MOJOK.CO – Hidup Pak Prabowo di kolam politik yang selalu keruh dan bau sangit makin berat. Izinkan saya memeluk Bapak untuk menenangkan. Sambil berbisik: “Sudahlah, Pak!”
Ketika menulis keseruan yang terjadi antara Pak Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, soal jogging itu, yang muncul adalah perasaan riang. Nah, hari-hari ini, ketika memikirkan Pak Prabowo, salah satu capres potensial untuk 2024, entah kenapa rasanya murung. Saya sampai ingin menemui beliau lalu memeluknya dengan erat sambil membisikkan kalimat dengan mesra: “Sudahlah, Pak.”
Saya bukan simpatisan partai tertentu yang akan berlaga di palagan 2024 nanti. Saya rasa ini penting untuk saya tegaskan. Biar nggak dikira saya itu tendensius ingin merugikan salah satu calon. Saya murni hanya ingin menulis. Menulis apa saja, khususnya keseruan dan kekonyolan bapak-bapak paruh baya di kolam politik yang selalu keruh dan bau sangit.
Namun, kalau muncul nama Pak Prabowo, perasaan yang muncul itu campur aduk. Antara sengit juga kenapa sih beliau nggak kapok maju sampai kasihan. Orang bilang ini wujud determinasi dan pengabdian untuk bangsa.
Yah, saya malah aneh kalau gairah menjadi presiden itu bentuk pengabdian. Kalau memang ingin mengabdi ya minimal rajin datang ronda malam. Nggak perlu bikin partai keluar duit miliaran. Itu juga pengabdian. Malah lebih konkret.
Entah, ya. Menurut saya, Pak Prabowo itu nggak tercipta untuk bertarung di kancah politik. Beliau lebih cocok mengurus hal-hal strategis dalam kelompok kecil sampai sedang. Misalnya mengurusi akun Twitter Partai Gerindra. Saya yakin nggak mungkin itu akun jadi keren seperti sekarang tanpa arahan beliau.
Jangan-jangan, Pak Prabowo ini juga menguasai ilmu social media specialist dan search engine optimization. Gokil. Orang kok apa-apa bisa.
Menurut saya, akun Twitter Partai Gerindra adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya, akun politik yang asyik. Bahkan lebih asyik ketimbang akun sebuah partai yang mendaku diri “anak muda”, tapi sebetulnya feeder club sebuah partai yang lebih besar. Anak muda kok manutan. Wagu!
Prabowo dan yang kita ingat dari Gerindra
Hari-hari ini, jika kamu memasukkan kata kunci “gerindra” di mesin pencarian, yang muncul adalah berita-berita dengan tone yang cenderung pasif. Coba perhatikan, judul-judul beritanya.
Kompas, membuat berita dengan judul: “Gerindra Berharap Cawapres Prabowo Juga Didukung oleh Jokowi”.
Tempo, membuat berita: “Gerindra Minta Saran Jokowi Soal Cawapres Prabowo”.
Berita CNN Indonesia malah mempunyai tone negatif, nggak cuma pasif: “Prabowo Digugat Kader Gerindra Pangkep yang Dipecat ke Pengadilan”.
Berita di atas seperti menyiratkan bahwa untuk “sekadar maju”, Gerindra membutuhkan tenaga dari pihak lain. Padahal, nama Gerindra identik dengan Pak Prabowo. Artinya, bagi masyarakat awam, interest dan citra nama-nama tersebut kurang menarik. Beda jika kamu memasukkan kata kunci “PDIP” ke kolom pencarian.
Tempo, membuat berita dengan judul: “PDIP Bocorkan Nama Bakal Cawapres Ganjar Pranowo, Salah Satunya AHY”.
Detik: “PDIP Soal Puan Sempat Masuk Bursa Cawapres Anies: Tidak Ada Larangan”.
Kompas TV: “PDIP Buka Pintu buat Anies Pilih Cawapres dari Kader Banteng”.
Beda antara dua kata kunci di atas pasti terasa, bukan? PDIP seakan-akan memegang kendali atas takdirnya sendiri. Memang, PDIP lebih “senior” sebagai partai, plus pemenang pemilu sebelumnya. Namun, di mata awam, hal itu bisa tidak berlaku, lantaran yang diperhatikan adalah performa masing-masing di media maupun Google.
Oleh sebab itu, saya jadi jadi khawatir. Ketika Pak Prabowo nggak jadi berlaga di 2024 sebagai cawapres, apalagi sampai kalah, nama Gerindra akan surut. Yang dikenal dari Gerindra hanya sebatas partai yang sempat mencapai peak bersama Pak Prabowo di gelaran pilpres sebelumnya. Setelah itu, ya sekadar peserta yang dipakai “tim besar” untuk menggenapi suara saja. Kenapa begitu?
Setelah Pak Prabowo, lantas siapa?
