[MOJOK.CO] “Banci emang ngga boleh salat? Nggak boleh jadi Imam? Kamu belajar ini di mana?”
Kalau boleh jujur, ilmu fikih adalah salah satu pelajaran yang membuat banyak teman-teman saya (dan saya tentu saja) jadi betah di pesantren. Dibandingkan dengan pelajaran Madrasah Diniyah seperti nahwu, shorof, balaghoh, atau ilmu faraidh, ilmu fikih adalah salah satu ilmu yang paling seru.
Ya wajar sih, dibandingkan ilmu lain, fikih adalah pelajaran yang memberi peluang untuk terjadinya perdebatan di dalam kelas. Dengan pemahaman yang cetek anak-anak, kita bisa merangkai sebuah analogi-analogi brutal untuk menjadikannya sebagai konsep hukum yang logis. IImu macam nahwu atau shorof mah jelas tidak bisa se-akrobatik itu keliarannya karena punya rumusnya ketat.
Saya akan kasih beberapa contoh analogi-analogi brutal itu lahir. Kebetulan saya dianugerahi guru yang gemar memberi pertanyaan “aneh” kepada murid-muridnya. Misalnya guru saya pernah bertanya; air dengan volume tepat dua qullah (sekitar 260-270 liter) tepat, lalu kemasukan kencing satu tetes, maka apakah air itu bisa digunakan untuk bersuci?
Sederhana sekali pertanyaanya dan—sekilas—jawabannya begitu mudah: “Ya enggak bisalaaah.” Beres.
Okelah, tapi jebul bukan itu poin utamanya, melainkan pada konsep jumlah air yang bisa untuk bersuci. Kita tahu batasnya adalah LEBIH dari dua qullah. Jadi kata TEPAT dua qullah adalah jurang yang sangat lebar untuk menilai sah atau tidaknya wudhu-nya seseorang. Hm, tipis-tipis gimana gitu ya?
Masih kurang brutal? Okeh, saya akan tunjukkan pertanyaan akrobatis lain dari guru saya. Begini pertanyaannya:
“Kalau misalnya ada perempuan segede Godzila, terus ada laki-laki masuk ke dalam lubang kemaluan si perempuan Godzila itu, kira-kira wajib mandi junub enggak dan kenapa?”
Nah, lho. Modyar koe.
Pertanyaan-pertanyaan ini cuma seumprit dari apa yang dinamakan “Bahtsul Masail” kecil-kecilan di dalam kelas pelajaran fikih. Dan harus diakui, ilmu fikih akan semakin menggairahkan untuk dipelajari jika berhubungan dengan apa yang ada di selangkangan. Jangankan kitab rujukan “berkembang biak manusia” seperti Qurrotul ‘Uyun: Kaifiyyatul Jima’, lha wong ngomongin soal jenis kelamin ketiga saja cukup mengasyikkan kok.
Ayolah, situ juga pasti tahu kalau dalam ilmu fikih ada istilah khusus untuk apa yang diterjemahkan sebagai banci dalam Bahasa Indonesia. Saya pikir, tidak perlu juga sekolah di pesantren untuk bisa paham apa itu arti khuntsa atau seseorang berkelamin ganda.
Paling tidak ada dua kategori untuk ini. Buat yang berkelamin ganda dan tidak bisa dideteksi jenis kelaminnya secara pasti, dinamai khuntsa musykil. Sedangkan yang masih bisa dideteksi—seiring perkembangan fisiologisnya—dinamai khuntsa ghairu musykil. (Meski khuntsa musykil ini pada perkembangannya bisa saja dikaji lagi untuk identifikasi, misalnya jalur kencingnya lewat mana).
Kalau mau bermain logika fikih, khutsa ghairu musykil pada prinsipnya sudah tidak lagi menjadi khuntsa. Lha piye? Wong perkembangan fisiologis fisiknya (misal tumbuh jangkun atau buah dada) jadi petunjuk sehingga menggugurkan posisi khuntsa-nya. Sehingga, kata banci yang sesuai dengan “tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan” lebih dekat ke khuntsa musykil.
Baru-baru ini, pembahasan tersebut jadi ramai setelah muncul tuduhan bahwa di buku Pendidikan Agama Islam (PAI) anak-anak yang beredar di sekolah-sekolah, pada fashal syarat sah menjadi imam salat, ada konspirasi dari pemerintah soal LGBT. Premis tuduhan ini sederhana, bahwa rezim ini sudah meloloskan “banci” sebagai bagian dari terminologi agama. Omaigat.
