MOJOK.CO – Keputusan Febri Diansyah semestinya dilepaskan dari prasangka. Mau Ferdy Sambo atau bandit, mereka berhak dibela secara objektif.
Di bawah kolong langit ada banyak profesi yang paling dibenci. Namun, jika keadaan demikian gawat dan mengancam diri, mau tidak mau, kita harus minta pertolongan mereka. Profesi itu adalah pengacara, akuntan pajak, polisi, dan dokter. Saya tidak sedang bicara tentang kepolisian, saya bicara tentang pengacara.
Nah tentang pengacara, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, senator Roma yang juga mertua Julius Caesar pernah berkata seperti ini: “Fiat justitia ruat caelum.” Artinya, hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Segala profesi yang berkaitan dengan hukum, baik jaksa, hakim, atau pengacara semestinya berpegang teguh dengan hal itu. Meski demikian, banyak yang susah mempertahankan sikap ini.
Rabu 28 September kemarin, publik dikejutkan dengan sikap dua sosok yang pernah berproses di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang. Keduanya muncul membawa kabar telah bergabung sebagai tim kuasa hukum 2 tersangka pembunuhan, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Febri Diansyah dan Rasamala akan membela pasangan suami istri itu dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Kasus ini jadi perhatian publik karena mengungkap kebusukan dan kebohongan kepolisian. Pasalnya, kasus ini diduga karena Brigadir J melakukan percobaan pelecehan kepada Putri Candrawathi.
Dalam pernyataan awal terjadi tembak menembak antara Brigadir J dan Ferdy Sambo, tapi setelah penelusuran diketahui bahwa korban dieksekusi dengan tembakan dari jarak dekat. Tidak hanya itu, banyak polisi yang terlibat membantu Ferdy Sambo untuk menghilangkan bukti, baik rekaman CCTV atau konferensi pers.
Karena terbongkarnya kebohongan ini, sikap Febri Diansyah dan Rasamala yang masih mau membela dianggap mencederai akal sehat, lebih dari itu mengejek keadilan publik. Tapi apakah ini benar? Febri Diansyah menyebut bahwa terlepas dari apa yang disangkakan publik terhadap para tersangka, mereka berhak diperiksa dalam persidangan yang objektif, fair (adil) dan imparsial. Termasuk mendapatkan pembelaan yang proporsional dari penasihat hukum yang dipilih.
Dalam sejarah hukum Indonesia, langkah Febri Diansyah dan Rasamala bukan hal baru. Ada banyak advokat dan pengacara HAM yang punya rekam jejak aktivisme, membela orang yang menjadi musuh publik. Mulai dari Todung Mulya Lubis, Almarhum Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hien. Mereka dianggap sebagai sosok yang bersih dan memiliki nilai keadilan yang ajeg.
Todung Mulya Lubis adalah sosok advokat yang menolak hukuman mati. Sikap ini tanpa kompromi. Siapa saja, terlepas kejahatan yang dia lakukan, tak seharusnya diberikan hukuman mati. Apa yang dilakukan Todung kerap mendapat cibiran publik atau orang-orang yang berusaha memberikan hukuman berat. Dalam kasus Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, Todung membela mereka karena divonis mati dalam kasus narkoba.
Todung dianggap pro narkoba karena membela Myuran dan Andrew. Padahal, jika dilihat secara rekam jejak, Todung secara konsisten membela hak manusia untuk hidup. Dia tidak menolak pengedar narkoba dihukum, tapi menolak kematian sebagai bentuk hukuman. Todung kerap dicibir dan dikritisi karena membela narapidana narkoba dan merasa bahwa yang ia lakukan mencederai keluarga korban peredaran narkoba. Objektif, adalah janji yang diutarakan oleh Febri Diansyah dan kita sebaiknya memberimya ruang pembuktian.
Nama lain adalah Adnan Buyung yang pernah masuk ke dalam Tim Advokasi HAM Perwira TNI. Karena sikapnya yang berniat membela pelaku kejahatan HAM, dia diminta mengundurkan diri dari keanggotaan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang didirikannya. Bahkan Adnan bersitegang dengan Todung Mulya Lubis yang juga anggota Dewan Penyantun YLBHI.
Todung menilai keputusan Buyung menjadi tim pembela para jenderal itu sudah tidak sesuai lagi dengan semangat yayasan yang membela Hak Asasi Manusia bagi yang lemah. Pembelaan Adnan menjadi salah satu sikap yang sangat tegas dan menjadi inspirasi.
“Lo, membela rakyat itu untuk menegakkan substansinya, yakni kebenaran dan keadilan. Kalau rakyat salah, kita pun harus memberitahukan. Bukan demi rakyat, lalu bila ada orang lain, yang kebetulan para perwira tinggi TNI, teraniaya, lantas mereka dianggap tak punya hak asasi,” ujarnya. Tidak jauh berbeda dengan sikap Febri Diansyah setelah menerima tawaran mendampingi Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Jika pelanggar HAM dianggap kurang kontroversial, Adnan malah membela jenderal polisi yang diduga terlibat suap dan koruptor, Gayus Tambunan. Dua nama ini bisa jadi amunisi untuk menghancurkan namanya jika hal itu terjadi saat ini. Namun seperti yang kita pahami, saat pengacara membela seseorang, mereka bukan membela kejahatan yang dilakukan, tapi memastikan bahwa si pelaku mendapatkan peradilan yang fair dan impartial.
Nama terakhir adalah Yap Thiam Hien yang menjadi sosok gigantis dalam hukum Indonesia. Dia aktif sebagai sejak 1948 dan dikenal tidak memilih-milih klien. Semua orang dari berbagai golongan selama dia bisa, akan dibela dan ditangani perkaranya. Hampir semua perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang bersangkutan dengan Hak Asasi Manusia, prinsip-prinsip hukum, dan keadilan.
Yap tidak segan berseberangan dengan penguasa atau sosok mafia. Yap pernah membela pedagang di Pasar Senen, yang tempat usahanya digusur oleh pemilik gedung. Di era Presiden Sukarno, Yap menulis artikel yang mendorong pembebasan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, dan Syahrir.
Saat terjadi G 30 S, Yap yang anti dengan komunis malah dengan terbuka membela Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat yang punya afiliasi terhadap PKI. Tidak hanya itu, Yap juga membuat pembelaan yang demikian memukau untuk Soebandrio, mantan perdana menteri, yang menjadi sasaran caci maki massa pada awal Orde Baru, dan membuat para hakim yang ada saat itu bingung harus menjawab apa.
Sebagai salah satu pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), rekam jejak Yap demikian bersih hingga ada nama penghargaan yang disematkan atas namanya. Kini apa yang dilakukan Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang semestinya juga dilepaskan dari prasangka. Apa yang dilakukan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi bisa jadi keji dan brutal. Namun, bukan berarti mereka tak berhak mendapatkan pembelaan hukum yang fair.
BACA JUGA Kisah Febri Diansyah, Teman yang Memang Suka Cari Gara-gara Sejak Kuliah dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno