MOJOK.CO – Habib Luthfi menangis ketika membicarakan Waliyullah dan Rasulullah. Beliau juga mengetahui apa yang dibicarakan orang di belakangnya.
Siapa yang tidak kenal Habib Luthfi? Ulama kharismatik dengan nama dan julukan lengkap Syekh Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, tidak hanya dikenal di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Tahun 2019, The Royal Islamic Studies Centre, Yordania, menobatkannya sebagai salah seorang dari 50 tokoh Islam paling berpengaruh di dunia. Kemudian, pada tahun yang sama, ulama sufi asal Pekalongan, Jawa Tengah itu dipercaya sebagai Ketua Forum Sufi Internasional. Jabatan yang diembannya hingga sekarang.
Di Indonesia, Habib Luthfi menyandang sejumlah jabatan, di antaranya Rais Aam Jam’iyyah Ahlu Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2019-2025, pendiri dan pembina Majelis Ta’lim Kanzus Shalawat, pernah menjadi anggota Dewan Mustasyar PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah (2006-2011).
Sebagai intelektual, Habib Luthfi juga menulis sejumlah buku. Di antaranya, Jihad Ekonomi dalam Bingkai NKRI: Belajar Nasionalisme dan Ekonomi kepada Maulana Al-Habib Luthfi bin Yahya (Penerbit Ladang Kata, 2019); Sejarah Maulid Nabi: Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan (Menara Publishing, 2015); Umat Bertanya Habib Luthfi Menjawab (Majelis Khoir, 2015); Jalan Vertikal, Sebuah Tinjauan Integratif Ahlussunah Wal Jama’ah (Habib Luţfi Foundation, 2009); Nasihat Spiritual, Mengenal Thariqat ala Habib Muhammad Luţfi bin Yahya (Menara Publisher, 2007); Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta (Penerbit Menara Publisher, 2012).
Kepiawaiannya di bidang keilmuan ini pula yang membuat beliau dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) untuk bidang Komunikasi Dakwah dan Sejarah Kebangsaan oleh Universitas Negeri Semarang, pada 2020.
Jabatan-jabatan yang dipercayakan merupakan bukti bahwa Habib Luthfi adalah tokoh penting yang sangat berpengaruh, baik di kancah nasional maupun internasional. Namun, tanpa jabatan-jabatan itu, beliau yang kini berusia 75 tahun sudah sejak lama dikenal sebagai ulama sufi yang sangat disegani oleh berbagai kalangan, baik kalangan umara (penguasa) serta ulama maupun rakyat jelata.
Di kalangan rakyat jelata, Habib Luthfi yang akrab dengan panggilan kesayangan: Abah Luthfi, dianggap sebagai orang tua yang mampu memberikan keteduhan serta bimbingan rohani tanpa menggurui. Ceramah-ceramahnya yang penuh keteduhan pada berbagai majelis yang sering dihadiri ribuan umat, senantiasa diwarnai anjuran untuk mengembangkan sikap toleransi dan meningkatkan kecintaan kepada tanah air. Beliau tidak pernah menghujat atau menyalahkan pihak mana pun, bahkan selalu menganjurkan untuk meningkatkan tali silaturahmi dan persatuan serta menghargai berbagai perbedaan.
Pengaruhnya yang sangat kuat di kalangan umat, membuat beliau sering dikunjungi (disowani) oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah. Mulai dari para calon presiden hingga para calon kepala daerah. Mereka merasa perlu untuk sowan kepada beliau, memohon restunya. Namun, pintu rumahnya juga selalu terbuka untuk setiap orang yang membutuhkannya tanpa membeda-bedakan latar belakang dan status sosial para tamunya, termasuk saya, yang bukan siapa-siapa ini. Tampaknya beliau meneladani sikap Rasulullah SAW, yang menganggap setiap tamu sebagai dhuyufullah (tamu Allah).
Perjalanan mengenal Habib Luthfi
Saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung karena pernah bergaul cukup dekat dengan Habib Luthfi yang saya panggil dengan sebutan Pak Habib, sekitar 25 tahun yang silam. Saya sempat menghabiskan malam-malam panjang bersama beliau, mulai ba’da Isya hingga menjelang waktu Subuh, di rumahnya di Pekalongan, sambil dikelilingi puluhan pengunjung yang menunggu giliran untuk berkonsultasi.
