MOJOK.CO – Berita virus corona di Cina sering dibumbui dengan cerita-cerita bernuansa islami di grup wasap. Dari gojek kere, sampai dakwah seram.
“Mas, hati-hati lho saiki virus corona iso nyebar seko hape cino.”
(Mas, hati-hati lho sekarang virus corona bisa nyebar lewat hape cina).
“Tenang wae, Bu. Hapeku Esia Hidayah. Paling-paling keno sariawan koyo wong bar bali umroh.”
(Tenang aja, Bu. Hapeku Esia Hidayah. Paling-paling kena sariawan kayak orang pulang dari umroh).
Percakapan di atas bisa menimpa siapa pun. Kapan pun dan di mana pun. Sumbernya kamu sudah bisa tebak bukan? Yak tul, apalagi kalau bukan melalui jejaring wasap grup guyonan bapak-bapak atau grup ibu-ibu Arisan Senam Sehat Karangmantul.
Berita tentang virus corona yang sedang mewabah di Cina sana dibumbui dengan cerita-cerita bernuansa islami. Mulai dari yang soft, semacam guyonan percakapan di atas sampai yang hard.
Seperti narasi kalau virus corona merupakan bagian dari azab yang diturunkan Gusti karena Pemerintah Cina menzalimi saudara-saudara seiman di Uighur.
Subhanallah.
Ojo gumunan, ojo kagetan
Saya terkadang miris sekaligus terhibur dengan fenomena-fenomena yang selalu ditanggapi dengan ekspresi keislaman yang berlebihan atau bahkan nggak masuk di akal kayak gitu.
Ya salah satunya soal kabar seram soal virus corona itu. Kadang tak hanya dikait-kaitkan dengan kasus Uighur, tapi juga dikaitkan dengan ideologi pemerintahan Cina yang kuminis. Hadeh. Hubungan antara ideologi negara dengan penyebaran wabah mematikan macam virus corona itu apaaasiiii.
Kita, sebagai umat Islam di zaman kiwari ini pancen mudah sekali mengait-ngaitkan fenomena apapun dengan pemikiran yang potong kompas dan mak bedunduk bersumber “ngaji” di yutup.
Padahal di lain sisi, kita sering sekali mengglorifikasi sejarah sekaligus meromantisirnya dalam pengajian-pengajian kita.
Sering didengungkan bahwa zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid, Baghdad, menjadi peradaban keilmuan yang luar biasa hebatnya. Atau minimal ibu-ibu kita yang sering menonton Cinta di Musim Ceri mengerti bahwa Kesultanan Ottoman adalah imperium kosmopolit yang masyarakatnya nggak gampang kemakan hoaks.
Kisah di atas lalu dipelintir menjadi salah satu alasan untuk mewujudkan ide mendirikan khilafah. Dengan janji-janji kalau persoalan hidup masyarakat langsung beres begitu ideologi negara berubah.
Ya kayak narasi nyerang-nyerang ideologi kuminis Cina. Karena kasus virus corona, Pemerintah Cina disalahin karena ideologi kuminisnya. Udah begitu ujung-ujungnya malah ideologi Indonesia juga yang mau diganti.
Haiyah, ini kan manuver tanpa pakai riting (lampu sein) namanya. Nembak ke sana untuk balik kena ke sini. Fyiuh. Akhirnya—setelah sekian lama—ibu-ibu pakai motor matic punya lawan sepadan.
Puadahal, Kanjeng Sunan Kalijaga dalam piwulung (petuahnya) mengajarkan bahwa umat Muslim itu “ojo gumunan, ojo kagetan” alias jangan gampang kagum jangan gampang kaget, dalam menyikapi fenomena-fenomena yang terjadi.
Sebagai sebuah kersaning Gusti (Kehendak Yang Kuasa) segala fenomena itu harus dipikirkan dengan akal yang sehat dan matang. Sekali lagi menggunakan akal lho bukan dengan akad.
Gusti saja memerintahkan kita untuk berpikir (sing biasa Yasinan pasti apal). Coba kalau kita ngaji sing bener lan pener, pasti jempol nggak secepat kilat sebar hoaks tho?
