MOJOK.CO – Sebagai seseorang yang juga bekerja di ruang lingkup HRD, saya pikir nggak perlu lah sampai sambat campur misuh ketika membalas email dari kandidat, Sob.
Beberapa waktu yang lewat, akun Twitter @hrdbacot sempat ramai mengenai pembahasan salah satu sender (pencari kerja) yang mengaku mendapat respon kurang menyenangkan dari HRD saat mengirim lamaran pekerjaan melalui surel, lengkap dengan tangkapan layarnya.
Ada yang pernah dapet feedback se”galak” ini ketika apply di suatu perusahaan?
tapi gak setega ini juga ke kandidat 🙁
Ada yang pernah dapet penolakan yang lebih galak dan tega selain ini? pic.twitter.com/RyY9mDX62v
— HRD Bacot (@hrdbacot) July 7, 2020
Balasan yang didapat si sender dari HRD seperti ini:
“Ini kamu ga baca seksama ya min requirement yg diminta? Memang ignorance atau iseng saja coba2?”
Barangkali ada yang belum tahu dan malas cek di google translete, ignorance itu bisa diartikan nggak peduli atau nggak tahu.
Itu makjleb banget, Sob.
Banyak banget yang kasih komentar. Intinya, tidak sepantas dan selayaknya HRD membalas email dari kandidat dengan tutur bahasa yang demikian.
Disusul dengan pernyataan dari para warganet, seperti:
“Emang balas emailnya nggak bisa biasa aja, ya?”
“Kalau emang males bales email, kan bisa pake balesan template aja, tinggal copy-paste.”
“Jadi HRD ketus banget, pasti lagi ada masalah.”
Dan seterusnya, dan seterusnya.
Dari sisi kandidat, jika memang ia ingin mencoba melamar pekerjaan—yang ternyata setelah dievaluasi tidak memenuhi kualifikasi—ya itu haknya, kan?
Sebagai seseorang yang juga bekerja di ruang lingkup HRD, saya pikir, HRD nggak perlu lah sampai sambat campur misuh ketika membalas email dari kandidat. Iya, saya tahu gimana rasanya ketika mendapat kiriman CV dari kandidat untuk suatu lowongan pekerjaan dan ternyata kurang atau tidak sesuai kualifikasi. Kadang mamgkel, seringnya biasa aja. Namanya juga mencoba (siapa tahu rezeki).
Di posisi tersebut, ada dua hal yang bisa saya sarankan kepada para HRD ketika mendapat kiriman surat lamaran atau CV yang kurang atau tidak memenuhi kualifikasi dari suatu lowongan pekerjaan.
Pertama, balas email dan beri edukasi/feedback bahwa belum bisa diproses karena kualifikasi tidak sesuai. Kalau perlu, buat templatenya, jadi nanti tinggal copy-paste pesannya aja jika dalam waktu mendatang mendapat hal yang serupa.
Kedua, abaikan aja. Di-skip gitu. Tidak sedikit kok kandidat yang akhirnya sadar, jika tidak dihubungi untuk mengikuti proses/diundang wawancara, tandanya belum cocok atau belum sesuai kualifikasi.
Begitu. Jadi, ya nggak perlu marah-marah di email juga.
Karena, saya pikir, menyortir dan memilah CV yang masuk dari para pelamar kerja ke email perusahaan memang sudah menjadi salah satu tanggung jawab HRD, sih. Jadi, seharusnya sudah biasa, kan?
Selain itu, setiap kali saya ikut seminar atau pelatihan HRD, khususnya di bidang seleksi karyawan, nggak ada istilahnya pencari kerja dilarang untuk melamar suatu pekerjaan. Yang selalu ditekankan, justru sudah menjadi tugasnya HRD dalam melakukan screening CV, memanggil kandidat yang sekiranya memenuhi kualifikasi.
Lah kok HRD di perusahaan-perusahaan kecil, Sob. Itu lho pelamar menteri-menteri di pemerintahan Jokowi. Dari yang betulan kompeten kayak Bu Sri Mulyani di Kementerian Keuangan sampai yang nggak jelas aja ada kok. Dari yang CV-nya keren mantap di bidangnya, sampai yang CV-nya cuma berisi prestasi di dalem partai juga ada. Semua tetep diseleksi juga, Sob.