Para pengunjung itu berdatangan dari berbagai daerah. Mereka datang untuk mengeluhkan berbagai urusan kehidupan, dan Pak Habib mendengarkan keluhan-keluhan itu dengan penuh kesabaran, diakhiri dengan nasihat-nasihat penyemangat kepada siapa saja yang berkonsultasi dengan beliau, kemudian mendoakannya.
Selama berbincang-bincang dengan beliau, dalam beberapa kali kesempatan, Habib Luthfi tidak pernah memberikan nasihat yang bersifat menggurui. Beliau lebih banyak bercerita tentang kehidupan Rasulullah SAW dan kisah-kisah kesalehan para Waliyullah. Tetapi, dari cerita-cerita yang beliau sampaikan, saya sadar bahwa Pak Habib sebenarnya sedang menasihati saya.
Saya mulai mengenal Habib Luthfi atas petunjuk K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus). Suatu hari, sekali lagi 25 tahun yang lalu, saya sowan ke rumah Gus Mus di Rembang, untuk meminta kesediaan beliau menjadi presenter pada film dokumenter tentang dakwah Wali Songo. Gus Mus bersedia, lalu menyarankan saya untuk menemui Habib Luthfi di Pekalongan, yang menurut Gus Mus, paling banyak tahu tentang riwayat kehidupan para Waliyullah, termasuk Wali Songo. Gus Mus juga mengatakan bahwa Habib Luthfi adalah guru para ulama.
Atas saran Gus Mus, bersama beberapa teman yang terlibat dalam rencana produksi film dokumenter, saya mendatangi rumah Habib Luthfi pada suatu petang, tanpa janji terlebih dulu. Semula saya membayangkan akan bertemu dengan seorang habib bergamis dan bersorban lengkap serta berjanggut panjang. Namun begitu kami tiba di rumahnya, pemandangan pertama yang kami saksikan adalah seorang laki-laki setengah baya yang tampak masih gagah. Berkaos oblong putih dan celana komprang yang juga berwarna putih.
Laki-laki itu tampak asyik memainkan alat musik organ dengan alunan instrumental berirama padang pasir. Ketika melihat kami, laki-laki itu memberikan isyarat dengan gerakan wajahnya yang diwarnai senyuman agar kami mengambil tempat duduk, seraya terus memainkan organnya.
Cukup lama kami menyaksikan adegan itu. Cukup lama kami menikmati alunan musik berirama Timur Tengah yang dimainkannya, sambil bertanya-tanya dalam hati, inikah Habib Luthfi? Atau, ada orang lain selain laki-laki tersebut yang disebut Habib Luthfi? Maklum, saya belum pernah berjumpa dengan beliau dan belum mendapat informasi bahwa Pak Habib juga seorang musisi.
Setelah permainan organ selesai, laki-laki gagah itu menghampiri kami dengan senyumnya yang ramah. Pertanyaan pertama yang saya lontarkan adalah, “Bapak… Habib Luthfi?” Laki-laki itu mengiyakan. Saya pun menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami, yang pada intinya meminta kesediaan beliau untuk menjadi narasumber ahli dalam film dokumenter tentang Wali Songo yang akan kami buat.
Tiba-tiba beliau menangis sesenggukan selama beberapa saat.
“Saya tidak pernah bisa menahan rasa haru, setiap kali teringat pada Wali Songo,” ujarnya, setelah tangisnya mereda.
“Beliau-beliau itu adalah para Waliyullah yang sangat ikhlas mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk menyebarkan ajaran Islam di tempat yang sangat jauh dari negeri asal mereka, dengan penuh kecintaan kepada masyarakat setempat,” lanjutnya.
“Beliau-beliau bahkan melakukan akulturasi dengan budaya lokal, menjadikan kesenian dan kebudayaan lokal sebagai media dakwah. Bergaul sebagai rakyat biasa dengan masyarakat Tanah Jawa mulai dari para raja hingga rakyat jelata. Sehingga ajaran Islam pun dapat diterima dengan baik di negeri yang kita tinggali ini. Hasilnya dapat kita rasakan hingga sekarang. Itulah yang harus kita teladani dari para beliau, berdakwah dengan penuh toleransi, menghargai dan menghormati setiap perbedaan seperti yang dicontohkan Baginda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.”