Di buku tersebut disebutkan mengenai siapa saja yang boleh jadi imam salat merunut jenis kelaminnya. Ada tiga kondisi: Pertama, laki-laki. Kedua, perempuan jika makmumnya perempuan. Ketiga, banci, jika makmumnya perempuan.
Mungkin situ bertanya; kenapa banci boleh ngimami perempuan sedangkan perempuan tidak boleh mengimami banci? Sebenarnya ini adalah bentuk kehati-hatian saja karena ada kemungkinan bahwa seorang banci (khuntsa musykil) adalah laki-laki.
Itulah yang jadi sebab kenapa banci tidak boleh mengimami banci, sebab ada juga kemungkinan bahwa banci itu perempuan juga. Kan jadi tidak sah salat jamaahnya, kalau jebul banci (yang lebih berat ke perempuan) ngimami banci (yang berat ke laki-laki).
Persoalan ini jadi pembahasan karena di buku tersebut memang tidak tertulis frasa “khuntsa musykil” tapi kata “banci”. Nah, entah tidak sepakat dengan penerjemahannya atau bagaimana, rasa-rasanya terlalu buru-buru kalau mengaitkan antara kata “banci” di dalam buku agama anak-anak dengan konspirasi seperti yang dituduhkan.
Ayolah, cukup dengan sedikit kemauan untuk mengetik kata “banci” di KBBI online, kita bisa sama-sama menelaahnya kok:
- Banci: tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan.
- Banci: laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan; wadam; waria.
Meski banci secara definisi konotatif bisa dimaksudkan juga sebagai pria yang berperilaku seperti perempuan, akan tetapi seharusnya bukan tuduhan terhadap kata “banci” yang lebih tepat, namun pada kata “waria”. Jadi, selama di dalam buku tersebut tidak ditulis “waria”, seharusnya tuduhan ini sudah gugur dengan sendirinya.
Kesimpulannya: tuduhan ini salah kata.
Lagipula jika tuduhan ini masih mau dilanjutkan, LGBT dengan khuntsa musykil itu jauh berbeda. Asal situ tahu, khuntsa musykil ini juga tidak bisa serta merta masuk pada akronim LGBT: Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender. Sebab, khuntsa musykil tidak sama dengan transgender, seseorang yang berganti identitas gendernya dari jenis kelamin yang muncul saat lahir.
Jika ada yang lebih dekat dari khuntsa musykil, maka bukan LGBT, tapi LGBT plus Q—ketambahan Queer, orang-orang yang masih dalam tanda tanya soal status jenis kelaminnya. Sependek pengetahuan saya, Queer inilah yang paling dekat mewakili khuntsa musykil.
Jadi mengaitkan buku pelajaran agama Islam yang memuat hukum fikih banci jadi imam salat dengan konspirasi pemerintah soal perlindungan terhadap kaum LGBT ibarat tuduhan semena-mena kepada micin atas segala macam perilaku malas mencari ilmu di negeri ini.
Pembahasan-pembahasan macam inilah yang kemudian membuat perdebatan soal fikih selalu menarik untuk dipelajari. Sebab ada banyak dimensi dan variabel yang bisa dijadikan pertimbangan. Hal-hal yang tanpa disadari sebenarnya melatih seseorang untuk tidak berpikiran sempit, karena hukum halal, sunah, haram, mubah, atau makruh bukanlah kerangkeng besi. Hukum tidak melekat bukan benda, tapi pada manusianya. Hal inilah yang jadi salah satu jawaban kenapa ilmu fikih terapan selalu berkembang dari masa ke masa karena mengikuti kemajuan manusia.
Dan seperti pertanyaan guru saya soal “perempuan Godzila” tadi, saya akui kadang-kadang muncul saja tuduhan yang menyerang pertanyaan analogi macam begini… “Oalah, dasar tapir, hukum agama kok buat main-main?”
Lho? Ini bukan main-main, pertanyaan akrobat ini jadi penting untuk mengasah kemampuan ilmu fikih seseorang. Jadi, barangkali buat situ yang pernah tahu pertanyaan serupa (kata guru saya) di pembahasan Syekh Nawawi Banten di kitabnya Kasyifatus Saja’ syarah Safinatun Najah pada fashal Hal-hal Yang Mewajibkan Mandi Besar (cetakan Darul Al-Islamiyah kalau tidak salah di halaman 42), situ bisa bantu dengan kasih jawaban di kolom komentar.
Ditunggu ya, Gan? Guru saya waktu itu enggak kasih jawaban soalnya.