Ya kecuali kalau nyebar hoaks itu memang sudah gerak refleks sih. Memang butuh latihan agar tidak jadi Ustaz-Rahmat-Baequni-wanna-be sih kalau udah sampai tataran alam bawah sadar kek gitu.
Apa karena Harun Yahya?
Saya ingat, pas saya belum mimpi basah dan ketika sedang tinggi-tingginya ghirah untuk belajar Islam, mentor saya pernah berujar sesuatu yang aneh…
“Monas kui thoghut wajib dihancurkan kui.”
Terjemahannya.
“Monas itu thoghut, wajib dihancurkan itu.”
Memang sih bentuk Monas mirip lingga dan yoni dan Monumen Nasional sendiri tidak pernah disebutkan sama sekali dalam dalil agama, tapi masak tiba-tiba disebut thoghut. Lah kok enak bener nyebut sesuatu thoghut. Radiator dan karburator nggak disebut thoghut sekalian ini?
Seandainya Bung Karno denger apa nggak dipuntir itu batang hidung mentor saya.
Masalahnya, cocoklogi level rookie ini sangat digemari oleh remaja-remaja tanggung seperti saya pada saat itu. Kisah-kisah Harun Ar-Rasyid sampai Ibnu Sina, membuncah di sanubari pemuda-pemuda untuk bisa seperti mereka.
Maka maklum ketika ada narasi azab soal virus corona di grup wasap bareng bapak-bapak arisan, respons tercepat adalah memuji kebesaran Gusti dan—dalam kadar overdosis—bahkan sampai “mensyukuri” bencana yang terjadi kalau yang kena adalah orang-orang yang tak seiman.
Dan terbukti, oleh mentor saya saat itu, kami remaja-remaja tanggung itu bukannya diberi kiat agar menjadi umat berilmu yang bisa berguna bagi masyarakat, etapi malah diproyek dan diorganisir jadi anggota salah satu partai. Hadeh.
Kadang saya berpikir keras, dari mana kiyowo alias keimutan umat kayak gini berasal?
Begini kalau menurut saya.
Pertama, dari rasa minder umat kita yang berkembang jadi minder-mager. Menurut saya ini adalah bibitnya malapetaka utama. Artinya, minder kalau kita punya potensi intelektual yang luar biasa hebat sekaligus mager untuk mengembangkannya.
Bayangkan saja, negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di jagat raya kok ranking tiga dari bawah dalam hal literasi? Bedain kotak amal dengan kotak saran aja susah.
Kedua, menurut saya ya karena Harun Yahya.
Sedari kecil kita biasa dicekokin dengan pelajaran agama yang berbasis materiil. Apa-apa bisa dilihat dan disentuh. Sehingga rasa spiritualitas kita, rasa keintiman untuk menalar Tuhan Yang Maha Agung tereduksi oleh visualisasi manusia yang terbatas (otak saya kemebul nulis bagian ini).
Fenomena-fenomena jagat semesta ini dikerdilkan dengan penampakan-penampakan ikan pari, pohon yang rukuk, hingga Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman. Dahsyatnya cara kerja otak kita, lantas dikecilkan dengan asupan-asupan cocoklogi tersebut sehingga kita selalu menalar Gusti Allah melalui benda-Nya saja.
Makanya Gusti Allah menyuruh manusia untuk senantiasa berpikir, membaca, dan belajar. Sehingga kebudayaan maupun teknologi buatan manusia bisa tunduk kepada penciptanya sebagaimana tunduknya manusia terhadap Tuhannya.
Bukan malah justru akal manusia ditundukkan oleh teknologi bernama gawai pintar apalagi dibodohi sampai nyebar hoaks segala.
Meski begitu, saya sih tetap optimis, Islam dan Indonesia akan menjadi lantunan irama indah peradaban besar manusia beriringan dengan agama serta kepercayaan yang lain. Tentu saja, selama orang yang percaya bahwa biji semangka ada lafadz Tuhannya tidak semakin banyak di negeri ini.
Afalla ta’qilun.
BACA JUGA Kehebohan Virus Corona dan Virus Kebencian untuk Cina yang Berlabelkan Agama atau tulisan rubrik ESAI lainnya.