Singkat cerita, Habib Luthfi menyatakan kesediaannya untuk membantu kami sebagai sebagai narasumber ahli. Beliau lalu mengundang kami untuk datang lagi pada malam hari selepas salat Isya, guna membicarakan rencana shooting, yang kemungkinan akan dilangsungkan di kawasan Masjid Demak, pusat kegiatan dakwah Wali Songo berabad-abad lalu.
“Begadang” bersama Habib Luthfi
Malam harinya, ketika kami datang kembali ke rumah Habib Luthfi, halaman rumah beliau sudah dipenuhi puluhan pengunjung yang berdatangan dari berbagai daerah. Saya dan teman-teman diterima di ruang tamu, tempat Pak Habib memberikan konsultasi kepada para pengunjung yang dipanggil langsung oleh beliau secara bergantian. Anehnya, tamu yang sudah mendapat giliran berdialog dengan Pak Habib, umumnya tidak langsung pulang, namun tetap duduk di teras ataupun halaman rumah, untuk mendengarkan petuah-petuah beliau kepada tamu-tamu lainnya.
Sebab, meskipun petuah-petuah tersebut disampaikan secara personal kepada setiap tamu, isinya tetap berguna bagi tamu lain yang mendengarkannya. Saya sendiri merasakan hal itu. Ketika Habib Luthfi memberikan nasihat kepada salah seorang tamu, saya merasa nasihat itu juga ditujukan kepada saya. Mungkin seperti itu pulalah yang dirasakan para tamu lainnya.
Kesempatan langka berdialog langsung dengan Habib Luthfi dalam suasana penuh keakraban itu, tentu saja saya manfaatkan untuk bertanya tentang masalah-masalah kehidupan kepada beliau, yang selalu dijawab dengan santun, ramah, dan sikapnya yang periang.
Sepanjang obrolan kami di malam itu, tidak pernah sedikit pun beliau menghujat, menyindir, atau menceritakan keburukan orang lain. Bahkan sewaktu saya meminta komentarnya tentang perilaku seorang tokoh yang sedang disoroti pada saat itu, beliau hanya menjawab: “Kalau kita merasa melihat sisi negatif dari seseorang, coba timbang-timbang dulu deh, apakah kita lebih baik dari orang itu? Jangan-jangan orang itu punya hubungan yang lebih dekat dengan Allah, dibandingkan kita.”
Itulah malam pertama saya ikut “begadang” bersama Pak Habib. Di akhir pertemuan, beliau meminta kami untuk datang lagi 2 minggu kemudian, guna melakukan pengambilan gambar di rumahnya dan di Masjid Demak.
Kegiatan pengambilan gambar
Hari yang dijanjikan pun tiba. Dengan peralatan shooting yang cukup lengkap, saya bersama 3 orang teman, kembali berkunjung ke rumah Habib Luthfi sekitar pukul 8 malam. Seperti biasa, sejumlah tamu sudah hadir di rumahnya. Malam itu, kami dijadwalkan untuk mengambil gambar Pak Habib, yang akan bertutur tentang sejarah Wali Songo serta metode dakwah yang diterapkan para Waliyullah tersebut.
Ada ribuan Waliyullah yang berdakwah di seluruh nusantara dalam kurun ratusan tahun. Wali Songo adalah koordinator para pendakwah tersebut. Demikian Habib Luthfi memulai uraiannya, yang kami rekam menggunakan kamera ENG. Kemudian, dengan panjang lebar, beliau membedah sejarah Wali Songo, menguraikan keteladanan yang diwariskan tokoh-tokoh Wali Songo itu satu per satu, dikaitkan dengan keteladanan Rasulullah SAW yang menjadi rujukan para Waliyullah.
Mengenakan pakaian yang biasa beliau gunakan ketika bertabligh, dan dengan suaranya yang jernih, lembut dan berwibawa, serta dengan gaya bertuturnya yang rinci, tanpa terasa beliau berbicara selama hampir 30 menit. Sebelum shooting, saya memang meminta beliau untuk berbicara tidak lebih dari 30 menit. Dan, sebelum mencapai 30 menit, beliau sudah mengakhiri seluruh uraiannya tentang berbagai aspek dakwah Wali Songo. Persis seperti yang saya harapkan.
