MOJOK.CO – UGM, kampus besar berkalang kontroversi. Salah satunya plagiarisme dosen, yang salah satu pelakunya menjadi Menteri Pendidikan. Ironi.
Kampus di Jawa Tengah (Bagian) Selatan, ini frasa pemberian sejarawan linuwih, Peter Carey, untuk menyebut Yogyakarta, saat berkeluh kesah di sebuah kolom komentar media sosial.
Ini sambat bukan sembarang sambat. Ini sambatan seorang profesor sejarah yang karyanya dibegal oleh profesor sejarah yang lain. Saking “sopan”-nya, daerah kampus yang membegal karyanya yang masyhur, Kuasa Ramalan, disebutnya seperti nama-nama kabupaten di Nusa Tenggara sana, Jawa Tengah Selatan.
Plagiarisme dosen UGM
Mestinya, ini tak perlu dibesar-besarkan. Apalagi, muncul utas-utas penjelasan dari berbagai pihak. Mereka mengatakan bahwa ini soal sudah “selesai”, ini perihal sudah “klir”, kabutnya sudah “terang-benderang”. Bahwa, cetakan 1 dan 2 begini, cetakan 3 begini.
Masalah ini membumbung lagi berkat kengototan nama akun di platform X, naufilist. Dia keterangan nama “Naufil Istikhari” serta penjelas profil “kuli kata cantrik pustaka”. Naufilist ini tidak menerima penjelasan yang sudah-sudah. Menurutnya, plagiarisme itu terjadi sejak awal buku diluncurkan. Tak ada naskah FGD, tak ada naskah drafting, dan bahkan ini semua ulah para pembajak.
Yang menarik, naufilist memakai metode purba untuk memvalidasi keyakinannya, yakni metode kliping. Di kalender tatkala naskah yang disambati Prof. Carey itu disebut “naskah FGD” yang sifatnya tertutup, ada kliping yang meliput sebuah acara peluncuran buku secara terbuka untuk publik.
Dan, inilah yang terpampang di akun IG koran besar yang berdomisili di “ibu kota” lama bernama Jakarta (Barat):
Sesuatu yang masih samar-samar, seturut gambar ini, menjadi nyata: “dosen sejarah”, “sri margana”, dan “plagiat”. Sudah begitu, di latar tipografi dengan huruf kapital yang tegas itu adalah bangunan “Grha Sabha Pramana” UGM yang oleh Prof Carey disebut “Jawa Tengah Selatan”.
Stok cerita plagiarisme yang tidak kalah menghebohkan
Karena masih diinvestigasi, esai ini berhenti sampai di sini saja. Tetapi, karena ada frasa “sejarah” di dalamnya, apalagi yang sambat-begal ini 2 profesor sejarah, izinkan esai ini jalan terus seperti salah satu dewa romawi berjanggut, Dewa Janus. Dia yang berjalan memunggungi (masa) depan.
Secara sejarah, jika kasus ini betul adanya, UGM masih punya stok cerita yang lebih besar dan menghebohkan, yang terjadi di masa silam. Lantaran itulah saya tidak ikut-ikutan gumun, tidak kaget, tidak ujug-ujug. Kampus ini, seperti yang lain-lain, baik kampus ruko maupun semi, memiliki grand narrative soal praktik lancung ini.
Meniru cara naufilist, saya juga memakai metode yang sama untuk berbagi “cerita klasik” perihal sumbangan UGM untuk kriminalitas akademik. Metode kliping.
Baca halaman selanjutnya: Kasus Drs. Syaiful. S. Azhar, M.S, alumni Fisipol UGM…