Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Inferiority Complex dalam Dunia Riset Indonesia

Pola pikir akademisi sosial kita emang cenderung "take for granted" dengan apa yang telah ditulis oleh akademisi asing.

Wasisto Raharjo Jati oleh Wasisto Raharjo Jati
24 Oktober 2021
A A
Klaim Konyol Kalung Anti-Corona dari Peneliti Gatal Publikasi dan Media yang Tak Peduli

Klaim Konyol Kalung Anti-Corona dari Peneliti Gatal Publikasi dan Media yang Tak Peduli

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Peneliti kita cenderung punya inferiority complex jika berhadapan dengan hasil riset luar negeri. Sudah minder duluan.

“Apa sih yang tidak kami ketahui tentang Indonesia?”

Menjadi pernyataan Indonesianis ternama, Profesor Edward Aspinall, ke saya saat bimbingan tesis di kampus ANU, Australia, pada 2020 lalu.

Pernyataan itu begitu saya ingat dan menyadarkan saya pada satu hal; pada satu hal: memilih topik penelitian yang belum banyak diteliti orang lain. Memilih pertanyaan riset yang masih belum terjawab dan belum pernah diulas oleh para akademisi pengkaji Indonesia sebelumnya

Inferiority complex di sini secara sederhana bisa dimaknai sebagai perasaan minder secara status sebagai akademisi (scholar) maupun secara linguistik sebagai non-penutur bahasa Inggris (second users).

Soal penguasaan bahasa Inggris ini memang jadi salah satu kunci ketika ingin bersaing di level regional maupun global. Kondisi ini yang membuat hampir mayoritas akademisi riset sosial Indonesia rendah diri ketika harus diadu dengan akademisi asing dengan tema dan topik sama.

Namun yang terpenting di balik dari Inferiority complex ini adalah pola pikir akademisi sosial kita yang cenderung menerima (take for granted) dengan apa yang telah ditulis dan dipublikasi oleh akademisi asing soal Indonesia tanpa harus “melawan balik”.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan, sampai detik ini, ilmuwan sosial di Indonesia belum bisa lepas sepenuhnya dari mengutip trikotomi klasik Santri-Abangan-Priyayi dari Clifford Geertz maupun Komunitas-komunitas Terbayang (imagined communities) dari Benedict Anderson. 

Munculnya beragam akademisi asing mulai dari era Geertz maupun Kahin pada periode awal republik ini berdiri hingga Aspinall pada konteks kekinian sebagai akademisi otoritatif dalam dunia riset sosial Indonesia rasanya perlu jadi kritik untuk kita bersama.

Belum dengan produktivitas jurnal dan buku yang timpang sehingga membuat mayoritas ilmuwan sosial Indonesia mengalami inferiority complex lagi ketika dibandingkan dengan akademisi asing.

Meski begitu inferiority complex ini sebenarnya bisa dilacak munculnya dari mana. Simon Philpott dalam Rethinking Indonesia pernah menjelaskan mengenai posisi “Indonesia” terkait hal tersebut.

Ya harus diakui, negara kita ini lebih banyak dibesarkan dari tradisi keilmuan usai Perang Dunia II maupun Perang Dingin. Sialnya, kondisi tersebut didorong juga oleh tiga agenda setting utama dari negara-negara maju: donor, developmentalisme, dan demokrasi.

Donor dan developmentalisme ini suka tidak suka jadi kepentingan politik negara maju dalam mempromosikan kepentingan nasionalnya ke negara berkembang seperti Indonesia. Sedangkan demokrasi jadi wadah dasar agar donor dan developmentalisme bisa tetap terlaksana di negara yang dimaksud.

Nah, donor dan developmentalisme itu lalu dikerjakan melalui berbagai macam hal misalnya; 1) beasiswa; 2) pelatihan dan konsultasi teknis; 3) proyek riset kolaborasi; dan 4) publikasi ilmiah.

Iklan

Melalui nomor 1 sampai 3 itulah, proses produksi pengetahuan atas suatu negara dilakukan di mana standar dan perspektif negara maju dicangkokkan ke negara seperti Indonesia.

Sedangkan nomor 4 itu adalah bentuk finalisasi produksi pengetahuan yang gunanya adalah memberi informasi pada khalayak luas terhadap kondisi negara yang bersangkutan.

Adapun demokrasi sendiri menjadi alat kontrol di mana kondisi politik dan pemerintahan suatu negara dilihat dan dikonstruksi: kira-kira negara itu sudah sesuai dengan “standar dunia” atau belum.

Dengan kata lain, produksi pengetahuan melalui jurnal dan buku dibuat sebagai bagian dari dominasi soft power suatu negara terhadap negara lain.