Setelah selesai rekaman, saya baru sadar mengapa beliau meminta direkam di tengah kehadiran para pengunjung yang datang untuk berkonsultasi dengan beliau. Rupanya, beliau ingin agar seluruh uraiannya untuk keperluan film dokumenter tentang dakwah Wali Songo itu juga dapat didengar oleh para tamunya.
Alasannya, dalam uraiannya, beliau juga menyisipkan pesan-pesan kepada siapa saja untuk selalu meningkatkan kepedulian terhadap kaum dhuafa, terutama anak-anak yatim, seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Pesan-pesan tersebut, tampaknya lebih ditujukan kepada para tamunya. Sebab, setelah selesai rekaman, beliau melanjutkan uraiannya tentang perlunya menolong fakir-miskin, yang langsung ditujukan kepada para tamunya.
Menjelang pukul 1 dini hari, Habib Luthfi menyuruh kami pulang untuk beristirahat, karena esoknya ba’da Dzuhur kami akan berangkat ke Demak. Kami pun pulang ke tempat penginapan yang tak jauh dari rumah beliau.
Esoknya, sesuai janji, kami datang lagi untuk menjemput Pak Habib. Beliau sudah menunggu kami dengan pakaian yang sangat kasual. Bercelana blue jean dengan kaos oblong berwarna putih, mengenakan topi koboi berwarna hitam dan kaca mata hitam. Dengan style seperti itu, Habib Luthfi tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya.
“Pak Habib, nanti shooting nggak pakai pakaian ini kan?” Tanya saya sambal sedikit waswas.
“Oh nggak,” jawabnya sambil tertawa, “nanti pas shooting saya ganti dengan pakaian yang biasa saya gunakan ketika bertabligh.”
Melihat mobil kami yang tidak begitu besar, Habib Luthfi menawarkan untuk menggunakan mobil beliau yang berukuran lebih besar, yang akan dikemudikan oleh salah seorang kerabatnya. Alasan beliau, agar sepanjang jalan antara Pekalongan-Demak, beliau bisa mendengarkan musik hasil aransemen beliau.
Sebenarnya saya agak malu dengan tawaran tersebut. Saya sudah cukup merepotkan beliau, menyita waktu beliau yang sangat berharga, lalu sekarang saya akan menggunakan kendaraan beliau pula. Semuanya lebih untuk kepentingan saya dan teman-teman. Tetapi apa boleh buat, mobil saya memang cukup sempit untuk membawa 6 orang penumpang, sehingga akan membuat Pak Habib juga merasa kurang nyaman di perjalanan.
Maka jadilah kami “menumpang” mobil Habib Luthfi. Dan, benar saja, sepanjang perjalanan, Pak Habib memutar kaset berisi rekaman musik berirama padang pasir hasil aransemen beliau, diselingi obrolan-obrolan ringan tentang hal-hal yang akan kami lakukan saat shooting.
Kami tiba di Demak pada saat azan Maghrib berkumandang. Usai shalat Maghrib berjemaah, kami memulai shooting dengan Habib Luthfi sebagai presenternya. Di Masjid Demak, beliau menjelaskan sejarah masjid yang dibangun Wali Songo itu beserta simbol-simbolnya. Kamerawan kami hanya tinggal mengikuti dan merekam ucapan dan gerakan-gerakan beliau, yang berjalan sambil bertutur di area masjid. Tidak pernah ada adegan pengulangan, semuanya berlangsung dalam 1 kali take pengambilan gambar.
Begitu pula ketika shooting beralih ke area pemakaman di samping masjid. Di situ antara lain dimakamkan Raden Fattah (Sultan Abdul Fattah) pendiri Kerajaan Islam Demak yang berkuasa sepanjang tahun 1500-1518 Masehi dan Sultan Trenggono (Sultan Ketiga) yang berkuasa dalam tahun 1521-1546 Masehi.
Habib Luthfi menjelaskan peran para tokoh tersebut dalam sejarah penyebaran agama Islam di Tanah Jawa, diakhiri dengan doa. Semua adegan dalam pengambilan gambar tersebut, murni berdasarkan inisiatif dan kreativitas Pak Habib sendiri, tanpa pengarahan khusus dari kami, dan tanpa pengulangan.
