MOJOK.CO – Hingga hari ini cuti haid masih jadi pro-kontra di Indonesia. Ada yang menganggapnya perlu, masih banyak yang mencibirnya sebagai sikap manja perempuan di tempat kerja.
Dari Tirto baru saya tahu, ASN tak diberi hak cuti haid secara khusus. Dalam UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP 11/2017 tidak ada hal itu disebutkan. Akibatnya, menurut PNS perempuan yang menjadi narasumber Tirto, pengajuan cuti haid yang mereka layangkan ke atasan ditolak. Akibatnya lagi, mereka harus ambil cuti sakit dengan surat dokter, yang surat itu tidak akan mencantumkan alasan haid sebagai sakitnya. Atau kadang, mereka memilih sekalian ambil cuti tahunan yang aslinya sangat berharga dan kerap dihemat-hemat kaum pekerja.
Soal cuti haid, jadi buruh jadi terasa lebih enak daripada jadi ASN atau PNS (btw dua istilah ini artinya beda lho, penjelasannya ada di sini). UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 81 dan Pasal 93 ayat 2(b) membolehkan buruh mengambil cuti haid, maksimal dua hari, jika memang merasakan sakit ketika haid sehingga tak bisa maksimal bekerja.
Walaupun di praktiknya masih aja ada perusahaan yang licik nggak mau ngasih cuti haid, atasan yang mengintimidasi buruh yang mengambil cuti haid, atau atasan yang secara berputar membuat buruh perempuan sungkan mengambil cuti haidnya, setidaknya di mata hukum buruh jauh lebih beruntung dibanding amtenar.
Di ruang pubik, eh, publik, kenyataannya orang memang masih nggak satu suara tentang perlu tidaknya cuti haid. Cuti haid belum punya posisi sama dengan cuti melahirkan, cuti sakit, dan cuti tahunan. Agustus kemarin bahkan beredar hoaks, hak cuti haid di UU Ketenagakerjaan akan dihapuskan dengan alasan: nyeri haid bisa diatasi dengan obat pereda nyeri. Yeee kocak. Sekalian aja cuti melahirkan dihapuskan dengan alasan, rasa sakit melahirkan kalah oleh rasa bahagia punya anak.
Tapi penolakan semacam itu mestinya tidak bikin kita terkejut. Di banyak negara, cuti haid masih jadi perdebatan. Kalau butuh sedikit suntikan perasaan superior, dari 195 negara di dunia ini, di milenium ketiga, di zaman yang digadang-gadang sebagai era baru bernama 4.0, hanya ada 5 negara dengan hukum nasional yang memberi hak cuti haid kepada warga negara pekerjanya. Negara-negara itu adalah:
Jepang, sejak 1947
Indonesia, sejak 1948
Korea Selatan, sejak 1951
Taiwan, sejak 2002
Zambia, sejak 2015
Di luar lima negara itu, ada sejumlah negara yang memberi cuti haid tapi dalam payung “cuti sakit”. Ada negara bagian dalam satu negara yang memberi hak cuti haid. Pun ada perusahaan yang secara mandiri membuat kebijakan cuti haid secara internal.
Yang mengejutkan buat saya yang gampang bilang “Hah?” ini, kelima negara itu ada di Asia dan Afrika. Makin kaget karena Indonesia menjadi negara pionir yang sudah memberi cuti haid sejak 68 tahun yang lalu. Ini pasti ulah PKI!
Hak cuti haid untuk pekerja di Indonesia diatur dalam UU 12/1948 dan ditegaskan kembali dalam UU 1/1951. Cuti haid ini bisa diperoleh tanpa perlu memberi surat keterangan dokter. Kalau saja UU ini masih berlaku, tiap Hari Buruh perdebatan apakah PNS buruh atau bukan nggak akan berputar terus kayak roda Hamtaro. Sebab, Pasal 1 UU tersebut sudah langsung mendefinisikan semua orang yang diupah bekerja di semua jenis tempat kerja, mau itu swasta atau pemerintah, adalah buruh. Dan kalau UU ini masih dipakai, PNS akan bisa menikmati Pasal 13 yang memperbolehkan buruh wanita tidak bekerja di hari pertama dan kedua menstruasi. Siapa sih yang ganti UU 1951 jadi UU 2003?! Ngeselin!
