MOJOK.CO – Seorang keluarga transmigran zaman Soeharto, buka-bukaan soal pengalaman keluarganya. Terutama soal perjuangan berdarah-darah keluarganya yang diklaim jadi kesuksesan pemerintah.
Sampai saat ini saya masih teringat dengan pengakuan bapak saya soal Presiden Soeharto, Mayor Jenderal Angkatan Darat yang berkuasa selama 32 tahun di bumi Indonesia ini.
Bukan karena rezim Orde Barunya, bukan itu. Bapak saya malah tak tahu-menahu soal itu—tidak seperti saya. Bukan pula karena bapak saya pernah bertegur sapa dengan beliau, bukan itu. Bapak saya cuma rakyat jelata tak mungkin bisa obral sapa dengan Presiden bak Raja seperti Soeharto. Mimpi saja tidak.
Bapak saya cuma paham satu hal karena dia saksi hidup sekaligus praktisi dari salah satu program pemerintahan era Orde Baru; yakni transmigrasi. Menyebar penduduk Jawa ke seluruh pelosok Indonesia. Hal yang dibilang sebagai program persebaran penduduk, padahal ya—kalau mau jujur—cuma upaya Jawanisasi.
“Untung Bapak dulu ikut transmigrasi. Kalau seandainya dulu nggak melok, entah jadi apa sekarang,” kata Bapak saya ketika kami memanen buah kemiri di sebidang kebun transmigrasi milik kami.
Keluarga Bapak dan Mamak ketika di Jawa, bukanlah keluarga terpandang atau manjebet, kata orang Maduranya. Mereka orang-orang biasa, rakyat jelata. Tidak punya harta benda. Tanah hanya encepan omah. Punya ladang atau kebun berhektare-hektare? Seperti menang kuisnya Uya Kuya seratus kali aja.
Di Jawa, Bapak kerja serabutan. Apa saja dikerjakan selama itu menghasilkan uang, tentu pekerjaan-pekerjaan halal, bukan yang cuma pakai label halal. Maklum sih, sebagai anak bungsu, Bapak dituntut untuk membantu menghidupi keluarganya yang masih punya banyak adik kecil kecil. Maklum dulu semboyannya banyak anak banyak rezeki—sebelum Program KB merevisi semboyan itu.
Ketika sudah berkeluarga sampai punya anak pertama pun, bapak masih ikut orang tua dengan kerja seadanya. Sangat jauh dari kata cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sampai suatu ketika, program transmigrasi yang digaungkan daripada pemerintahan Bapak Soeharto membahana ke seluruh penjuru negeri. Di mana-mana ada pemberangkatan ke berbagai wilayah dalam jumlah dan gelombang besar. Sumatera, Kalimantan, dan beberapa wilayah lainnya di luar pulau Jawa.
Mamak Bapak saya ketika diajak seorang keluarganya untuk ikut transmigrasi, tidak menolak dan tidak pula mengiyakan. Mereka hanya manggut, manut, dan nurut. Saat itu, sulit rasanya untuk menentukan nasib sendiri. Prinsipnya sederhana saja: kita ikuti saja apa kata Pemerintah kalau tidak mau celaka.
Sampai akhirnya mereka ikut ambil bagian program itu dan terjunlah di Jaloer, sebuah daerah di wilayah administratif kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan.
“Neng Jowo ra ndue opo-opo. Janjinya dikasih dua hektar dan pekarangan rumah ya manut saja. Kami sudah niat akan berdarah-darah di sini. Berjuang dan berjuang, siapa tahu nasib bisa berubah,” kata Bapak kira-kira begitu.
Setiba di Jaloer ternyata keadaan tidak semudah cocotnya Mario Teguh. Tak ada kata-kata bijak yang bisa menolongmu di tanah transmigrasi yang dijanjikan. Banyak masalah-masalah baru yang dihadapi dan itu menghantam dari depan kanan-kiri-depan-belakang, segala sisi. Lalu puncaknya gagal panen dan kemarau panjang tahun 1990-an.
Sudah keadaan begitu sulit, iklim dan kondisi alam menghancurkan banyak hasil pertanian siap panen. Lalu banyak warga transmigrasi pulang kandang ke Jawa. Sebagian besar tidak kuat dengan kondisi alam di tanah transmigrasi.
Lah lalu gimana dengan Bapak Mamak saya? Oh, mereka tetap bertahan dan bertahan. Segala daya upaya dikeluarkan agar tetap bertahan dan untuk bisa menyambung hidup. Ketika tetangga-tetangga sudah satu demi satu berkemas pulang, Bapak sama Mamak masih saja bertahan.