Shooting dengan segala persiapannya di kawasan Masjid Demak hanya berlangsung sekitar 2 jam. Setelah salat Isya berjemaah dan makan malam di warung makan di depan masjid, kami kembali ke Pekalongan. Sesampainya di rumah Pak Habib, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan beliau, sambil mohon diri untuk pulang ke Jakarta malam itu juga. Namun, Pak Habib melarang kami pulang.
“Jangan pulang malam ini,” ujar beliau, “menginaplah lagi barang semalam di hotel panjenengan. Anda kan perlu istirahat. Saya tunggu besok di rumah sekitar jam 8 pagi. Saya masih kangen, masih ingin mengobrol dengan Anda semua.”
Kami menurut. Kami menginap lagi malam itu.
Karamah Habib Luthfi
Sebagai orang yang dibesarkan di kalangan santri dan sering berjumpa dengan para kiai, saya termasuk orang yang percaya bahwa orang-orang saleh yang berhubungan sangat dekat dengan Allah akan mendapat karamah, kemampuan luar biasa yang dianugerahkan Allah. Kemampuan yang terkadang tidak disadari oleh mereka sendiri, namun orang lain dapat melihat dan merasakannya. Cukup sering saya melihat dan merasakan karamah para kiai yang saya temui, termasuk Habib Luthfi, yang akan saya ceritakan berikut ini.
Sesuai permintaan Pak Habib untuk datang menemui beliau pada pukul 8 pagi, saya dan teman-teman sudah berada di rumahnya pada jam yang dijanjikan. Asisten Habib Luthfi yang tinggal di rumah beliau, meminta kami menunggu karena Pak Habib sedang menunaikan salat Dhuha. Kami menunggu di teras rumah hingga sekitar pukul 9. Namun, Pak Habib tak kunjung datang menemui kami. Ketika kami tanyakan kepada asistennya, kami malah diminta untuk datang lagi sekitar pukul 2 siang, karena Pak Habib langsung tidur setelah salat Dhuha.
Kami kembali ke hotel untuk melanjutkan istirahat. Rasa lelah setelah shooting di Demak, masih belum hilang sepenuhnya. Mungkin kelelahan itu pulalah yang dirasakan Habib Luthfi sehingga beliau perlu beristirahat, apalagi ketika shooting beliau adalah aktor utama dan aktor tunggal, yang paling banyak menguras tenaga. Belum lagi perjalanan pergi-pulang Pekalongan-Demak yang berlangsung berjam-jam, juga cukup melelahkan.
Kami datang lagi ke rumah beliau pukul 2 siang. Namun, asistennya menyarankan kami untuk datang lagi pukul 4 sore, karena Pak Habib tidur lagi, setelah menunaikan salat Dzuhur. Untuk mengisi waktu menjelang pukul 4 sore, kami berkendara mengelilingi Kota Pekalongan, lalu kembali ke rumah Pak Habib pukul 4 sore. Ternyata Pak Habib masih tidur. Kata asistennya, beliau tidur lagi setelah menunaikan salat Ashar. Kami disarankan untuk kembali ke rumah Habib Luthfi, ba’da Isya.
Teman-teman saya mulai menampakkan kekesalannya, terutama Oki, sang kamerawan. Maklum, dia harus terus-menerus menjinjing kamera ENG yang berukuran cukup besar dan berat. Bagi seorang kameramen profesional, kamera adalah senjata yang tidak boleh ditinggalkan di mana pun ketika bertugas. Guna meredakan kekesalan teman-teman, saya mengajak mereka untuk menunggu sunset di salah satu pantai Pekalongan, sambil ngopi sore-sore di warung kopi pinggir pantai.
Di pinggir pantai, disaksikan oleh saya dan dua teman lainnya (Wija dan Henry) tiba-tiba saja Oki menumpahkan kekesalannya. Dia mengumpat penuh emosi.
“Ini nih yang gua nggak suka dari Habib Luthfi,” katanya. “Manajemen waktunya nggak beres. Mestinya ulama sebesar dia punya manajemen waktu yang rapi. Capek juga kita bolak-balik ke rumahnya. Eh, dia malah tidur. Padahal dia sendiri yang nyuruh kita datang jam 8 pagi. Kan jadinya kita ngabisin waktu seharian kayak begini nih.”