Saat ini, Pak Prabowo sudah menginjak usia 71 tahun. Nanti pada 2024, beliau sudah 72. Usia yang jelas tidak lagi “muda” untuk terus maju di setiap palagan capres Indonesia. Meski memang, saat ini ada Joe Biden yang berusia 80 tahun. Namun, saya kira itu nggak bisa jadi perbandingan.
Setelah tahu usia Pak Prabowo, pertanyaan paling penting sekarang adalah siapa yang akan meneruskan “perjuangan” beliau di kolam politik? Siapa yang namanya dikenal publik secara luas bukan di antara kolega saja? Maaf, saya harus jujur: tidak ada kader Gerindra dengan potensi dan kekuatan persona seperti Pak Prabowo.
Maret tahun lalu, Jawapos sempat menayangkan berita yang menyebutkan bahwa ada tiga kader Gerindra yang berpotensi maju di 2024. Berita ini dibuat berdasarkan analisis dari Emrus Sihombing, pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH).
Mereka yang berpotensi maju bersama Pak Prabowo adalah Sandiaga Uno, Sufmi Dasco Ahmad, dan Ahmad Muzani. Lalu, ke mana perahu takdir membawa mereka di 2023?
Sandiaga Uno, di 2022 memegang jabatan wakil ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Sekarang di 2023, per Juni ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu sudah resmi menjadi anggota PPP. Iya, perahu takdir memang tak terduga. Lalu, gimana dengan Sufmi Dasco dan Muzani?
Hah? Siapa? Yah, begitulah.
Nggak ada nama lain lagi? Ada, sih, Fadli Zon, yang sekarang duduk di Komisi I DPR RI. Apakah Pak Zon bisa menyaingi engagement yang terpancar dari Ganjar hingga Gibran? Sudahlah.
Pak Prabowo, PDIP akan selalu di depan
Pak Prabowo, sebuah klub sepak bola akan langgeng ketika regenerasi pemain di dalamnya itu kuat. Selain regenerasi, cara klub mengemas dan memajang mereka di etalase media sosial juga penting. Mari kita tengok PDIP.
Setelah Jokowi akan tuntas satu dekade, PDIP siap mengaktifkan generasi selanjutnya. Tentu saja lewat Ganjar yang saat ini elektabilitasnya paling menjanjikan. Lalu ada Gibran, anak Jokowi, yang mempunyai citra baik di Solo dan media. Sementara itu, adik Gibran, Kaesang, masih belum menentukan pilihan. Namun, PDIP sudah mengungkapkan bahwa “sebaiknya”, satu keluarga itu satu partai. NAH!
Bagaimana dengan Bobby Nasution? Ini menantu Jokowi, sedang menjabat sebagai Wali Kota Medan. Saat ini, namanya belum menjadi media darling seperti Gibran. Namun, ingat, Bobby adalah kader PDIP, sebuah partai dengan mesin yang besar. Mesin yang sangat kuat untuk bertarung di ranah kebijakan dan citra di media.
Oleh sebab itu, Pak Prabowo, saat ini saya hanya bisa mendoakan yang terbaik. Saya paham kalau 2024 bisa menjadi pertaruhan terakhir. Demi nama Prabowo sebagai pemimpin tertinggi Indonesia dan Gerindra sebagai partai yang bisa bersaing dengan old guard: PDIP, Golkar, dan PPP.
Blunder yang bikin saya bilang, “Aduh!”
Terakhir, satu hal yang membuat saya ingin memeluk dan menenangkan Pak Prabowo adalah karena sebuah blunder di panggung internasional. Usulan Pak Prabowo untuk “meredakan” perang Rusia-Ukraina disebut aneh dan buruk. Ini jadi penting bagi saya karena dulu Jokowi pernah bilang bahwa saat ini tidak ada yang namanya gagasan menteri, yang ada gagasan presiden. Wah!
“Itu dari Pak Prabowo sendiri. Nanti mungkin hari ini atau besok akan saya undang minta penjelasan mengenai apa yang Pak Menhan sampaikan,” kata Jokowi. Saat saya menulis, muncul berita bahwa Istana mendukung usulan dari Pak Prabowo. Yah, semoga bukan servis untuk media saja, tetapi bentuk dukungan konkret. Kalau tidak, kepentingan Pak Prabowo akan “suara” Jokowi menjelang 2024 bisa agak tersendat.
“Aduh!”
Itulah ekspresi saya saat ini. Meski katanya beliau disukai oleh Gen Z, hidup Pak Prabowo di kolam politik jadi makin sesak. Seperti ikan yang perlahan kehabisan oksigen. Semoga Bapak tetap kuat, ya. Izinkan saya memeluk Bapak sembari membisikkan kalimat, “Sudahlah, Pak!”
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Penjelasan Pakar Mengapa Banyak Gen Z Cenderung Mendukung Prabowo dan analisis menarik di rubrik ESAI.