MOJOK.CO – Politisi pejabat bersafari politik dalam menggunakan parade mobil mewah seperti Alphard dan Lexus. Tren seperti ini tampaknya mengemuka karena politisi ingin jadi epigon figur Prabowo Subianto.
Kontestasi pilpres dan pemilu April lalu sejatinya tengah menuju antiklimaks. Pemilu yang masa kampanyenya berlangsung demikian gegap gempita dan cenderung brutal, siapa pemenangnya sudah kita ketahui bersama. Selain pasangan Jokowi–Ma’ruf Amin, ternyata ada komunitas lain yang secara riil juga keluar sebagai “pemenang”, yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan sama sekali, yakni sekelompok dealer mobil kelas premium.
Kalau perhelatan sekelas pemilu atau pilpres, dengan biaya begitu besar, yang akhirnya hanya memenangkan komunitas pengusaha otomotif (itu pun sebatas kelas premium), rasanya pemilu menjadi sia-sia dan demokrasi kita sedang menuju masa suram. Salah satu tujuan pemilu adalah untuk kesejahteraan rakyat (bawah), bila kenyataan yang terjadi hanya menguntungkan pengusaha otomotif, berarti ada yang salah dengan proses politik kita.
Bagaimana tidak, sejak masa kampanye, sampai hari ini menjelang pelantikan, yang kita saksikan adalah sekumpulan elite-elite politik yang pergi kian kemari (istilah Jogjanya, grudag-grudug) guna memperbesar akses dan alokasi kekuasaan. Saat grudag-grudug itulah dengan gamblang rakyat menyaksikan elite menunggang mobil kelas premium, seperti Alphard (Rp1 miliar), Lexus (Rp1,2-3 miliar), Vellfire (Rp1,2 miliar), dan seterusnya, yang dalam dunia otomotif biasa disebut MPV/minivan.
Lihat saja ketika unsur pimpinan MPR RI (yang jumlahnya sepuluh orang), untuk sekadar menyampaikan undangan pelantikan Presiden (20 Oktober), mereka datang secara berombongan, artinya ada sepuluh minivan, belum terhitung pengawal dan voorijder.
Demikian seringnya momen tersebut diberitakan di media elektronik (termasuk media online), saya sampai hafal bagaimana urutan peristiwa dan protokolernya. Seperti saat safari politik hari-hari ini, terkait komposisi kabinet, setidaknya ada lima mobil yang tiba secara konvoi, nah tokoh nomor satu dalam rombongan itu bisa dipastikan menunggang mobil minivan dimaksud. Sementara para anggota rombongan, atau para pendamping, bisa juga naik mobil yang sejenis, atau yang sedikit di bawahnya, semisal kelas SUV (sport utility vehicle).
Ketika menyaksikan prosesi seperti itu, saya berpikir keras, adakah peristiwa jauh di masa lalu, yang sekiranya mirip dengan adegan tersebut? Ketika mencari padanannya dalam peristiwa politik, terus terang saya merasa kesulitan. Sekadar perbandingan, di masa Orde Baru, Soeharto sangat berkuasa dan semuanya ditentukan olehnya sehingga tidak pernah tejadi grudag-grudug elite politik seperti itu. Perjalanan hanya terjadi satu arah, elite politik wajib sowan ke Cendana, dan jangan berharap ada kunjungan balasan dari Soeharto.
Rasanya lebih mudah saat mencari padanannya pada kegiatan kesenian, walau kini juga semakin jarang kita lihat, namun sisa-sisanya masih tersimpan di benak sebagian orang, yaitu seperti kelompok kesenian ketoprak atau ludruk, yang di masa lalu biasa berkeliling menumpang bus atau truk, untuk pentas di kampung-kampung di pelosok Pulau Jawa, bahkan hingga ke daerah seberang.
Komparasi itu rasanya tidak berlebihan, mengingat dua entitas yang terlibat, yakni para elite politik dan para pegiatan kesenian (tradisional) sejatinya sama-sama mencari nafkah, hanya volumenya yang berbeda, para pegiat kesenian tradisional sekadar menyambung hidup. Sementara para elite politik berniat mencari nafkah, namun yang diincar demikian besar, maka diperlukan modal yang besar pula, yakni soal penampilan dan pencitraan, yang membutuhkan biaya sangat besar. Bahkan para pegiat kesenian keliling, dalam truk atau tobongnya biasanya diisi sembako dan peralatan masak demi menghemat pengeluaran.