Mendengar umpatan Oki, kami bertiga (saya, Wija, dan Henry) hanya berpandang-pandangan sambil tersenyum.
“Oki,” kata saya, “Habib juga kan manusia. Beliau juga kelelahan seperti kita. Beliau perlu beristirahat. Apalagi nanti malam beliau harus begadang lagi menerima tamu.”
“Iya, tapi kenapa nyuruh kita datang jam 8 pagi,” kata Oki, masih ngegas.
Saya tidak berkomentar lagi. Begitu pula Wija dan Henry.
Singkat cerita, ba’da Isya, kami sudah berada di rumah Habib Luthfi. Pak Habib sendiri yang langsung menyambut kami, dan mengajak kami untuk mengobrol di beranda belakang rumahnya.
“Oki, sini duduk di sebelah saya,” kata Pak Habib kepada kamerawan kami. Oki pun duduk di sebelah Pak Habib, sambil tetap memangku kamera.
“Oki,” lanjut Pak Habib, “Saya ini meskipun seorang habib dan seorang ulama, sebenarnya punya banyak kelemahan. Salah satu kelemahan saya adalah manajemen waktu. Manajemen waktu saya nggak beres.”
Tentu saja kami terkejut.
Habib Luthfi mengutip persis umpatan Oki di pantai, kata demi kata, seakan mendengar langsung umpatan tersebut. Padahal, jarak antara rumah Pak Habib dengan lokasi pantai cukup jauh, dan yang mendengarkan umpatan Oki hanya saya, Wija, dan Henry. Tak ada orang lain lagi. Dalam hati saya mencoba menafsirkan, mungkin inilah salah satu karamah yang dianugerahkan Allah kepada Habib Luthfi, yang membuat beliau mampu mengetahui umpatan orang lain terhadap dirinya.
“Saya sering tidak tepat waktu kalau punya janji untuk ketemuan,” ujar Pak Habib, kali ini ditujukan untuk kami semua. “Seperti yang terjadi hari ini. Berkali-kali Anda semua datang ke rumah saya, tapi saya berhalangan menemui Anda. Padahal sayalah yang menyuruh teman-teman semua datang tepat jam 8 pagi, dan baru sekarang ini saya bisa menemui teman-teman. Saya mohon maaf.”
Oki, sang kamerawan, berusaha mengatasi rasa malunya dengan cengengesan sambil menunjuk ke arah pesawat televisi monitor kecil. “Bib, ente ganteng deh Bib. Lihat tuh di monitor,” kata Oki. Rupanya, sambil menyimak ucapan Pak Habib, diam-diam Oki menyambungkan kabel TV monitor yang biasa digunakannya untuk mem-preview hasil shooting ke kamera di pangkuannya, dan menyorotkan kamera ke arah Pak Habib.
“Dasar kamu Oki,” ujar Pak Habib sambil tertawa. “Diem-diem kamu nyuting saya ya.”
“Iya Bib,” kata Oki yang belum bisa menghilangkan rasa malunya. “Iseng. Takut dimarahin Habib.”
“Kok takut dimarahin saya? Kamu kan nggak punya salah apa-apa. Kamu yang justru harusnya marah sama saya, karena saya sudah berbuat salah, janji sama kamu nggak tepat waktu. Kamu maafin saya gak?”
“Iya Bib. Saya juga minta maaf, udah ngerepotin Habib dari kemaren,” kata Oki.
Suasana pun berubah cair, berkat ulah Oki yang nyeleneh. Pak Habib lalu mengajak kami untuk pindah ke ruang tamu, karena sejumlah tamu yang ingin berkonsultasi sudah berkumpul menunggu beliau.
Kami melanjutkan obrolan sambil diselingi konsultasi dengan para tamu yang dipanggil secara bergantian. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Saya pun pamit untuk pulang ke Jakarta saat itu juga. Tapi Pak Habib melarang.
“Jangan pulang dulu. Saya masih kepingin ngobrol. Ayo minum kopi lagi biar nggak ngantuk. Kopinya ditambah ya,” ujarnya sambil memberikan isyarat kepada asistennya untuk menambah kopi.