Oleh sebab itu, publikasi jurnal ilmiah yang dikembangkan dalam studi wilayah (area studies) sebenarnya merupakan upaya negara maju untuk melakukan observasi menyeluruh terhadap negara berkembang (seperti Indonesia) untuk kepentingan strategis jangka panjang mereka.  

Ambil contoh random saja dari berbagai kampus negara maju. Misalnya kampus di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, hingga Australia, mereka selalu punya pusat studi soal kajian negara berkembang, khususnya Asia Tenggara dan Indonesia.

Bahkan Australia melalui ANU punya database yang sangat lengkap soal kajian Indonesia dan rutinnya pergelaran konferensi Indonesia Update sebagai seminar tentang Indonesia setiap minggu kedua/ketiga September per tahunnya. Kajian itu pun akhirnya menghasilkan prosiding, jurnal, maupun buku yang membahas soal Indonesia dari berbagai macam aspek.

—000—

Harus diakui, kondisi yang saya jabarkan tadi sangat kontras dengan pola kerja akademisi di Indonesia. Pola pikir riset sosial kita masih didominasi dengan paradigma berorientasi ke dalam (inward looking) daripada berorientasi ke luar (outward looking).

Apalagi, peneliti-peneliti di Indonesia kerap kali lebih disibukkan dengan kerja-kerja administratif di kampus ketimbang kerja riset betulan seperti halnya peneliti dari negara maju.

Belum dengan syarat penulisan jurnal internasional bagi peneliti Indonesia yang juga perlu membuat semacam cover letter yang menceritakan alasan mengapa harus submit ke jurnal ini dan siapa yang merekomendasikan. Hal ini berakibat kita jadi punya geng-geng akademik tertentu.

Ditambah dengan adanya anggapan, kalau sebuah riset mengutip tulisan orang asing, maka tulisannya akan dianggap lebih berkelas daripada sesama periset dari dalam negeri. Perasaan minder ala mental inlander yang berujung lahirnya inferiority complex ini pada akhirnya mewujud dalam sikap menomorduakan hasil kajian kolega sendiri.

Misalnya saja, buku soal Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton akan lebih “dipercaya” ketimbang buku yang ditulis oleh Hairus Salim, Ahmad Bahar, atau mungkin jika (seandainya) Alissa Wahid mau menulis soal bapaknya sendiri.

Minimnya apresiasi terhadap sesama kolega di dalam negeri sendiri itulah yang kemudian membuat kultur peneliti kita cukup jarang untuk mau menciptakan temuan (findings) yang mampu diangkat di kancah perdebatan dunia akademik global.

Lah gimana? Sesama kolega saja minim yang mau mengapresiasi atau mengakui kok, ngapain juga harus bertaruh di ranah global?

Itu juga yang jadi sebab peneliti Indonesia lebih banyak yang mengetes teori (theory testing) daripada membuat teori (theory generating), bahkan sekalipun objek penelitian itu adalah soal Indonesia sendiri.

BACA JUGA Klaim Konyol Kalung Anti-Corona dari Peneliti Gatal Publikasi dan Media yang Tak Peduli atau ESAI lainnya.

Terakhir diperbarui pada 28 Oktober 2021 oleh

Tags: Alissa WahidBen AndersonGreg BartonGus Durinferiority complexriset
Wasisto Raharjo Jati

Wasisto Raharjo Jati

Peneliti di Pusat Riset Politik. Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN).

Artikel Terkait

Riset dan pengabdian masyarakat perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih belum optimal MOJOK.CO
Kampus

Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan

18 Desember 2025
Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU MOJOK.CO
Esai

Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU: Masih Relevankah Isu-isu Moderasi Beragama?

7 Agustus 2024
Gus Dur di Balik Operasi Jahat Petrus dan Teror Gerhana Matahari Total
Video

Gus Dur di Balik Operasi Jahat Petrus dan Teror Gerhana Matahari Total

1 Agustus 2024
Sowan Gus Yusuf: Tanpa Ada Kekuatan Politik, Maka Kebenaran Akan Menjadi Sia-Sia
Video

Sowan Gus Yusuf: Tanpa Ada Kekuatan Politik, Maka Kebenaran Akan Menjadi Sia-Sia

28 Maret 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO

Balada Berburu Si Elang Jawa, Predator Udara Terganas dan Terlangka

19 Desember 2025
Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur Mojok.co

Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur

17 Desember 2025
Drama sepasang pekerja kabupaten (menikah sesama karyawan Indomaret): jarang ketemu karena beda shift, tak sempat bikin momongan MOJOK.CO

Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang

17 Desember 2025
UAD: Kampus Terbaik untuk “Mahasiswa Buangan” Seperti Saya MOJOK.CO

UNY Mengajarkan Kebebasan yang Gagal Saya Terjemahkan, sementara UAD Menyeret Saya Kembali ke Akal Sehat Menuju Kelulusan

16 Desember 2025
Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.