(OOT bentar, saya ketemu ada orang nanya di Hukum Online, apakah guru itu buruh atau bukan. Jawabannya, guru swasta = buruh, guru ASN = bukan buruh. Jadi makin kesel nggak UU Ketenagakerjaan jadul dihilangkan?)
Historia pernah merilis, Biro Wanita Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) adalah salah satu organ yang aktif menuntut hak cuti haid dalam UU. SOBSI adalah organisasi buruh terbesar di Asia Tenggara pada masa itu yang turut berperan melahirkan hak THR dalam sejarah buruh di Indonesia. Innalilahi wainnailaihi rajiun, organisasi progresif ini dibubarkan pada 1966.
Saya tak bisa menemukan, apa landasan argumen hak cuti haid sudah ada di Indoensia sejak zaman kuda gigit besi. Tapi hari ini, ketika pembicaraan reproduksi di ruang publik semakin dibuka tabunya, sudah banyak terbuka cerita betapa menyiksanya rasa sakit yang dialami perempuan ketika haid datang. Rasa sakit amat sangat yang dinamai dismenore itu, menurut survei yang dikutip Tirto pada 2017, dialami oleh 52% perempuan di Indonesia.
Saya perempuan dan sekarang tidak mengalami dismenore, tapi dulu pernah, pas masih SMA sampai kuliah. Sakitnya masyaallah. Ada kalanya di kelas pengin guling-guling di lantai sambil teriak-teriak. Ini derita fisik yang cowok dengan pengalaman sunat sekali seumur hidup jelas can’t relate. Jadi saya bisa maklum ada perempuan yang ambil atau tidak mengambil cuti haidnya.
Haid buat sebagian orang di sebagian waktu memang menyakitkan, walau dia bukan penyakit. Dan saya bisa menangkap logika kenapa orang yang mengambil cuti haidnya tetap harus diupah penuh. Bahkan di Korea Selatan, buruh wanita yang tidak mengambil cuti haidnya akan mendapat bonus atau semacam “uang lembur”.
Haid adalah tanda seorang perempuan bisa aktif bereproduksi. Jika Anda pernah menonton serial Handmaid’s Tale, Anda akan tahu, kemampuan melahirkan sangat krusial untuk melanjutkan peradaban. Dalam konteks ketenagakerjaan, “peradaban” itu sama artinya dengan “menjaga kelangsungan persediaan tenaga kerja”. Tapi kita yang punya kondisi kenaikan jumlah penduduk luar biasa setiap tahunnya tentu belum bisa membayangkan itu. Biar bisa membayangkan, mari baca berita BBC berjudul “Negara-negara yang membayar warganya agar mau punya anak” ini.
Walau perempuan subur nggak otomatis dia boleh dipaksa punya anak, tapi kesuburan seorang perempuan (yang ditandai dengan haidnya) adalah modal regenerasi. Dan cuti haid dengan upah penuh adalah bentuk dukungan kaum pria kepada perempuan yang kedapatan hak dan/atau kewajiban melahirkan.
Yang keren, hasil dari googling ke sana kemarin didapati info, sejak 1912 negara bagian Kerala di India memberi libur mens untuk siswi sekolah. Mudah mengaitkan Kerala adalah negara bagian India yang komunis dengan aturan ini, tapi nyatanya aturan itu sudah lahir sebelum Komunisme merajalela di sana.
Saya jadi teringat satu momen ketika ujian praktik kelulusan SMA 11 tahun lalu. Ujian olahraga yang salah satunya tes kemampuan renang diadakan bertepatan dengan hari mens pertama saya. Guru olahraga saya, seorang bapak tua, tidak mengizinkan saya ujian susulan meski saya sudah mengadu perut saya sakit. Juga tak terbayang, ketika darah tengah banyak-banyaknya mengucur, saya harus nyebur di kolam renang umum.
Tapi akhirnya saya tetap memaksakan diri nyebur. Dengan badan remuk oleh derita siklus bulanan dan olahraga fisik, saya lulus SMA. Hari ini, kenangan menyedihkan itu bikin saya dapat ide. Di Hari Perempuan Sedunia tahun depan, inilah yang saya akan suarakan: Hak cuti mens untuk siswi sekolah. Tapi dari sekarang saya mau cc Nadiem Makarim dulu.
BACA JUGA Sebab Perempuan Butuh Kecerdasan, Bukan Label, Titik! atau esai PRIMA SULISTYA lainnya.