Satu jam kemudian, saya pamit lagi. Lagi-lagi beliau melarang saya dengan alasan yang sama, masih kepingin ngobrol. Lalu menyuruh saya untuk minum kopi lagi. Jam 2 dini hari, untuk ketiga kalinya saya mohon pamit, tapi Pak Habib masih belum mengizinkan. Barulah sekitar pukul 3 dini hari, Habib Luthfi mengizinkan saya untuk pulang.
“Baiklah, sekarang boleh pulang. Sudah aman kok. Insya Allah perjalanan Anda lancar,” ujar beliau.
Saat pamit, saya masih belum mengerti mengapa Habib Luthfi berkali-kali melarang saya pulang, dan mengapa pula ada kata-kata “sudah aman kok” tatkala akhirnya beliau mengizinkan permohonan pamit saya. Pertanyaan itu baru terjawab ketika kami sampai di perbatasan Pamanukan-Cikampek.
Di jalan yang kami lewati tampak banyak sekali polisi dengan mobil-mobil patrolinya dan sejumlah petugas terlihat sedang membersihkan jalan. Kami berhenti sejenak di pinggir jalan dan menghampiri salah seorang polisi, menanyakan situasi yang sedang terjadi.
Berdasarkan keterangan pak polisi, di jalan tersebut telah terjadi kecelakaan hebat. Tabrakan beruntun yang melibatkan beberapa kendaraan pribadi dan beberapa truk. Kejadian yang berlangsung sekitar pukul 1 dini hari itu menyebabkan kemacetan total selama berjam-jam di sebagian Jalur Pantura, mulai dari perbatasan Cirebon hingga menjelang Cikampek.
Rupanya kejadian itulah yang menyebabkan Habib Luthfi berkali-kali menghalangi kami untuk meninggalkan rumahnya. Jika kami memaksa pulang sebelum pukul 3, sudah bisa dipastikan kami akan ikut terjebak dalam kemacetan panjang berjam-berjam.
Saya bersyukur kepada Allah, yang telah menghindarkan kami dari musibah yang tidak dapat kami duga. Di dalam hati saya juga berterima kasih kepada Habib Luthfi yang telah menyampaikan warning tersirat, sehingga kami terhindar dari kemungkinan mengalami musibah. Lagi-lagi saya menafsirkan hal itu sebagai salah satu karamah yang dianugerahkan Allah kepada Habib Luthfi, sehingga beliau dapat mengetahui apa yang akan dan sedang terjadi di tempat lain.
Epilog
Itulah pengalaman saya bersama Habib Luthfi, sekitar 25 tahun yang lalu. Sejak itu saya tidak pernah bertemu lagi secara fisik dengan beliau. Ada kerinduan yang sangat dalam untuk kembali begadang bersama Pak Habib, sambil mendengarkan petuah-petuah beliau yang sejuk. Namun entah mengapa, selalu saja ada halangan setiap kali saya berencana untuk sowan ke rumahnya, hingga tak terasa 25 tahun pun lewat.
Dua puluh lima tahun yang lalu belum ada ponsel pintar dan media sosial sehingga komunikasi jarak jauh dengan beliau hanya dapat dilakukan melalui telepon kabel. Sekarang, saya dapat mengikuti kegiatan beliau melalui akun Instagram @habibluthfibinyahya. Dengan mengikuti akun IG beliau, sedikit banyak rasa rindu ini terobati. Meskipun, tetap saja, saya ingin suatu saat kembali bercengkrama dengan beliau di rumahnya, di malam yang panjang, bersama para tamu lainnya.
Tanggal 28 Agustus yang telah lalu, saya sempat menonton siaran langsung Kirab Merah Putih yang dihadiri Habib Luthfi, Presiden Jokowi, dan Kapolri. Menyaksikan Pak Habib berjalan bersama peserta pawai lainnya melalui layar kaca, tanpa terasa mata saya pun berkaca-kaca.
Beliau, tentu saja, sudah tidak muda lagi seperti 25 tahun yang lalu. Tetapi semangatnya, keteduhannya, kearifannya, kerendahan hatinya, masih tetap terpancar begitu jelas. Getar wibawanya, justru kian terasa. Semoga Allah memberinya umur panjang dan kesehatan yang prima. Negeri ini masih membutuhkan Habib Luthfi.
BACA JUGA Tentang Seorang Habib dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Billy Soemawisastra
Editor: Yamadipati Seno