MOJOK.CO – Hellboy datang dengan dilema karena dianggap membawa kehancuran, tapi bertekad untuk menunda kiamat. Kita nonton dengan dilema karena LSF menyensor adegan di sana-sini!
Saya diundang nonton premiere film Hellboy di Senayan City XXI tiga hari yang lalu, tanggal 9 April, 2019. Acara dimulai pada pukul 18:00 dan film dimulai pada pukul 19:00. Kedengerannya asyik banget, kan? Bahan pamer banget nggak, sih? Udahlah diundang ikut premiere, nonton gratis, bareng orang-orang penting pula. Harusnya, saya senang, dong???
Perhatikan penekanan saya pada kata (((harusnya))).
Nyatanya, pengalaman menonton saya malam itu jauuuuuh sekali dari “menyenangkan”. Loh, loh, kok, bisa gitu? Sini, sini, mari saya jelaskan.
Dari berbagai media, baik entertainment maupun film, kita tentu tahu bahwa kabarnya film Hellboy memiliki runtime sepanjang 120 menit, alias tepat selama 2 jam. Namun, dari keterangan LSF RI (singkatan dari Lembaga Senantiasa Fucking-up Lembaga Sensor Film Republik Indonesia) disebutkan bahwa film ini justru berdurasi 3.318 meter/121 menit. Ajaib, kan???
Mungkin, sebagian dari kalian ada yang mulai berpikir, “Wah, sedap banget, nih, Indonesia. Udahlah kebagian nonton duluan, dapet ekstra semenit pula! Alig, alig, alig!”
Tapi—hey—tunggu dulu. Kini, izinkan saya menghentikan Kisanak di sana dengan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan suatu kebohongan. Anomali, lebih tepatnya.
Seperti yang saya utarakan tadi, film dimulai pukul 19:00 dan saya keluar dari bioskop pukul 21:00. Artinya, pas dong? Tidak. Itu belum cerita sepenuhnya.
Karena satu dan lain hal, saya terpaksa memasuki teater pukul 19:10. Saya sudah sangat cemas tertinggal banyak karena Hellboy merupakan film yang sudah saya tunggu-tunggu semenjak diumumkan. Namun, ketika saya memasuki teater, ternyata masih ada trailer film After yang dimainkan 2 kali. Saat itu, belum ada kecurigaan sama sekali walaupun kira-kira sudah 14 menit berlalu dari jadwal seharusnya.
Film dimulai dan saya sudah tidak sabar. Sebagai penggemar Hellboy yang sudah sedari remaja mengikuti perkembangan graphic novel serta film-filmnya yang dulu digarap oleh Guillermo Del Toro, reboot oleh Neil Marshall ini merupakan film yang sangat saya nantikan. Antusiasme saya sangat tinggi saat itu. Namun tampaknya, mereka yang sebelumnya menonton film ini di meja editing tidak memiliki antusiasme yang sama dengan yang saya miliki.
Pada sepuluh menit pertama, sudah ada adegan krusial yang dipotong. Dan, potongannya pun bukan potongan yang bagus ataupun subtle. Potongan adegan tersebut terlihat sangat blatant dan sontak membuat audiens lain tercengang. Begitu banyak yang mengeluarkan suara macam “Hah” dan “Loh?” di studio malam itu.
Saya turut berpartisipasi pada kebingungan itu malam tersebut. Saya yakin, banyak di antara kami yang masih berharap kalau hal tersebut hanya akan terjadi sekali, tapi nyatanya, pemotongan tanpa ampun berlangsung hingga akhir film.
Saya merasa beruntung diundang untuk mengikuti acara premiere ini. Tapi… Duh gimana, ya? Saya memang tidak mengeluarkan uang sepeser pun, tapi kok saya tetap merasa dirampok, ya? Memang bukanlah harta yang hilang, melainkan emotional investment saya yang direnggut begitu saja dari diri saya sebagai penonton. Terlebih, karena ini menyangkut karakter yang sangat saya sukai.
