baligho) yang terpampang di sepanjang Pantura.
Jika lembaga-lembaga survei politik ini selalu muncul dengan survei elektabilitas dan popularitasnya, saya kira warga bisa menandinginya dengan membuat klasemen Tes Kredibilitas Pelayan Publik (TKPP).
Meskipun Pemilu 2024 masih beberapa tahun lagi, mengapa tidak jika kita tarik kalender dan paksa para pelayan ini untuk berkompetisi sedari sekarang?
Indikatornya bisa kita rumuskan bersama-sama. Mulai dari sikapnya terhadap implementasi UU Kekarantinaan Kesehatan, vaksin gotong royong, banyaknya blunder atau statement bodoh, gimmick politik yang nggak penting, kemauan untuk mendengar kritikan publik, kepatuhan terhadap protokol kesehatan, dan lain sebagainya.
Setiap pelayan publik—baik di tingkat nasional, maupun lokal—akan dievaluasi berdasarkan indikator-indikator tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, siapapun yang mendapat akumulasi nilai buruk atau di bawah standar, maka akan kita masukkan ke dalam “daftar merah TKPP” yang tentu saja: TIDAK BISA DIBINA.
Kita catat, tandai mukanya, dan sebarluaskan nama serta afiliasi partainya. Kita berikan sanksi sosial yang setimpal dengan inkompetensi pelayanan yang mereka berikan kepada kita, sang pemberi mandat.
Jika para pejabat ini mempertanyakan keabsahan penilaian dan hasil klasemennya, tinggal kita jawab saja: “Hasil TKPP masuk kategori dokumen rahasia rakyat. Sampean nggak perlu tahu.”
Harap maklum kalau sampai pikiran Pemilu begini muncul di kepala. Sebab di negeri demokrasi musiman seperti Indonesia gini, harus diakui, hanya di saat Pemilu saja lah, rakyat punya daya tawar minta sesuatu ke Pejabat. Meski daya tawar itu pun kadang masih dikorupsi juga.
BACA JUGA Cara Cepat Menang Pemilu Adalah dengan Jualan Martabak atau tulisan Fachrial Kautsar lainnya.