Mengapa bisa terjadi fenomena Alphard atau Lexus dalam panggung politik kita? Salah satu “kesalahan” para elite politik kita adalah dalam memilih keteladanan. Coba bila mereka meneladani politisi luhur macam M. Natsir (tokoh Masyumi) atau M. Hatta (proklamator), tentu bencana politik seperti ini tidak akan terjadi. Lalu kira-kira siapa tokoh yang menjadi referensi perilaku para elite politik tersebut?
Ternyata orang dimaksud masih ada dalam lingkaran mereka juga, dan masih aktif berpolitik sampai hari ini, yakni Prabowo Subianto. Perlu saya tegaskan, saya sama sekali tidak bermaksud menyalahkan Prabowo. Kesalahan lebih pada pada para epigonnya.
Bagaimana tidak, Prabowo adalah semacam “Indonesian dream”, yang tidak mudah ditiru masyarakat kita pada umumnya. Latar belakangnya sangat kuat, seperti sejarah masa lalu keluarga besar yang gemilang, kemudian perjalanan hidupnya yang berliku, namun tetap saja selalu berakhir manis. Harus diakui Prabowo adalah trendsetter dalam kehidupan elite di Jakarta, bahkan sejak masih aktif di tentara dulu.
Ketika masih menjadi Komandan Kopassus (1995-1998), ketika komandan satuan lain umumnya masih mengendarai jeep (seperti CJ-7) sebagai kendaraan dinasnya, Prabowo menetapkan merek atau jenis kendaraan lain, yakni Range Rover (harganya bisa 3 sampai 7 kali lipat CJ-7) bagi komandan di jajaran Kopassus, dan ini bersifat eksklusif, artinya kendaraan jenis itu hanya boleh dipakai oleh Kopassus.
Pembawaan Prabowo yang selalu ingin unggul dalam segala hal, kemudian terbawa-bawa terus saat dirinya terjun ke politik praktis. Cuma ada satu hal yang mungkin kurang diketahui publik, termasuk bagi para elite politik generasi baru, khususnya bagi yang ingin meniru gaya Prabowo. Poin dimaksud adalah soal kekuatan finansial Prabowo, sebuah sumber daya yang belum tentu dimiliki politisi kita pada umumnya.
Ada “logika terbalik” dalam memahami Prabowo terkait gaya hidupnya. Prabowo berasal dari keluarga kaya raya, baru jadi tentara dan politisi, itu kebalikan dengan tujuan politisi kita pada umumnya, yang terjun ke politik agar bisa kaya, atau menambah kekayaan. Prabowo adalah figur yang benar-benar berbeda, saat masih menjadi komandan pasukan dahulu misalnya, dia tidak segan-segan mengeluarkan dana pribadi (atau keluarga besar dari pihak ayah) untuk membiayai satuannya, agar performa satuannya selalu unggul, termasuk dalam urusan menalangi pengadaan Range Rover, atau keperluan pasukan lainnya.
Bagi yang mengikuti berita seputar kaum pesohor di Jakarta, khususnya terkait pemilikan kendaraan (kelas premium) sebenarnya ada nama lain yang dianggap viral, yaitu Hotman Paris Hutapea dan Ruhut Sitompul, dua pengacara yang dikenal bergaya flamboyan. Sejak Orde Baru, koleksi mobil mereka sudah termasuk papan atas, dan mereka secara terbuka selalu membanggakan itu. Namun perilaku dua nama ini mustahil dijadikan acuan para politisi sekarang, karena secara karisma sangat jauh di bawah Prabowo. Seandainya bisa dikonversi, karisma Prabowo bisa dua digit, sementara Hotma dan Ruhut, paling tinggi hanya satu digit.
Kini bola panas ada di tangan Prabowo. Semoga saja Prabowo sadar betul bahwa dia menjadi trendsetter para politisi, khususnya dalam soal perilaku dan kendaraan. Bila berkuasa kelak, Prabowo harus bisa melaksanakan “revolusi mental”, salah satu dengan cara berani mengendarai mobil sederhana, seperti biasa terjadi pada elite politik di India. Prabowo harus bisa tunjukkan itu, dengan mengendarai mobil Esemka misalnya.
Bila para politisi itu meniru Prabowo dalam hal patriotisme dan cinta Tanah Air, tentu rakyat akan senang mendengarnya. Namun, kalau yang ditiru adalah soal Prabowo berkendara, secara benderang para politisi tersebut misleading, dan tentu saja hal itu bukan menjadi tanggung jawab Prabowo.
BACA JUGA Produk Gagal Sih Boleh, tapi Jangan Alphard Dong atau artikel Aris Santoso lainnya.