Nggak pernah juga kan kamu denger Pak Jokowi marah ke calon menterinya, “Ini kamu ga baca seksama ya min requirement yg diminta? Memang ignorance atau iseng saja coba2?” Nggak pernah kan? Kalau marah sehabis kerja nggak bener sih ada, tapi kalau sebelum kerja masak iya mau dimarahin?
Artinya, semuwa tetep diseleksi dengan baik dan dipertimbangkan. Meski kalau urusannya udah selevel kementerian sih harus dipertimbangkan juga secara politik.
Lagian, sebagai HRD—mau di bidang apapun—nggak bisa juga ngelarang para pelamar kerja untuk tidak mengirim CV seandainya pun mereka tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan. Mustahil, Sob. Itu di luar kuasa kita sebagai HRD. Percaya, deh. Tanya Pak Edhy Prabowo kalau nggak percaya.
Di luar sana, akan selalu ada para pencari/pelamar kerja yang punya motivasi “coba-coba” di setiap surat lamaran kerja yang mereka kirim ke berbagai perusahaan atau iklan lowongan pekerjaan. Apalagi fresh graduate. Hadeeeh, nggak kehitung deh berapa yang niatnya coba-coba, iseng-iseng berhadiah, sekaligus memakai konsep nothing to lose. Dipanggil interview syukur, nggak juga nggak apa-apa.
Toh, namanya juga fresh graduate, Bapak/Ibu HRD yang terhormat. Sudah sewajarnya mereka coba-coba. Soalnya kebanyakan lowongan kerja persyaratannya minimal harus punya pengalaman 1 tahun bekerja.
Lha sekarang, gimana caranya mereka punya pengalaman, sedangkan posisi yang mereka inginkan atau impikan, rata-rata harus punya pengalaman 1 tahun di bidang yang sama. Gimana, hayo?
Tanpa disadari, hal ini seakan menjadi paradoks tersendiri dalam dunia kerja, khususnya bagi para lulusan baru.
Akhirnya, mau tidak mau mereka kerja di posisi apa aja dulu, yang penting fresh graduate bisa kirim lamaran dan kemungkinan diundang untuk keperluan interview lebih besar. Syukur-syukur kalau bisa langsung diterima kerja sampai punya pengalaman minimal 1 tahun. Dan pada akhirnya bisa bekerja di posisi yang diinginkan. Kan, lumayan.
Di sisi yang lain, sebagai sesama HRD, saya bisa memahami keresahan ketika dihadapkan dengan deadline dalam pemenuhan formasi karyawan, eh, surat lamaran beserta CV yang masuk ke email malah random banget, tak jarang tidak memenuhi ekspektasi. Mana harus dicek satu per satu lagi. Haduuuh. Pusing, Bos!
Sebab, dilihat dari sudut pandang mana pun, tetap saja misuh-misuh di email itu agak nganu gimana gitu. Malu, lho, mau bagaimana pun, HRD kan tetap menjadi salah satu representasi dari perusahaan. Masa sih sampai harus mara-mara ke kandidat di email balasan. Hiks. :’(
HRD yang seperti ini apa nggak berpikir sampai ke arah sana, ya? Ketika sudah menjadi representasi, nantinya, segala sesuatu yang melekat dengan dirinya, akan dikaitkan dengan perusahaan. Apa pun gerak-gerik yang dilakukan, akan selalu menjadi sorotan pihak internal maupun eksternal.
Kalaupun emang niatnya bercanda atau nge-trol kandidat, nampaknya terlalu berlebihan aja gitu. Mengingat saat ini segala percakapan elektronik bisa di-screenshot dan disebarluaskan di internet. Apa tidak ngeri jika dihujat nantinya? Ya, kecuali memang kebelet viral, sih.
Sebagai sesama HRD, saran saya sih, jadilah HRD yang menyenangkan, Sob. Nggak perlu sampai marah-marah begitu, ah. Kesannya cari perhatian banget gitu. Di saat yang lain coba cari duit, ini malah cari perhatian.
Dan untuk para kandidat, saran dari saya sebagai HRD semisal kalian dapat balasan email yang kurang menyenangkan dari HRD, tetap beri respons yang sopan dan bijak. Jangan terbawa emosi. Buktikan bahwa kalian memang layak untuk mendapat pekerjaan di suatu tempat (dengan HRD) yang lebih baik.
Karena seperti pepatah dari Patrick Star, “Hidup ini memang tidak adil, jadi biasakanlah.”
BACA JUGA 5 Kejadian Absurd saat Proses Wawancara Kerja yang Pernah Saya Alami atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.