Toh, di tanah kelahiran Bapak dan Mamak memang tak punya apa-apa juga. Jadi buat apa pulang? Kata pepatah, sekali layar terkembang pantang putar haluan. Nggeteh! Kalau orang Jawa bilang; alias siap berdarah-darah.
Usai gagal panen, melalui perjuangan yang amat teramat berat, Bapak dan Mamak akhirnya memetik hasilnya. Keadaan semakin baik bahkan jauh lebih baik. Bahkan pada periode-periode sekarang ini jika kami pulang ke Jawa keluarga bapak sering dianggap sebagai horang kayaaah. Bapak kini boleh menegakkan kepala di hadapan tetangga-tetangganya jaman dulu yang kabur.
Sekadar untuk makan saja, jelas kami tak bingung. Ratusan karung gabah kami hasilkan tiap kali panen. Simpanan karung gabah sudah tentu memenuhi gudang kami. Dan hal semacam itu tidak didapat cuma oleh Bapak saya, melainkan penduduk transmigrasi lainnya yang masih kukuh bertahan saat dihantam gagal panen hebat.
Bahkan saking kayanya kami, penduduk asli sering bilang bila kami merupakan perusak pasaran uang sogokan. Ya jelas, ketika orang lokal nyogok sekian, kami bisa nyogok berlipat-lipat, karena memang diminta berlipat-lipat. Nah, apa nggak merusak pasaran sogokan itu namanya?
Untungnya pada masa kini, soal pendidikan, anak-anak Bapak dan warga yang masih bertahan itu bisa sekolah di mana saja. Nggak perlu banyak-banyak uang sogokan dan segala macam. Kesehatan, kami bisa berobat di mana saja. Rumah sakit tipe kelas apa saja, gratis di tanggung pemerintah asal bayar iuran BPJS.
Maka, ramainya isu rezim Orde Baru yang mau bangkit kembali karena ada seorang putri Pak Soeharto bilang mau bikin Indonesia seperti zaman bapaknya lagi. Katanya Indonesia sekarang jauh lebih kacau daripada zaman dulu. Masih enak zaman dulu katanya.
Bapak saya tak mau kalah ikut berkomentar terhadap pewaris Trah Keluarga Cendana itu.
Jika ingat-ingat zaman dulu, masa-masa perjuangan di tanah transmigrasi dan melihat kondisi sekarang, Bapak cuma bilang: “Matur suwun sudah ada program transmigrasi. Terima kasih.”
Itu Bapak. Dengan segala kontroversi daripada zaman Orba daripada kepemimpinan daripada Pak Soeharto, Bapak tetap mengucapkan terima kasih daripada Pak Soeharto hanya untuk program transmigrasinya.
Tapi jika sekarang ada pertanyaan, “Enak zamanku to?”, maka saya akan menjawab dengan tegas, “Sudah cukup!”
Saya tidak mau kembali ke zaman itu lagi. Di mana para keluarga transmigrasi hanya bisa makan empol kelapa saja, karena tak punya apa-apa untuk beli bahan makanan pokok. Padahal katanya saat kami sedang susah-susahnya itu di Jawa sedang ada Swasembada Pangan.
Poster dan foto Pak Soeharto muncul ada di mana-mana bawa padi dipanen. Seolah-olah kerja keras mati-matian Bapak saya untuk bertahan hidup diklaim sebagai perjuangan Pak Soeharto.
Saya tidak mau kembali ke zaman itu di mana Bapak harus merantau sedangkan kami-kami yang masih kecil harus mati-matian menjaga ladang di malam hari dari serbuan hama babi setiap malamnya. Zaman di mana banyak pengalaman susah dan sulit.
Meski saya rindu juga pengalaman-pengalaman itu karena di sanalah masa kecil saya, tapi bedakan antara kangen dengan masa kecil karena kebetulan berada pada zaman Pak Soeharto dengan kerinduan karena memang ingin kembali karena rindu dengan kepemimpinan Soeharto.
Saya tidak mau kembali lagi ke zaman penuh pengalaman-pengalaman unik nan keras itu. Di mana saya sekarang sudah besar dan sudah punya anak. Moh! Saya ogah balik lagi ke masa-masa itu. Ogah jaga-jaga ladang dari serangan hama, dan kalau sakit mesti ke tempat yang jauh dengan akses perjalanan yang sulit.
Jadi kalau ada yang masih dengan pede bertanya: Piye iseh enak jamanku to?
Saya akan jawab dengan padat, singkat, dan jelas: Enak, ndasmu.