Bagitu banyak effort yang diberikan oleh mereka yang bekerja di film ini untuk membuat film ini menjadi kenyataan. Posisikan diri Anda sebagai seorang sineas: bagaimana perasaan anda mengetahui bahwa karya yang Anda buat dirusak sedemikian rupa, kemudian ditampilkan untuk publik? Bayangkan karya yang Anda buat tidak tidak bisa dinikmati oleh publik karena mereka tidak memiliki hak untuk memilih apa yang bisa mereka lihat. It’s a labor for all and a labor of love for some, and Indonesian censorship straight up just butchered the whole thing!
Saya masih mengenyam pendidikan untuk memasuki industri kreatif. Semakin ke sini, semakin saya sadari bahwa banyak kejanggalan dalam industri ini, terutama di Indonesia. Entah sudah berapa kali banyak pembicara yang diundang untuk berbicara di kampus saya, mulai dari orang industri hingga orang pemerintah, yang selalu menuturkan bahwa Indonesia kini mulai mendorong industri kreatif untuk maju dari berbagai sisi. Namun perkembangannya tidak sepesat yang mereka harapkan. Selalu mengimplikasikan bahwa Indonesia kekurangan insan kreatif yang memiliki inisiatif mengambil langkah ke depan.
Namun bagaimana bisa maju apa bila belenggu sebesar ini masih dibiarkan ada begitu saja?
Tiga tahun yang lalu, Nia Dinata sempat mengutarakan bahwa selama 16 tahun dirinya bergelut di dunia perfilman, Lembaga Sensor Film sekarang ini lebih mengerikan. Ketika berbicara di forum yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman, dia mengakui bahwa LSF merupakan lembaga yang sangat konservatif dan mengekang. Mereka sering kali melakukan pemotongan tanpa mempedulikan value yang ingin disampaikan.
Perlu diingat, LSF tidak melakukan pemotongan sendiri. Mereka akan menonton sebuah film sampai habis, memberi catatan time code mana yang mereka anggap problematik, lalu kembalikan lagi untuk dipotong oleh pihak film sendiri. Mereka juga menyatakan apabila pihak film tidak terima, LSF selalu menerima masukan dan terbuka untuk dialog. Namun, banyak sineas yang sudah pernah merasakan berdialog dengan pihak LSF dan semua berujung alot, dan akhirnya terpaksa mengikuti kemauan lembaga tersebut.
Indonesia menginginkan insan kreatif untuk bangkit dan berkarya supaya kita bisa thrive dalam industri ini, tapi inilah bukti nyata mengapa hal tersebut minim persentase terjadinya. Ini yang mereka lakukan terhadap produk kreatif luar. Ini vandalisme yang jelas mereka lakukan. Tidak ada apresiasi untuk sineas.
Yang masih mengganggu benak saya adalah, apakah sistem rating yang diciptakan oleh LSF tidak ada gunanya, bahkan untuk mereka sendiri? Karena bahkan dengan film berlabel merah bertuliskan label “dewasa” pun, mereka masih merasa perlu untuk melakukan pemotongan yang menurut saya tidak sepatutnya dilakukan. Untuk apa coba.,Bambang??? Apakah atas dasar ketakutan bahwa orang akan meniru? Apakah mereka takut bahwa akan ada anak kecil yang menyelundup nonton masuk?
Jika alasannya ada di antara kedua hal tersebut, sungguh, masalahnya bukan terletak pada filmnya, namun terhadap kurangnya sosialisasi sistem mereka dan kurangnya kepercayaan mereka terhadap mentalitas masyarakat. Jangan pernah salahkan karya.
Malam itu di busway menuju Blok M saya hanya bisa termenung sepanjang jalan, memikirkan dilema yang dihadapi Hellboy. Anung Un Rama. Itulah nama aslinya. Dia dianggap dapat membawa kehancuran ke muka bumi ini. Namun dengan tekadnya, dia bisa merubah keadaan: menunda kiamat.
Namun, bagaimana dengan kiamat yang mengancam kreativitas industri perfilman di Indonesia? Siapa yang bisa menundanya?